Layaknya hujan sedang rindu pada sang bumantara. Tak henti-hentinya membasahi, sejak satu jam yang lalu. Sementara aku masih di parkiran sekolah. Menunggu awan-awan kelabu itu berarak, hingga matahari siap menuju kiblat senja. Entah sampai kapan. Mataku kini tertuju pada seorang lelaki yang sedang berlarian menuju ke sini.
 "Anditha." ucapnya sambil tergopoh-gopoh.
 "Ada apa Kak ? Kenapa hingga berlarian ?" Gilang namanya, kakak kelasku. Usianya terpaut satu tahun lebih tua dariku. Dirinya mengeluarkan amplop berwarna coklat dan memberikan padaku.
 "Ini apa ?" tanyaku bingung.
 "Surat dispensasi untuk besok, temani aku ke pameran." Aku masih cengo dengan ucapannya barusan. Sebelum aku bertanya lagi, justru dirinya telah menjauh.
 "Besok ke sekolah dulu, kita berangkat bareng." ucapnya setengah berteriak, sembari tersenyum.
 "Kenapa mengajakku, bukankah dia memiliki banyak teman lain ?" Bagiku dia agak membingungkan, memang mungkin saja selalu baik pada semua orang di sekitarnya. Tapi, ada satu hal yang membuatku ragu akan hal itu. Aku tak pernah sekali pun mengutarakannya.
*****
Di sepanjang perjalanan, rasanya jantungku ingin meluruh. Dia membawa motor seperti pembalap. Mungkinkah memang sengaja membuat aku ketakutan setengah mati ? Entah mengapa rasanya mentari pagi kala itu sangat terim dibandingkan dengan hari biasanya. Wajahku rasanya seperti terbakar ditambah dengan deg-degan dan keringat yang berusaha membebaskan diri.
 "Kenapa pipimu memerah ?" tanyanya seusai turun dari motor. Sontak aku memegangi kedua belah pipiku.
 "Rasanya karena matahari yang begitu terik."
 "Terik ? Ku rasa tidak, ini masih jam tujuh pagi tepat." Aku diam sejenak, lantas melihat ke arah mentari yang ada di atas sana. Ku rasakan sinarnya dengan tanganku.
 "Iya benar, tidak terik. Tapi kenapa tadi aku merasakan seperti itu ya." batinku.
"Mungkin aku sensitif dengan sinar matahari kak." Jawabku sekenanya.
"Lap dengan tisu dulu dan bergegas masuk, di dalam gedung pameran sana dingin." Aku hanya mengangguk, lantas mengikuti dia dari belakang.
Kami mengisi absensi terlebih dahulu dan segera masuk ke dalam gedung untuk mengikuti upacara pembukaan dengan khidmat. Lantas, berkeliling melihat barang-barang yang dipamerkan. Ada banyak sekali dari berbagai bidang. Teknologi dan produk-produk inovasi terkini.
Tiba-tiba entah darimana, dia mendapatkan sebotol jus jeruk dingin. Dia membawanya berkeliling hingga stand terakhir menuju pintu keluar. Kami duduk sebentar di sana.
"Ini untuk kamu, minumlah." ucapnya, sembari mengulurkan sebotol jus jeruk di tangannya.
"Kan Kak Gilang yang dapat. Ya sudah kakak yang minum saja." ucapku menyanggah.
"Aku tidak suka." Tolaknya.
"Jangan bohong, aku sering melihat kakak beli jus jeruk di kantin sekolah."
"Kamu diam-diam memperhatikan aku ya ?" Pertanyaan satu kalimat itu mampu membuatku diam agak lama.
"Hanya karena aku mengatakan demikian. Lalu apakah jadi terlihat begitu memperhatikan dirinya ?"Â batinku.
"Hanya kebetulan saja." Jawabku.
"Oh begitu ya." Dia tersenyum tipis, lalu memutar tutup botol jus jeruk hingga terbuka. Lantas meminumnya hingga habis dalam sekali tenggak.
"Astaga, jus jeruk ini asam sekali." ucapnya dengan raut wajah yang menurutku lucu. Tak sadar aku tertawa kecil karena ekpresinya. Lagi-lagi dia tersenyum, yang membuatku secara tak langsung menghentikan aktivitasku.
"Terima kasih telah menemani hari ini." Ucapnya.
"Kan jua untuk memenuhi undangan." Aku menjawab seperti seolah-olah karena memang alasan itu. Tapi siapa yang bakalan tahu jika ada alasan yang lain. Entah aku ataupun dirinya.Â
*****
Dari Arsip Cerpen 2022
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI