Aktivitas pertambangan nikel yang dilakukan PT Gag Nikel di Pulau Gag, Raja Ampat, menjadi sorotan publik setelah beredarnya foto laut berwarna cokelat yang dikaitkan dengan pencemaran lingkungan. Namun berdasarkan data resmi, perusahaan ini memegang Kontrak Karya Generasi VII dengan izin yang lengkap dari Kementerian ESDM dan Kementerian LHK, termasuk dokumen AMDAL dan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH). PT Gag Nikel juga telah melakukan reklamasi lahan pascatambang seluas 135,45 hektare dari total bukaan 187,87 hektare. Fakta ini menunjukkan bahwa secara administratif, perusahaan telah memenuhi sebagian besar kewajiban hukum dan lingkungan sesuai ketentuan.
Meskipun demikian, Kementerian Lingkungan Hidup menegaskan bahwa tetap diperlukan kajian mendalam atas dampak lingkungan dari kegiatan tersebut. Salah satu temuan awal adalah indikasi terjadinya sedimentasi yang berpotensi menutupi terumbu karang di sekitar Pulau Gag. Hal ini dikhawatirkan mengganggu ekosistem laut yang sangat sensitif, apalagi kawasan Raja Ampat dikenal sebagai salah satu pusat keanekaragaman hayati laut dunia. Menteri LHK juga tidak menutup kemungkinan akan menempuh jalur hukum bila ditemukan pelanggaran serius terhadap kaidah lingkungan.
Di sisi lain, klaim yang menyebut bahwa foto pencemaran laut berasal dari Pulau Gag dibantah langsung oleh Gubernur Papua Barat Daya, Elisa Kambu. Menurutnya, saat dilakukan kunjungan ke lokasi bersama Menteri ESDM, tidak ditemukan kondisi laut yang tercemar, bahkan air laut di sekitar pelabuhan dinilai masih biru dan jernih. Pernyataan ini juga didukung oleh Bupati Raja Ampat yang menyebut bahwa pengelolaan tambang oleh PT Gag Nikel berjalan sesuai prosedur. Namun pernyataan tersebut baru bersifat pengamatan visual dan belum disertai dengan hasil uji laboratorium kualitas air atau audit lingkungan independen.
Yang menarik, baik Gubernur maupun Bupati menyampaikan bahwa masyarakat Pulau Gag secara terbuka menolak penutupan tambang. Mereka menilai kehadiran perusahaan telah memberikan kontribusi nyata terhadap kesejahteraan, mulai dari lapangan kerja hingga pembangunan infrastruktur lokal. Sejumlah warga bahkan dilaporkan menangis saat menyampaikan aspirasi mereka kepada Menteri ESDM agar tambang tidak ditutup. Pemerintah daerah pun mengambil posisi untuk mendengarkan suara rakyat, selama kegiatan tambang tidak merusak lingkungan dan tetap berada dalam pengawasan ketat.
Oleh karena itu, isu PT Gag Nikel di Pulau Gag bukan sekadar soal legalitas, tetapi juga keseimbangan antara pembangunan ekonomi dan perlindungan ekosistem. Pemerintah pusat maupun daerah harus tetap menjamin bahwa seluruh aktivitas pertambangan tunduk pada standar lingkungan yang ketat, sambil memastikan kesejahteraan masyarakat lokal tetap terjaga. Hoaks di media sosial dan penilaian visual semata tidak cukup sebagai dasar pengambilan kebijakan. Diperlukan pendekatan berbasis data, audit menyeluruh, serta transparansi informasi kepada publik agar tidak menimbulkan polarisasi antara kepentingan lingkungan dan ekonomi rakyat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI