Bagi sebagian besar Muslim, menunaikan ibadah haji adalah cita-cita hidup, sebuah pilar rukun Islam kelima yang sangat didambakan. Ketika setoran awal haji sudah dibayarkan, muncul rasa lega yang menenangkan. Pikiran seperti, "Tinggal menunggu panggilan saja," sering kali menghampiri. Namun, rasa tenang ini bisa jadi menyesatkan.Â
Faktanya, setoran awal hanyalah langkah pertama. Hal yang seringkali luput dari perhatian adalah fakta bahwa biaya haji terus mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Belum lagi waktu tunggu yang bisa mencapai 15 hingga 30 tahun, tergantung wilayah. Jeda waktu yang panjang ini bukan cuma soal potensi usia kita yang terus bertambah, juga dinamika ekonomi yang bisa berdampak signifikan terhadap total biaya yang harus disiapkan.
Menurut data Kementerian Agama, rata-rata waktu tunggu haji di Indonesia saat ini adalah 20 tahun. Selama periode itu, kenaikan biaya nyaris tak terelakkan. Sebagai contoh: Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) pada tahun 2012 berada di kisaran Rp33 juta, sementara di tahun 2024 angka ini telah menyentuh Rp90 juta lebih. Ini berarti, dalam 12 tahun saja, biaya haji naik hampir tiga kali lipat! Tren kenaikan ini pun belum menunjukkan tanda-tanda akan melambat. Ini bukan sekadar angka melainkan realitas ekonomi yang bisa mengancam impian suci jutaan orang.Â
Apa penyebab utama di balik lonjakan biaya ini? Jawabannya adalah inflasi.
Inflasi vs. Biaya Haji
Inflasi adalah aktor utama di balik melonjaknya biaya haji. Secara sederhana, inflasi adalah kenaikan harga barang dan jasa secara umum dan terus-menerus. Dampaknya, nilai uang yang disimpan hari ini akan semakin kecil daya belinya di masa depan.
Dalam konteks biaya haji, inflasi memiliki dampak yang signifikan. Selama 10 tahun terakhir, biaya penyelenggaraan ibadah haji (BPIH) mengalami kenaikan rata-rata 5--8% per tahun. Selain itu, ketika nilai tukar rupiah melemah terhadap dolar Amerika Serikat, biaya haji akan semakin melonjak. Sebab, banyak komponen biaya haji seperti akomodasi, transportasi, dan konsumsi di Arab Saudi dibayarkan dalam mata uang asing. Ketika rupiah melemah, maka biaya dalam rupiah akan semakin mahal.Â
Dalam skenario ekonomi seperti ini, menyimpan uang dalam bentuk tunai di rekening bank, tanpa strategi, adalah pilihan yang rawan. Daya beli tabungan terus tergerus inflasi, dan impian berhaji bisa makin menjauh jika tidak ada langkah proteksi yang tepat. Niat suci untuk menunaikan ibadah haji berisiko terkikis oleh realitas ekonomi yang tak kenal kompromi. Â
Emas Sebagai Alat Proteksi Nilai
Di sinilah emas tampil sebagai safe haven asset yang tak tertandingi, sebuah benteng perkasa yang berdiri kokoh di tengah badai gejolak ekonomi. Emas bukan sekadar logam mulia, tapi merupakan asset yang telah terbukti menjaga bahkan meningkatkan nilai kekayaan.
Hanya dalam lima tahun terakhir, harga emas telah melonjak luar biasa hingga lebih dari 120%! Angka ini benar-benar mencengangkan. Bahkan, dalam kurun waktu satu tahun terakhir saja, kita menyaksikan kenaikan harga emas mencapai lebih dari 40%. Angka ini menunjukkan bahwa emas bukan hanya stabil, tetapi juga agresif dalam menjaga nilai aset. Dibandingkan instrumen simpanan biasa, emas jauh lebih unggul dalam hal perlindungan terhadap inflasi dan pelemahan mata uang.Â
Untuk tujuan jangka panjang seperti ibadah haji, menyimpan dalam bentuk emas memberikan keunggulan strategis. Emas mampu menjaga nilai tabungan dari gerusan waktu dan perubahan ekonomi yang tak bisa dikendalikan.