Mohon tunggu...
Sindo
Sindo Mohon Tunggu... -

bekerja sebagai pengajar di Tangerang selatan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Lebaran Bersama, Mungkinkah?

28 Agustus 2011   15:28 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:24 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Umat Islam kembali ramai memperbincangkan penetapan hari raya Idul Fitri untuk tahun ini. Besar kemungkinan terjadi perbedaan,  khususnya antara warga Muhammadiyah dengan penetapan yang akan diumumkan oleh pemerintah (cq. Menteri Agama). Umat yang tidak memahami akar masalahnya, banyak yang berpandangan negatif terhadap realita yang sering terjadi ini. Banyak mereka yg kecewa. Mereka sangat berharap agar pertikaian itu bisa dihilangkan. Kan Islam itu dasarnya hanya satu. Kenapa harus berbeda, kenapa para pimpinan agama ini tak bisa menemukan kesepakatan untuk itu? Siapa sebenarnya yang jadi biang persoalan? Ada yang beranggapan bahwa di balik itu ada kepentingan politik, atau gengsi, atau pun kepentingan2 lainnya.

Kita dapat memahami kekecewaan umat ini. Namun, ini adalah suatu realita yg tak bisa dihindarkan. Insya Allah sampai kiamat datang pun ia belum akan berakhir. Kalau mau menyimak dengan saksama, niscaya semua akan menyadari bahwa persoalan ini tidak akan bisa dimusyawarahkan. Yang diperlukan di sini sikap kedewasaan dan keterbukaan. Dewasa dalam arti bahwa semua harus dapat menerima dengan berlapang dada bagaimana pun sikap dan penerimaan seseorang. Tidak perlu bertindak dan berucap yang bersifat kekanak-kanakan yang justru menambah runyam persoalan. Jangan ada paksaan dalam bentuk sehalus apa pun. Keterbukaan dalam arti masing2 mau mempelajari alasan/argumen/dalil yang dipakai oleh setiap pendapat dan berani menentukan sikap tanpa intimidasi dalam bentuk apa pun.

Akar persoalan sesungguhnya terletak pada perbedaan dalam memahami kata2 syahida yang terdapat dalam al-Quran dan kata rukyah yang terdapat dalam hadis. Sebagian ulama memahami kata2 ini berarti melihat dengan mata (bahkan ada yang berpendapat mesti dengan mata telanjang, tak boleh pakai teropong). Bagi kelompok ini, pergantian bulan hanya terjadi bila ketika matahari terbenam di ufuk Barat, hilal sudah terlihat oleh mata. Bila hal itu tidak terjadi, apa pun alasannya, maka bulan baru belum datang. Pendapat inilah yang dipakai oleh ulama NU. Jika belum ada orang yang melihat hilal ketika matahari terbenam, NU tidak akan menetapkan besoknya bulan baru. Karena itu, bila ada orang NU yang mengatakan bahwa mereka juga menggunakan hisab dalam menentukan awal bulan, penggunaannya tidak lebih dari sekedar untuk menentukan kapan rukyah mesti dilakukan. Pernyataan bahwa NU menggunakan hisab dan rukyat secara bersamaan, tampaknya hanya untuk meyakinkan orang bahwa NU telah melakukan hal yang paling tepat.

Di sisi lain, ada ulama yang memahami kata syahida dan rukyah tidak mesti berarti melihat dengan mata kepala, tetapi juga bisa berarti melihat dengan mata hati (baca: pengetahuan = kesaksian, seperti dalam kalimat syahadat. Orang bersyahadat tidak mesti melihat Allah dengan mata kepalanya sendiri). Pergantian bulan tidak bergantung pada penglihatan mata manusia. Yang menjadi perhatian mereka ialah posisi hilal ketika matahari terbenam, apakah masih di bawah ufuk atau sudah di atas. Bila pada saat matahari terbenam, bulan/hilal masih di bawah ufuk (bulan lebih duluan terbenam dibanding mata hari), maka bulan baru belum datang.  Sebaliknya, jika bulan berada di atas ufuk (berapa pun ketinggiannya), berarti bulan baru sudah datang. Walaupun mata manusia tidak berhasil melihatnya. Inilah yang menjadi pegangan Muhammadiyah. Bagi Muhammadiyah yang penting adalah wujud al-hilal (adanya hilal di atas ufuk).

Berdasarkan perbedaan pandangan tersebut, kita yakin sampai kapan pun keduanya tak akan dapat dikompromikan. Masing2 dengan keyakinannya. Oleh karena itu, setiap upaya penyamaan pasti tidak akan tercapai, siapa pun menterinya. Selama ini, kesamaan lebaran atau awal puasa hanya terjadi bila bulan berada lebih dari 2 derajat di atas ufuk ketika matahari terbenam. Dua derajat dipandang sebagai batas minimum untuk dapat melihat bulan dengan mata. Bila bulan berada kurang dari dua derajat di atas ufuk pada saat matahari terbenam, dapat dipastikan perbedaan akan terjadi lagi.

Lebih dari itu, persoalan ini termasuk masalah khilafiah yang tidak ada lagi manusia yang punya kewenangan untuk memutusnya. Satu2nya manusia yg berwenang untuk ini hanyalah Rasul Allah, Muhammad saw. yang sudah lama wafat. Oleh karena itu, silakan masing2 tokoh memberi penjelasan tentang pendapatnya dengan segala argumentasi dan dalilnya, lalu serahkan kepada umat untuk bersikap. Insya Allah umat ini sudah semakin pintar. Kepada para ustaz dan muballigh atau pun tokoh dan pejabat terkait diharapkan agar berpandai-pandai dalam membicarakan persoalan ini agar tidak menimbulkan gesekan2 yang tak perlu di tengah masyarakat.

Memang perhitungan tahun hijriah tidak semudah perhitungan tahun miladiyah. Dalam perhitungan tahun miladiyah, "secara paksa", telah ditetapkan bahwa pergantian hari terjadi pada setiap jam 12 tengah malam, dan satu tahun itu berjumlah 365 hari, sekali 4 tahun ada penambahan pada bulan Februari satu hari. Januari 31 hari, Februari 28 hari, Juli dan Agustus yang beriring punya hari yang sama yaitu 31 hari. Semua sudah diatur demikian, sehingga tidak akan terjadi pertikaian.

Lain halnya dengan tahun hijriah yang  menjadi acuan berbagai ibadah dalam Islam. Waktu2 pelaksanaan ibadah dalam Islam selalu dikaitkan dengan gejala alam, bukan dengan jam tertentu. Pergantian hari ditandai dengan terbenamnya matahari, entah jam berapa, hampir selalu berubah-ubah. Waktu shalat shubuh dimulai dengan terbit fajar dan berakhir dengan terbit matahari, wakktu zhuhur dimulai dari tergelincirnya matahari ke arah barat sampai bayang2 sama panjang dengan bendanya, maghrib dimulai dari terbenam matahari sampai hilangnya syafak merah di ufuk barat. Demikian seterusnya. Semuanya tidak berada pada jam yang sama. Begitu pula, umur suatu bulan tidak dipatok seperti dalam tahun masehi. Muharram tidak mesti 30 hari, lalu Shafar 29, Rabiul Awal 30, dst. Banyak ulama meyakini bahwa Nabi Muhammad melaksanakan puasa Ramadhan sering 29 hari, tetapi juga ada yang 30 hari.

Jika Anda percaya bahwa pergantian bulan qamariah ditentukan oleh gejala alam, silakan cari gejala alam seperti apa yang menandai pertukaran bulan itu. Kalangan Muhammadiyah percaya bahwa gejala alam itu ialah ketika pada hari pertama bulan terbenam lebih belakangan dari matahari, yaitu pada  saat bulan masih berada di atas ufuk ketika matahari terbenam.

Wallahu a'lam bi al-shawab!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun