Mohon tunggu...
Djamester A. Simarmata
Djamester A. Simarmata Mohon Tunggu... Dosen - Saya adalah seorang akademisi, penulis. Senang membaca, dengar musik klasik maupun pop, senang berdiskusi. Latar belakang teknik tetapi beralih menjadi ekonom.

Saya adalah seorang akademisi, penulis. Senang membaca, dengar musik klasik maupun pop, senang berdiskusi. Latar belakang teknik tetapi beralih menjadi ekonom.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Reformasi Moneter Mendasar untuk Sehatkan Ekonomi

15 Juni 2017   17:31 Diperbarui: 15 Juni 2017   17:35 475
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Bahan uang yang digunakan bukan mas, tetapi besi dalam kasus Lycurgus, dan bronze dalam kasus Numa. Ini dianggap sebagai fiat money.  Pajak yang harus dibayar rakyat jadi menurun, terutama dari akibat kebutuhan uang beredar terkait pertumbuhan ekonomi atau pertumbuhan penduduk. Tidak kurang dari tokoh besar Mervyn King, mantan Gubernur Bank of England juga menyuarakan perlunya melakukan kaji ulang sistem pengadaan uang dalam negara modern. Kajian dari Inggeris menyatakan bahwa 73 % dari keuntungan bank adalah akibat dari penciptaan uang dalam bank komersil, bukan dari hasil kerja riil pelayanan.

Dengan sistem baru, di mana pengadaan uang seluruhnya berada di tangan negara, maka apa yang terjadi dengan bank komersil saat ini? Bank-bank itu tetap beroperasi seperti biasa, tetapi uang yang digunakan semua harus dari ciptaan pemerintah cq Bank Indonesia melalui Peruri bila itu uang kartal. Tetapi bila uang itu adalah dalam bentuk bit komputer, maka pengadaannya berada di tangan BI, yang tidak dibebani bunga.

 Uang ciptaan dari bank komersial saat ini telah terbebani bunga setiap dia diciptakan. Inilah yang memaksa bahwa ekonomi harus tumbuh agar dapat membiaya bunga bank tersebut. Itulah maka disebut sistem moneter kini telah terbebani bunga, berarti utang yang harus dilunasi melalui pertumbuhan ekonomi. 

Dalam sistem uang yang dicetak negara, situasi tanpa bunga akan dapat menggiring ekonnomi pada situasi yang disebut steady state, inflasi nol. Bank komersil tidak lagi menikmati money multiplier, tidak ada uang lagi yang tidak didukung oleh cadangan, dan potensi krisis hilang akibat dari bank runs yang telah menghilang. Bank tidak dapat lagi meminjamkan uang yang tidak dimiliki, sama seperti orang per orang yang tidak dapat meminjamkan uang yang tidak dimilikinya. 

Suara yang sama diungkapkan oleh Joseph Stiglitz. Sebenarnya para ekonom raksasa seperti Irving Fisher dari Yale University, Henry Simon dari Chicago University yang merupakan konseptor awal, Paul Douglas dari California University, Frank Graham dan Charles Whittlesley dari Princeton, Earl Hamilton of Duke, Willford King dari New York University, dan sebagainya. Mereka ini adalah tokoh-tokoh ekonom terbaik saat itu di AS, saat Depresi Besar tahun 1930.

 Dan mereka menyadari sepenuhnya apa yang mereka usulkan. Namun oleh kekuatan masyarakat tertentu, rencana yang disebut Chicago Plan saat itu tidak jadi diberlakukan. Tetapi sekarang, usaha itu makin mendapat dukungan, seperti di Inggeris, Swiss, Jerman,  Amerika Serikat, dan masih banyak lagi negara lain. Di Amerika Serikat, gerakan itu di bawah dorongan Stephen Zarlenga penulis buku The Lost Science of Money, yang menelusuri sejarah uang secara mendalam  sampai negara-negara tua yang disebut tadi.


Quantative Easing

Dalam menghadapi krisis finansial Amerika Serikat bank sentral negara itu The Fed menjalankan apa yang sekarang dikenal sebagai Quantitative Easing, disngkat QE yang pada intinya mencetak uang untuk menanggulangi krisis yang sudah mendekati situasi Depresi Besar tahun 1930. Sebagai akibat dari kebijakan yang dilakukan maka suku bunga bank sudah hampir mendekat nol persen. Kebijakan ini sebenarnya adalah menyerupai kebijakan Jepang yang terkena krisis ganda tahun 1990, properti dan saham. Kebjakan itu telah mampu mencegah situasi krisis menyerupai yang terjadi pada tahun 1930.

 Situasi ekonomi yang dihasilkan belum  mencapai hasil seperti diharapkan, berhubung likuiditas yang diperoleh disalurkan lagi pada lembaga finansial, dengan harapan akan mendorong masyarakat bisnis meningkatkan investasi, yang lalu menciptakan lapangan pekerjaan. Yang terjadi justru likuiditas digunakan baik untuk melunasi utang atau deleveraging atau digunakan untuk membeli aset sehingga terjadi pemulihan harga aset, tetapi bukan pemulihan ekonomi. Terjadi peningkatan nilai asset, tetapi tidak bukan penambahan aset riil, namun terjadi penambahan nilai asset finansial.

Dalam konteks ekonomi Indonesia, maka kebijakan yang ditawarkan ialah meniru pelaksanaan QE di Amerika Serikat, tetapi dengan target penggunaan jelas, yang merupakan kebutuhan vital negara saat ini, pembangunan prasarana. Tetapi bahwa kriteria ketepatan prasarana, lokasi, kapasitas, jenis, mutu yang tepat harus tetap dipenuhi, sesuai dengan kegiatan yang harus dilayani. Pembangunan prasarana yang tepat dari semua sisi di Indonesia akan segera dapat meningkatkan produksi nasional sehingga akan bersifat produktif secara ekonomi.

 Situasi tersebut  hendaknya bersifat transisi sampai kebijakan final berikutnya tercapai. Konsep yang digunakan berdasarkan pada situasi di mana dengan sistem perbankan sistem reserve fraksional, maka perbankan telah menikmati seigniorage yang dari sejarah merupakan hak negara. Sistem perbankan saat ini adalah apa yang disebut Maurice Allais sebagai sistem le revenu non gagne. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun