Mohon tunggu...
Vsiliya Rahma
Vsiliya Rahma Mohon Tunggu... Lainnya - Seseorang yang suka bermain dengan kata (🕊ϚìӀѵìą འ ą հʍ ą ա ą է ì🕊)

Manusia yang tak luput dari dosa dan hina

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Surat Senyap untuk Ibu

25 November 2020   06:41 Diperbarui: 25 November 2020   06:43 162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Ssttt! Diamlah, ketika kalian membaca tulisan ini. Kuharap kalian mengerti. Ini adalah surat senyap, yang di dalamnya terdapat banyak kata, tersusun menjadi beberapa kalimat harmoni. 

Surat Senyap untuk Ibu, sebuah surat yang hanya kutuliskan di dalam hatiku, tanpa ibu tahu. Yang selalu kuingat setiap kali mata ini ingin terpejam, dan selalu terbayang ketika mata kembali terbuka lebar.

Ibuku bahkan tak tahu aku menulis ini, tapi kuharap kalian tidak memberitahunya. Aku terlalu malu untuk mengatakan, "Aku menyayangimu ibu." Hanya tiga kata sederhana, tetapi begitu sulit untuk terucap. Seakan-akan ada perekat di bibir yang memaksaku tetap diam dan hanya bisa mengucapkannya dalam doa yang kupanjatkan.

Aku akan berbagi cerita mengenai ibu kepada kalian. Ya, hanya kepada kalian, dalam cerita pendek "Surat Senyap untuk Ibu."

Saat itu keluargaku tengah dirundung pilu, sebuah batu besar menghantam perekonomian kami. Keluarga yang hidup atas kesederhanaannya semakin miskin, lemah tak berdaya ketika panen raya telah reda.

Ayahku seorang buruh tani. Bekerja penuh semangat saat panen raya dan harus rela menganggur ketika musim paceklik tiba.

Sebuah ujian bagi keluarga yang tak pernah luput dari tahun-ketahun. Namun, kami tetap bisa bertahan karena bendahara keluarga yang begitu hebat dalam mengatur keuangan. Dia adalah ibu.

Sebisa mungkin ibu membuat uang tabungan keluarga tetap cukup untuk memenuhi pengeluaran sehari-hari. Ayah memang hebat, pekerja keras, dan berdedikasi pada keluarga. Tetapi jika tak ada ibu, mungkin semua akan lebih rumit dan aku tak bisa membayangkan itu.

Terkadang aku bertanya-tanya. Bagaimana kita tetap bisa makan, membayar uang sekolah dan lain-lain, meski ayah menganggur cukup lama?

Ingatanku kembali pada masa di mana ayah selalu bekerja. Sering kali beberapa bulan sekali ayah dan ibu pergi. Entah ke mana mereka pergi, aku tak tahu dan tak berniat bertanya. Ah, tentu saja bukan karena aku tak peduli, tetapi aku bingung untuk menyusun kalimatnya. Sedangan ibu hanya mengatakan, "Ibu dan ayah akan pergi, nanti kalau adikmu pulang jangan lupa suruh salat dan makan sebelum bermain!" Dan aku, hanya menangguk saja.

Lalu keesokan harinya, kulihat jari ibu dihiasi beberapa benda berkilauan. Tak sebanyak yang kalian pikirkan, mungkin hanya dua . Satu di jari manis dan yang lain di jari tengah. Lalu pandanganku beralih pada kalung di leher ibu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun