Mohon tunggu...
Silviana Eka Dewi Hapsari
Silviana Eka Dewi Hapsari Mohon Tunggu... Guru - Guru Sosiologi

Berusaha yang terbaik

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Semilir Angin Pantai

18 Desember 2017   20:51 Diperbarui: 18 Desember 2017   23:28 568
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Semilir angin menemani pertemuanku dengannya, ya gadis yang selama ini memenuhi pikiranku. Entah dia tahu atau tidak, dialah yang selama ini membuatku semangat di hari-hari yang sungguh mencengkam. Dari tugas kuliah yang seakan ingin membunuhku, tugas organisasi yang terhitung hari aku akan lengser, dan tugas lainnya yang tak jera mengejarku. 

Memang aku tak menunjukkan bahwa aku membutuhkannya, aku takut khilaf. Khilaf disini bukan maksud hal yang tidak-tidak ya, aku taku rasa cinta yang sama-sama kita miliki bukannya menguatkan malah membuat sulit. Karena dari awal aku dan gadisku ini berjanji membangun kasih atas nama Illahi.

Kini aku dapat melihat wajah teduhnya yang tertiup angin pantai, menyipitkan matanya karena tak kuat menahan terjangan angin ke kacamatanya. Ya Allah, aku sayang kamu. Dia sangat suka pemandangan alam, karena itu aku mengajaknya menikmati kesunyian pantai di sisa-sisa waktu luangku. Dia tak pernah menuntutku untuk selalu ada untuknya, dia mengerti, sangatlah mengerti. 

Saat bertemuku di kampus atau bahkan di organisasi pun dia mampu bersikap profesional dan selalu menghadiahkanku senyuman saat bertemu, tanpa disadari olehnya kalau senyumnya itu selalu membangunkan rinduku yang telah ku pupuk didalam hati yang akan ku ungkap saat bertemu nanti. Bahkan sering kali aku menghindar untuk tidak menemuinya di kampus atau di organisasi, ya karena itu, takut khilaf. 

Saat bertemu rasanya aku ingin langsung membelai lembut kepalanya, menguatkan dia yang aku yakin sebenarnya dia tak kuat dengan hubungan ini. Wanita mana yang tak ingin orang tau perihal hubungan spesialnya dengan lelaki?

"Dek, mau coklat atau kopi kesukaanmu? Enak sepertinya menikmati pantai sambil minum kopi hangat." Tanyaku karena melihatnya hanya diam memandang laut yang asik bercumbu dengan langit biru.

"Sedang tak ingin melakukan hal lain selain memandangi yang indah mas, pemandangan ini dan kamu. Kapan lagi ya kan merasa memilikimu, mas." Perkataannya lembut namun membuatku tertohok hinnga tak bisa bernapas.

"Kamu lelah ya dek? Pergilah jika memang kau lelah denganku, aku tetap ingin yang terbaik untukmu walau harus kau tinggalkan aku." Ah apa yang telah aku katakan?

"Masih saja kau berkata seperti ini mas, kalau aku lelah untuk apa aku masih menyematkan namamu disetiap do'aku? Kalau aku lelah untuk apa aku masih berdiri dengan berbagai penilaian buruk tentang kedekatan kita? Coba jawab?" Pandangannya masih tak terlepas dari pantai namun bisa ku lihat matanya berubah menjadi kaca yang retak.

"Dek, maaf, berkali-kali akan ku katakan maaf bila saja aku tak mengerti kamu. Bila saja aku tak mengerti keresahanmu. Bila saja aku tak tau gundahmu saat aku melimpir pergi untuk cita-citaku. Maaf dek." Masih ku pandangi wajahnya dari samping. Aku sayang kamu dek, andai bisa ingin ku ucapkan beribu kali.

"Mas, aku tau kita saling menyayangi, eh atau akunya saja yang kepedean ya?" Dia terkekeh pelan lebih tepatnya mencibir. Inginku menyanggah namun dia melanjutkan perkataannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun