Saya meyakini “Dalam sebuah badai, tidak mungkin kita tidak terkena hujan ataupun angin. Tapi seorang pribadi yang tangguh, tentunya akan bertahan dan mampu keluar dari badai.”
Jika COVID-19 diibaratkan sebuah fenomena badai yang menyerang berbagai negara di seluruh dunia tanpa mengenal ampun, maka jumlah korban yang terinfeksi virus bahkan sampai meninggal dunia, jumlah pengangguran massal yang meningkat pesat, angka konsumsi masyarakat yang menurun, bangkrutnya perusahaan di berbagai industri, sampai perlambatan pertumbuhan ekonomi adalah imbas dari badai tersebut.
Yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah apakah kondisi kita mampu bertahan sampai pandemi ini berakhir? Apa yang harus kita lakukan di tengah ketidakpastian seperti ini?
Saya adalah seorang fresh graduate yang sedang meniti karir. Sebagai generasi milenial yang selalu diberi label tidak bisa mengelola keuangan dengan bijak, tentu stereotip tersebut ingin saya patahkan dengan sebuah pembuktian.
Jauh sebelum pandemi, saya belajar untuk melakukan manajemen penghasilan bulanan secara sederhana. Lawan saya adalah standar gaya hidup yang meningkat karena sudah memiliki pendapatan mandiri.
Saya mengenali berbagai faktor penyebabnya, mulai dari terkejut karena memegang uang dalam nominal yang tidak biasa, lingkar pertemanan yang selalu up to date dengan gadget, tren traveling, tempat nongkrong kekinian, atau sosial media yang menampilkan iklan-iklan produk dengan diskon besar-besaran.
Tentu saya pernah terjebak di kondisi ketika saldo di rekening adalah tinggal batas nominal terendah. Alih-alih mengevaluasi pengeluaran, kalimat "Ah, sekali ini saja. Bulan depan akan nabung", menjadi kalimat pembenaran yang paling sering diucapkan. Apa kalimat pembenaran favoritmu untuk tidak menabung?
Sampai suatu saat saya membaca sebuah survei gaji milenial di sebuah akun Instagram yang menanyakan berapa jumlah penghasilan yang didapatkan dan berapa jumlah tabungan yang dimiliki. Survei itu dijawab banyak orang dan dibagikan kembali dengan identitas yang dirahasiakan. Kesimpulannya adalah ternyata memiliki gaji puluhan juta setiap bulan bukan jaminan seseorang bisa menabung rutin, loh. Di survei yang sama, ada milenial yang bergaji UMR provinsi namun bisa memiliki beberapa aset tertentu.
Akhirnya saya mengerti bahwa menabung adalah tentang bijak mengatur keuangan sehingga bisa mengalokasikan nominal tertentu ke dalam tabungan, berapapun jumlah penghasilannya. Menabung di bank ternyata tidak hanya menguntungkan untuk kita para nasabah. Tanpa disadari, dengan menabung kita membantu bank untuk menyalurkan kredit kepada debitur yang nantinya akan membantu perputaran uang dan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi negara kita. Sederhana sekali untuk terlibat dalam menjaga stabilitas system keuangan, bukan?
Survei tersebut adalah titik awal perjalanan saya dalam manajemen keuangan pribadi, yaitu dengan memiliki tujuan menabung berdasarkan prioritas. Sambil menyelam dan minum air, saya mengalokasikan 40 persen penghasilan untuk ditabung di dalam beberapa instrumen keuangan seperti reksa dana dan 60 persen sisanya untuk dialokasikan ke dalam kebutuhan pokok.