Mohon tunggu...
Simon Sutono
Simon Sutono Mohon Tunggu... Guru - Impian bekaskan jejak untuk sua Sang Pemberi Asa

Nada impian Rajut kata bermakna Mengasah rasa

Selanjutnya

Tutup

Diary

Aku dan Tuanku

21 Mei 2021   17:17 Diperbarui: 7 Juni 2021   20:06 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://nationalgeographic.grid.id/

            "You walk so fast, Simon." Aku mendengar sosok berperawakan besar dengan kulit bule dan nafas terengah berkomentar. Aku tersenyum lebar, mengedipkan mata pada kembaranku dan sepasang kawanku yang juga berirama membuat langkah-langkah lebar untuk mensejajariku.

"Ternyata lokal tidak kalah sama internasional," gurauku pada mereka yang disambut senyum tipis dengan otot-otot yang menegang kelelahan. Jangankan bersuara, sekedar bersiul pun rasanya mustahil mereka lakukan.

Siang itu Tuanku dan Mr. W bergegas menyusuri jalanan di samping Rumah Sakit Hasan Sadikin. Kecelakaan yang menimpa anak luar komplek yang datang dan bermain dengan MK, anak dari Mr. W, yang diasuh Tuanku, memaksa mereka untuk membawanya ke IGD. Dahinya robek terkena pagar. Aku merasakan kepanikan dan ketegangan Tuanku. Maka, aku menguatkan diri untuk membantunya dengan langkah-langkah bergegas mengikut arah yang dituju.

Aku dan kembaranku tak bisa terpisah dari Tuanku. Kemanapun ia pergi maka aku dengan sigap menjejak setiap lahan bagaimanapun bentuk dan rasanya - tanah keras, kering, basah, lembab, bebatuan, becek, berumput, berbau, bahkan hanya titian kayu dan bambu sekalipun. Dengan berbagai aktivitas Tuanku yang tidak semata di ruangan, aku dan kembaranku menjalankan dedikasi kami dengan penuh hikmat. Sesekali kami memang menampakkan keterbatasan kami dan itu cukup dipahami Tuanku sehingga ia mengambil jeda dari kegiatan di luar ruangan, menyangga kami ke dinding, mengoleskan balsam hangat atau memijit pelan kami. 

Tindakan sederhana ini membantu kami untuk pulih kembali. Namun, ada waktu ketika Tuanku memaksa kami bekerja di luar batas kemampuan kami sehingga pemulihan kami memerlukan waktu berhari-hari dan itu artinya mengganggu kegiatan Tuanku. Kami tidak punya pilihan. Tuanku yang memiliki kendali untuk menuntut seberapa keras kami harus bekerja.

Aku dan kembaranku bersyukur mengalami masa, suasana dan pengalaman yang sangat kaya seiring perjalanan hidup Tuanku. Dibesarkan di keluarga petani dan pedagang sayur, Tuanku telah mengajak kami mengenal dan menjalani beragam tempat dari yang sangat biasa sampai luar biasa. Sawah, ladang, selokan, sungai, pematang, rerumputan, bukit, lumpur, kandang binatang adalah sedikit dari lahan yang kami jejak semasa tuan kami masih kanak-kanak. Bersama ayah dan keempat saudaranya, di masa tanam atau panen Tuanku berjalan beriringan menyusuri jalan desa dan jalan setapak yang tidak bisa dibilang dekat menuju sawah ataupun ladang. 

Kami merasakan kegembiraan, kebersamaan dan tentu saja kelelahan berjalan jauh dan menanam bawah merah, bawang daun, padi dan tanaman pertanian lainnya atau memanennya sesuai musim. Tak aku sebutkan ibu dari Tuanku bekerja bersama di sawah atau ladang karena sebagai pedagang sayur pada dinihari ibu dan ayah Tuanku pergi ke pasar. Menjelang pagi ayah Tuanku pulang lebih awal dan sigap dengan kegiatan di rumah dan di ladang sementara ibu Tuanku berjualan sayur sampai petang hari.

 Di kesempatan lain, aku dan kembaranku harus berlapang dada kotoran kambing atau sapi melumuri kami. Tuanku bukanlah anak yang jijik-an. Tanpa ragu kami ia jejakkan pada lantai kandang kambing yang beralaskan rumput sisa pakan kambing dan tentu saja air seni dan kotoran kambing. Bau? Tentu saja. Jijik? Tidak juga. 

Kami adalah Tuanku dan semangat Tuanku merasuk dalam diri kami. Sudah biasa bagi kami untuk menginjak butiran-butiran kotoran kambing ataupun hangatnya kotoran sapi yang seakan kue bolu besar yang baru keluar dari oven. Di kesempatan lain, kami dihadapkan pada kekuatiran bahwa ada benda tajam yang akan menyakiti kami saat Tuanku bermain menikmati kubangan sawah yang baru dibajak kerbau untuk ditanami padi. Layaknya anak yang tinggal di desa, bermain air dan lumpur adalah sebuah kegirangan.

Di waktu yang lain aku dan kembaranku mesti merasakan tajamnya kerikil hawangan - parit -  menekan kulit kami saat Tuanku, kakak dan saudara jauhnya dengan gembira mencari-cari dan mengumpulkan remis, semacam kerang air tawar berwarna kuning ataupun bogo (ikan gabus) yang bersarang di lubang-lubang di pinggiran parit. 

Ketika air parit menyurut maka ikan-ikan ini akan menampakkan dirinya. Tentang remis, ada kejadian yang kuanggap menggelikan tapi juga mengharukan. Sepertinya Tuanku mendapatkan inspirasi dari buku yang ia baca. Saat menemukan remis di parit, ia membawanya pulang sekaligus dengan segenggam pasir dan menempatkanya di mangkok plastik putih. Ia tambahkan air bersih pada mangkok tersebut dan menempatkannya di kolong lemari.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun