Mohon tunggu...
silvanus alvin
silvanus alvin Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

mencoba belajar menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Terima Tawaran Itu

25 November 2012   05:31 Diperbarui: 24 Juni 2015   20:42 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13538214411168334885

Dalam hidup, tidak ada salahnya untuk mencoba segala sesuatu. Kita akan rugi jika melewatkan kesempatan tersebut. Entah itu baik atau buruk, kita dapat belajar banyak dari pengalaman mencoba. Saat itu cuacanya sedang panas-panasnya. Matahari bersinar tanpa ada satu awan pun yang menutupinya. Peluh pun bercucuran, membuat kaos yang kami pakai basah. Sesekali, saya mengipas-ngipas menggunakan koran kemarin, sekedar mendapat angin untuk menurunkan suhu. Kami duduk bersebelahan, saling berdiam diri. Lima belas menit sudah, kami berdiam diri, tidak ada satu kata terucap. Bingung ingin berbicara apa barangkali. Selama itu, kami hanya duduk diam, menikmati cuaca panas layaknya orang yang sedang menikmati sauna. Sepatah kata akhirnya keluar. Satu topik pembicaraan dihadirkan untuk memecah suasana hening di tengah panas yang mencekik. “Kemarin Pak Iyong nelpon gua,” tuturnya. “Oh... Ngapaen dia nelpon lu? Kangen yah Pak Iyong sama lu,” balasku dengan canda. “Gak lah, lu kira Pak Iyong homo, sampai kangen dengan gua. Dia nelpon nawarin gua kerjaan. Gua disuruh coba ikut latihan Stadium. Mereka lagi butuh Point Guard,” “Ah, serius lu?! Lu bakal jadi pemain basket profesional dong? Gile... Lu memang temen gua banget dah. Kapan lu mulai latih...,” Sebelum saya menyelesaikan ucapan, dia memotong. “Tapi, tawaran itu sudah gua tolak,” potongnya sembari menghela nafas dan juga menatap dengan tatapan nanar. “Iiiiih... Serius? Lu tolak? Banyak orang mau main di level profesional, lu diberi kesempatan, masa lu to...,” Lagi, belum selesai berujar, dia kembali memotong. “Gak bisa. Gua Tahu kondisi badan gua. Gak mungkin,” *** Ia, di kehidupan sehari-harinya adalah seorang laki-laki biasa, tidak berbeda dengan yang lain, laki-laki Indonesia pada umumnya. Tingginya pas, tidak pendek tapi tidak tinggi juga. Meski ia Cina, banyak orang mengira dirinya pribumi. Mungkin, hal itu disebabkan karena kulitnya sawo matang. Barangkali, kulitnya beradaptasi dengan iklim tropis di Indonesia yang banyak dilimpahi sinar matahari dan hanya mata sipitnya yang menjadi tanda dia bukan pribumi. Memang, tidak ada sisi menarik dari laki-laki ini. Namun, begitu laki-laki ini menginjakkan kakinya di lapangan basket, barulah orang-orang yang melihatnya dapat merasakan sesuatu. Ya, sesuatu yang berbeda dari laki-laki ini, barangkali auranya baru keluar ketika ia berada di lapangan tersebut. Aura itu seakan membisikkan, “Inilah tempat di mana saya dapat bersinar.” Premis bahwa laki-laki ini biasa saja atau laki-laki ini tidak menarik, dapat runtuh seketika, saat dirinya berdiri di lapangan itu. Ia datang lebih cepat dari waktu pertandingan yang sudah dijadwalkan sebelumnya. Satu jam lebih awal dia sudah sampai. Pukul 17.00 nanti akan menjadi penentuan, klub basket siapa yang akan menjadi menduduki peringkat satu di wilayah Jakarta Barat. Ia berjanji pada dirinya sendiri untuk bermain sebaik mungkin untuk memenangkan pertandingan, seperti tidak ada lagi kesempatan esok hari. “Memberi terbaik dari yang terbaik,” kata-kata itulah yang selalu dia ucapkan berulang-ulang kali di dalam hatinya. Takut? Ya. Gelisah? Ya. Laki-laki ini takut dan gelisah menghadapi pertandingan basket ini. Keringat dingin membasahi dahinya, tangannya pun menjadi dingin, dan ia sering bolak-balik ke toilet. Meski begitu, ia mencoba menenangkan dirinya dengan berdoa. Ia termasuk orang yang religius. Sang Pencipta adalah entitas yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupannya. Pertandingan pun dimulai. Ia menjadi tulang punggung timnya. Ia benar-benar memberikan terbaik yang bisa dilakukan oleh manusia. Di dalam dunia basket dikenal istilah offense dan defense. Kebanyakan pebasket, hanya menguasai satu diantara dua hal penting tersebut, entah pandai offense tapi lemah dalam defense atau kebalikannya. Berbeda dengan pebasket lain, laki-laki ini benar-benar bisa melakukan semuanya. Alhasil, pertandingan itu pun dimenangkannya. Berkat kemenangan itu, namanya melambung di dunia perbasketan. Banyak pencari bakat menawarkannya untuk bermain di liga profesional, tetapi ditolak semuanya. Ia merasa, belum saatnya dia mencicipi liga tersebut. Di usianya yang masih muda ini, dia merasa perlu untuk mengembangkan permainannya lebih, lebih, dan lebih baik lagi. *** Suasana baru, tantangan baru, dan musuh baru. Tiga itulah yang diperlukan baginya untuk mengembangkan permainannya menjadi lebih baik. Dan tiga hal itulah yang ia cari. Tidak beberapa lama, ia pun menemukan suatu tempat yang memenuhi tiga unsur di atas. Ia semakin giat menempa dirinya. Waktu pun banyak ia habiskan bersama bola bundar yang memantul itu dan ditemani oleh sepatu yang ia pakai di kedua kakinya. Kemampuannya, barangkali diberikan langsung oleh Sang Pencipta, khusus kepada dirinya seorang. Layaknya cerita di Alkitab, talenta yang Tuhan berikan itu, dikembangkannya sedemikian rupa. Selama masa latihannya, banyak tawaran yang datang, tapi ia tetap kekeuh menolak semuanya. Suatu saat, dia merasa cukup. Ia ingin naik tingkat, apalagi kalau bukan di liga pro. Sebelum naik tingkat, ia merasa perlunya ujian. Layaknya anak sekolah, setelah mereka belajar, pasti guru memberikan ujian untuk menilai seberapa paham murid dalam menerima pelajaran. Begitu juga laki-laki ini, ia ingin menilai seberapa berkembang dirinya sekarang ini, setelah dalam jangka waktu yang cukup lama menempa diri untuk menjadi pebasket yang lebih baik dari sebelumnya. Akhirnya, ia memutuskan untuk ikut dalam suatu kompetisi basket. Ia bergabung dengan salah satu tim yang, dari awal kurang diperhitungkan. Baginya, ini menjadi bumbu tersendiri, bumbu ujian, apakah dengan tim yang kurang diunggulkan ia mampu keluar sebagai juara. Di kompetisi itu, ia melaju bersama timnya yang ‘kurang’ itu sampai final. Di final, ia melawan tim yang tangguh. Pertandingan berjalan sangat seru dan ketat. Kedua tim mencetak skor silih berganti. Tidak ada yang mau mengalah. Ia pun bermain dengan gemilang. Sampailah pertandingan final yang mendebarkan itu di babak terakhir. Waktu tersisa sekitar empat menit. Tim musuh yang sadar bahwa ia satu-satunya pemain yang perlu diwaspadai, menempatkan dua orang pemain untuk menjaga pergerakannya. Basket merupakan permainan tim, kemampuan individu sehebat apapun tetap akan kewalahan jika menghadapi penjagaan ketat dari dua orang. Di dalam benak pemain musuh, ada pikiran, “Jika saya tidak mampu menjaganya, lebih baik saya mencederainya, karena hal itu akan membawa tim saya keluar jadi pemenang.” Saat laki-laki ini melakukan gerakan lay-up menuju ke arah ring basket. Salah seorang pemain musuh yang ditugaskan untuk menjaganya, menerjangnya dari samping, mengenai lutut kanannya. Pikiran untuk mencederai ujung tombak musuh, yang sempat terlintas dipikirannya pun direalisasikan. Laki-laki itu terjatuh. Ia mengerang kesakitan sambil memegangi lutut kanannya dengan tangannya. Wajah meringis, saking sakitnya, air matanya secara tidak sadar keluar. *** Dokter yang memeriksa lutut kanannya menggeleng-gelengkan kepala. Tanda yang buruk. Segitu parahkah cedera yang ia alami? “(menghela nafas) Tampaknya kamu harus pensiun dari bermain basket. Otot lutut kamu robek. Kalau mau dioperasi pun, untuk sembuh 100 persen akan sangat sulit,” jelas dokter. “Bila kau memaksakan, akibatnya fatal. Cederamu akan semakin parah dan bisa jadi, kau akan pincang karena tidak bisa menggunakan lutut kananmu,” tambahnya. Mendengar kabar buruk tersebut, ia hanya tertegun. Hatinya seperti kertas disobek-sobek secara tidak beraturan. Segala usah dan waktu yang dicurahkannya selama ini, hilang begitu saja. Kekecewaan yang begitu mendalam, tapi tidak tahu harus melampiaskan kepada siapa. Jiwanya hanya bisa berteriak, mewujudkan tetesan air mata. Mulai detik itu, laki-laki ini mencoba menjauh dari dunia basket. Namun, tidak bisa. Basket adalah hidupnya. Melepas basket artinya melepas hidup. Lantas, apakah ia harus mati, meninggalkan dunia fana ini akibat tidak bisa bermain basket dengan lututnya yang terluka itu? *** “Gak bisa. Gua Tahu kondisi badan gua. Gak mungkin,” Berangkat dari kisah masa lalunya itulah ia berkata demikian, memotong ucapanku. Hidup hanya sekali. Bagiku, tidak seharusnya ia menolak tawaran tersebut. Tidak ada salah dalam mencoba. Kita akan ‘mati’ saat kita berhenti mencoba. Kesempatan itu mungkin hanya datang sekali, seperti kereta yang sekali jalan. Keputusan ada pada diri kita, apakah kita akan naik kereta itu atau berdiam diri di peron stasiun. Ketakutan akan salah jurusan memang tidak diragukan lagi. Namun, dari salah jurusan itu kita bisa belajar. Belajar apa? Kita jadi tahu tempat baru karena salah jurusan. Hidup itu hanya sekali. Orang bijak, mungkin akan berpesan, “Jangan lari dari masalah, tapi buatlah masalah dalam hidupmu. Karena, dari masalah-masalah yang kau hadapi, suatu saat pasti kau berbuat salah. Belajarlah dari kesalahan yang diperbuat oleh dirimu.” Sebagai teman, aku berpesan, “Terima tawaran itu!”

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun