Mohon tunggu...
Silmy Mauli
Silmy Mauli Mohon Tunggu... Mahasiswa - Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Penggemar Topik Film

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Ketika KPI Ingin Awasi YouTube dan Netflix, Bahayakah?

7 Januari 2022   09:31 Diperbarui: 7 Januari 2022   09:34 1093
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi YouTube dan Netflix. (Sumber: Edit Pribadi)

Pada 9 Agustus 2019, tagar #KPIJanganUrusinNetflix dan #KPIgabut ramai jadi perbincangan di media sosial (Indotelko, 2019). Pasalnya, Agung Suprio yang saat itu baru dilantik menjadi Ketua KPI mengeluarkan pernyataan bahwa KPI perlu melakukan pengawasan terhadap media nonkonvensional seperti YouTube dan Netflix. Katanya, generasi digital lebih banyak mengkonsumsi media baru daripada media konvensional. Konten-konten media diyakini bisa mengubah karakter bangsa sehingga pengawasan perlu dilakukan (CNBC Indonesia, 2019).

Banyak masyarakat menyayangkan pernyataan tersebut. Netizen melalui media sosial langsung berbondong-bondong menyerbu kolom komentar akun Instagram dan Twitter resmi milik KPI Pusat. Beberapa komentar juga mengkritik kinerja KPI yang selama ini terkesan tidak beres.

Contohnya, akun Twitter @andihidayat membuat tweet tentang isu ini, ia menulis, "Dear, KPI. Kami ini beralih nonton YouTube, Netflix, atau sejenisnya itu karena di tv ya gitu-gitu aja tontonannya. Sekarang lu pada mau ngurusin yang menjadi hiburan kami. Kalian itu emnag ngga ada kerjaan atau emang ngga mau aja kami dapet hiburan apa gimana sih." Ketikan ini telah mendapatkan 20.700 likes dan 13,400 retweet terhitung sejak 7 Agustus 2019 sampai 28 Desember 2021.

Sebagian besar komentar lain juga menyudutkan KPI sebagai komisi penyiaran yang tidak sehat. Netizen mengungkit-ungkit tentang penyensoran tayangan televisi yang nyeleneh dan tidak masuk akal. Misalnya penyensoran bagian tubuh kartun hingga sensor bibir seorang ayah yang sedang mencium anaknya sendiri.

Pemicunya adalah pasal-pasal dalam Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) yang disusun KPI. Jika pihak televisi tidak mematuhinya, maka akan dikenai sanksi mengikut pada UU Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002.

Lantas, bagaimana KPI seharusnya?

KPI memiliki kewenangan mengawasi penyiaran, membentuk, serta memutuskan sanksi apa yang akan diberikan pada pelanggar. Namun, adakah undang-undang khusus yang mengatur sanksi administratif terhadap kinerja KPI? Sesuai dengan pasal 8 ayat 1 UU Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002 yang berbunyi "KPI sebagai wujud peran serta masyarakat berfungsi mewadahi aspirasi serta mewakili kepentingan masyarakat akan penyiaran." Apakah sudah sesuai dengan eksekusi di lapangan?

Buktinya, banyak masyarakat mengeluhkan televisi sekarang yang monopolistik. Mulai dari tayangan tidak bermanfaat, iklan kampanye partai politik, dan iklan lain yang tingkat frekuensinya tidak masuk akal, bahkan acara yang menampilkan adegan-adegan tak pantas masih berseliweran di pertelevisian Indonesia.

Selain catatan buruk KPI di atas yang menimbulkan keraguan di masyarakat, ternyata pengawasan terhadap media baru bukanlah ranah KPI. Seperti yang dikatakan Direktur Penyiaran Kementerian Komunikasi dan Informatika Geryantika Kurnia, bahwa menurut undang-undang penyiaran, tugas KPI hanyalah memonitoring free to air, sedangkan peraturan untuk platform streaming belum ada (Kumparan, 2019).

Pengawasan terhadap media baru sebenarnya sudah dilakukan oleh platform itu sendiri, misalnya YouTube dengan fitur YouTube Kids yang dapat diawasi oleh orangtua. Selebihnya, telah di atur dalam UU ITE. Maka dari itu, ide pengawasan oleh KPI ini malah tambah memunculkan keresahan di masyarakat. Alih-alih mengawasi media, jika regulasi ini nantinya benar-benar diadakan, justru akan mempersempit ruang gerak masyarakat di media digital, khusunya untuk para konten creator. Selain itu, isu ini juga berpotensi memberi batas kebebasan akses informasi di masyarakat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun