Oleh: Pastor Aaron T. Waruwu, OSC
Busana yang dikenakan para finalis pemilihan Putri Pariwisata Nias Barat 2019 memicu berbagai tanggapan masyarakat. Bahkan komentar muncul secara beragam di antara netizen di medsos. Ada yang memuji kreatifitas perancang busananya, dan sebagian mengkritik pedas. Sudut pandang yang berbeda tentu saja memperkaya khazanah nalar melihat peristiwa yang sama. Secara pribadi, saya tidak tertarik menjadi hakim untuk mengomentari peristiwa itu. Biarlah masyarakat menilai dan menyaring sendiri segala gagasan yang beredar.
Perempuan Nias dan Harga Diri
Seorang perempuan Nias sangat dijunjung tinggi martabatnya. Penghargaan terhadap perempuan, salah satunya, ditunjukkan pada saat menikah. Perempuan ditandu (Nias : Lafahea, Lafazawa, Tebai ihundrag dan) ketika berangkat dari rumah orangtuanya menuju rumah suaminya. Sebaliknya, perempuan yang kurang terhormat karena telah merendahkan martabatnya (cacad moral) tak pantas ditandu, seperti sabeto (hamil di luar nikah). [Catatan:Mengenai tandu ini ada Fondrak yang tidak melakukannya, pengantin diantar dan ini dilakukan secara normal atau pengantin tidak hamil di luar nikah], soloi (kawin lari), nira'u (terculik). Upacara ini menyimbolkan bahwa perempuan 'dimuliakan', ditinggikan, dan dihormati.
Di sisi lain, perempuan menjadi simbol harga diri dan kehormatan dari keluarga. Menyakiti atau mempermalukan perempuan sama dengan menyakiti atau mempermalukan keluarganya, terutama saudara laki-lakinya. Oleh karena itu, perempuan selalu dijaga dan dilindungi kehormatan serta nama baiknya oleh keluarga.
Untuk menjaga dan melindungi nama baik seorang perempuan, ada beberapa aturan adat yang menegaskan penghargaan terhadap perempuan itu. Aturan adat itu menjamin bahwa perempuan harus terjaga dan terlindungi nama baiknya oleh perempuan itu sendiri maupun orang lain; misalnya Aturan Bertutur (tebai falele : seorang perempuan tak boleh memaki, apalagi dimaki orang lain), Aturan Berperilaku dalam Pergaulan (tebai fao wofan ba ndra matua sitenga dongania : tak boleh pergi bersama laki-laki yang bukan suaminya), Aturan Berbusana.
Aturan Berbusana Perempuan
Pada zaman dahulu, aturan ini tidak terlalu penting dan jelas. Karena pada awalnya nenek moyang kita hanya memakai kulit kayu bahkan dedaunan untuk menutupi bagian kelamin saja yang disebut Saomb (cawat). Kemudian berkembang lagi, Bulu Ladari dan Uli Goholu (jenis daun dan kulit kayu) mulai dianyam untuk menutupi tubuh, selain bagian kelamin dada ditutup. Seiring perkembangan zaman, benang dan kain mulai diperkenalkan oleh pendatang (pedangang, misionaris dll). Maka. Hampir semua tubuh ditutupi, kecuali kepala dan betis bagian bawah.
Mengenai warna khas bisa menjadi perdebatan, apakah dipengaruhi oleh misionaris Jerman (bendera jerman : hitam, merah dan kuning) atau memang dari sononya naluri orang Nias senang warna kuning, merah, dan kuning? Saya priadi berpendapat warana khas Nias (Merah-berani/satria, Kuning- emas/kemakmuran, Hitam - arang/pengorbanan, kaitan dengan mistis dan arwah leluhur) terpelihara secara baik dari warna kekhasan daratan Tiongkok , mengingat nenek moyang orang Nias berasal dari daratan sana. Bisa diperbandingkan dengan warna khas yang serumpun dengan Nias seperti Suku Dayak di Kalimantan.
Adapun prinsip utama dalam berbusana bagi perempuan adalah Bi oroma zafusi nsi (tabu memperlihatkan bagian tubuh yang lebih putih). Tubuh yang lebih putih adalah bagian tubuh yang sehari-harinya ditutupi pakaian, sehingga bagian tubuh lain lebih belang karena langsung kena sinar matahari. Untuk memperjelas hal itu, ada beberapa bagian tubuh yang disebut secara khusus :