Mohon tunggu...
Silvana br Ginting
Silvana br Ginting Mohon Tunggu... mahasiswi

menyanyi ,baca buku dan suka menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

santa janne d'arc pemimpin muda dalam iman ,perjuangan dan pengorbanan

14 Juni 2025   20:20 Diperbarui: 14 Juni 2025   20:20 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Jeanne d'Arc, atau Joan of Arc dalam bahasa Inggris, adalah simbol abadi dari keberanian, iman, dan semangat kepemimpinan yang melampaui batas-batas gender, usia, dan kelas sosial. Lahir pada 6 Januari 1412 di Domrmy, sebuah desa kecil di Prancis timur laut, Jeanne berasal dari keluarga petani yang taat beragama. Ayahnya, Jacques d'Arc, adalah petani yang cukup berada dan juga seorang kepala desa lokal yang disegani. Dari usia muda, Jeanne sudah dikenal sebagai gadis yang rajin berdoa, menghadiri misa secara teratur, dan sangat saleh.

Pada usia sekitar 13 tahun, Jeanne mulai mengalami pengalaman mistik yang ia klaim sebagai penampakan dari tiga sosok kudus: St. Mikael sang Malaikat Agung, St. Katarina dari Aleksandria, dan St. Margareta dari Antiokhia. Suara dan penampakan ini, menurut kesaksiannya dalam pengadilan kemudian, menyampaikan bahwa ia dipilih oleh Tuhan untuk membantu Prancis dalam peperangan dan memastikan penobatan Charles VII sebagai Raja Prancis. Jeanne merespons suara ini dengan serius, dan sejak itu ia menganggap hidupnya dipersembahkan bagi misi ilahi.

Pada waktu itu, Prancis berada dalam kekacauan akibat Perang Seratus Tahun yang berlangsung sejak tahun 1337. Inggris, yang mengklaim hak atas tahta Prancis melalui garis keturunan kerajaan, telah menguasai sebagian besar wilayah utara Prancis termasuk kota penting seperti Paris. Selain itu, pihak Burgundi sekutu Inggris menguasai banyak kota strategis lain. Dalam konteks inilah Jeanne merasa bahwa bangsa dan tanah airnya berada dalam bahaya, dan Tuhan memanggilnya untuk menyelamatkannya.

Pada usia 16 tahun, Jeanne memulai perjalanan misinya dengan menemui Robert de Baudricourt, komandan garnisun Prancis di Vaucouleurs. Awalnya ditolak dan bahkan ditertawakan, Jeanne akhirnya berhasil meyakinkan Baudricourt dan diberi pengawalan untuk bertemu langsung dengan Charles VII di Chinon. Perjalanan ini sangat berbahaya karena melewati wilayah yang dikuasai oleh musuh, dan Jeanne harus menyamar sebagai laki-laki demi keselamatan dirinya.

Pertemuan antara Jeanne dan Charles VII menjadi titik balik. Charles, yang pada waktu itu belum dimahkotai secara resmi dan mengalami tekanan politik dan militer, terkesan oleh keyakinan dan semangat Jeanne. Untuk memastikan klaim spiritual Jeanne, ia diperiksa oleh para teolog di Poitiers, yang akhirnya menyatakan tidak ada yang bertentangan dengan iman. Jeanne kemudian diberi baju zirah, panji, dan pasukan kecil untuk membantu mengangkat pengepungan di kota Orlans.

Pada bulan Mei 1429, Jeanne memimpin serangan ke Orlans. Dengan semangat juangnya, ia berhasil mengobarkan harapan di antara prajurit Prancis yang telah putus asa. Dalam waktu sembilan hari, kota itu berhasil dibebaskan. Peristiwa ini menjadi momen besar dalam sejarah Prancis. Ia kemudian terus memimpin pasukan dalam kampanye militer, merebut kota demi kota di sepanjang Sungai Loire dan mempersiapkan jalan menuju Reims---tempat tradisional penobatan raja Prancis.

Pada 17 Juli 1429, Charles VII dimahkotai di Reims dengan Jeanne berdiri di sisinya, memegang panjinya. Ia telah memenuhi bagian terbesar dari visinya. Namun, meski berhasil dalam banyak hal, Jeanne tidak berhenti. Ia ingin membebaskan Paris dan terus mendorong Charles untuk bertindak, tetapi raja dan para penasihatnya menjadi lebih berhati-hati, bahkan ragu terhadap pengaruhnya.

Pada tahun 1430, Jeanne memutuskan untuk melanjutkan perjuangannya secara independen. Ia bertolak ke Compigne untuk mempertahankan kota itu dari serangan pasukan Burgundi. Sayangnya, dalam sebuah pertempuran pada bulan Mei, ia tertangkap. Tidak ada upaya nyata dari pihak Charles VII untuk membebaskannya, dan Jeanne akhirnya dijual ke Inggris.

Jeanne kemudian dibawa ke Rouen, tempat pengadilan gerejawi atas tuduhan bidah dilangsungkan. Di bawah pengawasan Bishop Pierre Cauchon, pengadilan berlangsung dengan tidak adil. Jeanne diinterogasi oleh para teolog dan hakim yang berpihak kepada Inggris. Ia dituduh berbagai hal: mendengar suara gaib, mengenakan pakaian pria, dan mengklaim komunikasi langsung dengan Tuhan---hal yang dianggap menyimpang dan berbahaya oleh gereja institusional pada saat itu.

Dalam pengadilan tersebut, Jeanne menunjukkan keberanian intelektual dan spiritual yang luar biasa. Saat ditanya apakah ia yakin berada dalam rahmat Tuhan, ia menjawab dengan keteguhan: "Jika saya tidak berada di dalamnya, semoga Tuhan menempatkan saya di sana; jika saya berada di dalamnya, semoga Tuhan tetap menjaganya." Jawaban ini membuat para hakim bungkam.

Meskipun pada satu titik Jeanne dipaksa menandatangani dokumen penyangkalan karena takut dibakar hidup-hidup, ia kemudian menarik kembali pengakuan itu ketika menyadari bahwa ia telah menyangkal kebenaran. Karena itu, ia dihukum sebagai bidat kambuhan dan dijatuhi hukuman mati.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun