Mohon tunggu...
Djamester A. Simarmata
Djamester A. Simarmata Mohon Tunggu... Dosen - Saya adalah seorang akademisi, penulis. Senang membaca, dengar musik klasik maupun pop, senang berdiskusi. Latar belakang teknik tetapi beralih menjadi ekonom.

Saya adalah seorang akademisi, penulis. Senang membaca, dengar musik klasik maupun pop, senang berdiskusi. Latar belakang teknik tetapi beralih menjadi ekonom.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Reformasi Moneter Mendasar untuk Sehatkan Ekonomi

15 Juni 2017   17:31 Diperbarui: 15 Juni 2017   17:35 475
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Pembicaraan Awal Ekonomi Indonesia

Hari ini, tanggal 15 Juni 2017, Kompas menerbitkan hasil diskusi panel ekonomi yang membicarakan masalah pembangunan yang kekurangan dana. Salah satu yang diangkat ialah penerimaan pajak sangat kurang. Tax ratio ditengarai sekitar 10 %, dibanding dengan negara tetangga yang lebih tinggi sampai 60%. Di dalam sektor finansial, perbankan mendominasi asset hingga 90%, menunjukkan keadidayaan perbankan di Indonesia. Sistem pajak masih menempatkan pajak nilai tambah kurang berperan dibanding dengan pajak penghasilan. Satu tren baru di dunia ialah peningkatan jumlah negara yang memperluas penggunaan PPn atau VAT, setelah melihat kekurangan sistem PPh. 

Negara-negara yang telah lebih dulu menerapkannya, seperti Perancis yang dapat dikatakan merupakan negara pelopor, menunjukkan penerimaan PPn lebih tinggi dari PPh. Namun apakah ada hal lain yang kiranya perlu memperoleh kajian lebih mendalam dalam sistem fiskal dan moneter secara umum? Tetapi isu besar saat ini di dunia ialah melihat adanya sumber penghasilan negara dari pencetakan uang, yang selama ini dinikmati oleh sistem perbankan komersil. Inilah yang terlihat juga oleh penulis dalam situasi ekonomi global, terjadinya peningkatan ketimpangan, baik dalam negeri tetapi juga dalam ruang lingkup global.

Perkembangan Baru

Setelah krisis besar tahun 2008, maka banyak kritikan ditujukan kepada sistem moneter yang secara implisit menyentuh sistem fiskal. Sebagai contoh, bank sentral mencetak yang kartal yang menikmati apa yang disebut sebagaiseigniorage,yang secara sumir dapat dikatakan sebagai selisih dari nilai nominal uang dengan biaya produksinya. Ini adalah pemerimaan negara, sehingga seharusnya merupakan bagian dari fiskal. Tetapi di Indonesia, situasi ini tidak secara jelas ditunjukkan dalam laporan Bank Indonesia. 

Bila yang menikmati penerimaan tadi bukan lembaga negara, maka di sinilah terjadi distorsi besar, sebab bila menggunakan terminologi Maurice Allais, penerima hadiah Nobel ilmu ekonomi tahun 1988 dari Perancis, maka itu disebut sebagai le revenu non-gagne, artinya penghasilan yang tidak punya counterpart produksi atau pelayanan riil, sehingga sebenarnya adalah rente ekonomi. Dalam sistem perbankan yang berlaku sekarang sesuai dengan prinsip reserve ratio, yang menimbulkan adanya money mulriplier, maka sebagian besar dari yang namanya uang beredar, misalnya M2 berada dalam konteks ini.

Apa yang disebut fungsi intermediasi dari bank, pada hakekatnya tidak seluruhnya benar. Saat satu bank mulai beroperasi, ketika ada proses pemberian awal kredit, disitulah perlunya ada tabungan masyarakat yang harus ada dalam bank bersangkutan. Selanjutnya dari sifat money multiplier, kredit yang dapat diberi telah berlipat jumlahnya dari tabungan awal tadi, yang menjadi ada yang kita sebut deposito. Sehingga yang berlaku ialah bank melakukan penciptaan uang, yang tentunya tidak dalam bentuk yang dicetak oleh PERURI. 

Dalam sistem lama, bank memberikan cek pada nasabahnya, yang berfungsi sebagai uang, dipakai sebagai alat pembayaran. Ini disebut juga sebagai inside money bagi bank, sedang uang yang dicetak BI melalui Peruri ialah outside money. Berarti dari jumlah uang beredar (M2) yang besarnya mendekati 4000 trilyun rupiah, maka sekitar 90 persen adalah merupakan inside money sistem perbankan, atau adalah uang ciptaan bank.

Dalam sistem moneter Inggeris, 97% dari uang beredar tidak lain dari inside money. Dan penerimaan berupa seigniorage di dalamnya menjadi milik perbankan, tanpa ada produksi yang dihasilkan sebelumnya sebagai lawan (counterproduction). Dalam sistem sekarang, di mana tidak lagi menggunakan cek, maka biaya pengadaan inside money tadi hanyalah biaya pengetikan bit komputer dan biaya orang pengetiknya, yang hampir tak berarti dibanding dengan besarnya jumlah uang beredar. 

Dalam perkiraan kasar tadi, 90% dari 4000 trilyun rupiah adalah sebesar 3600 trilyun rupiah. Sesuai konteks pembicaraan tadi, maka sistem perbankan komersial telah menikmati rente ekonomi. Inilah yang setelah krisis finansial besar tahun 2008 mendapat kritikan tajam dari banyak pihak luar bank. Sudahpun bank memperoleh penghasilan seigniorage, bila ada kesalahan yang mereka buat baik sendiri maupun kolektif, mereka harus mendapat bail-out dari pajak rakyat yang tidak tau apa-apa. Ini adalah tuntutan keadilan, hak mencetak uang harus menjadi barang publik, seperti awal dalam sejarah kuno.

Dalam diskursus umum dunia pengamat moneter/perbankan sekarang, orang mempersoalkan agar hak pengadaan uang itu semua dikembalikan pada negara, sebagaimana dulu juga dalam negara-negara tua di Mesopotamia, Babilonia, Mesir Kuno. Beberapa negara dari era lebih dekat waktunya ialah dari Sparta dengan rajanya Lycurgus, kekaisaran Romawi dengan rajanya Numa, dinasti Song di China, semuanya mengalami zaman keemasan ekonomi dengan manggunakan sistem serupa, di mana negara mempunyai hak cetak pada uang, dan negara adalah yang menikmati seigniorage. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun