Sejak proses belajar mengajar berubah jadi daring. Tak sedikit mahasiswa mengalami beban yang berlipat ganda. Banyaknya tugas menjadi salah satu penyebabnya.
Internet yang gak stabil, kelelahan akibat terlalu lama di depan layar atau karena ngerasa kuliah daring kurang dapat feel belajarnya menjadi alasan lainnya.
Saya yakin mayoritas mahasiswa sekarang pasti mengalami hal itu. Mungkin ada juga sih yang ngerasa kuliah daring menguntungkan. Tapi pernahkah kita ngerasa, di balik beban ganda yang kita alami saat kuliah daring. Ada saudara kita yang mungkin bebannya paling banyak dari kita.Â
Salah satunya Jajang. Ya, Jajang. Seorang mahasiswa disabilitas netra yang sejak september lalu belajar di kampus secara daring. Jajang setiap hari harus pulang-pergi dari kosan ke kampus untuk belajar daring.Â
Lha kok kuliahnya di kampus? Kalau di kosan Jajangnya gak bakalan bisa kuliah daring, di kampus kan masih ada pegawai yang memantau, mungkin juga membantu.
"Bro gua harus tetap semangat belajar bro biar bisa lulus, ya walaupun kondisi gua begini".Â
Pernyataan spontan itu selalu disampaikan oleh Jajang sebelum kelas mulai, baik sebelum corona melanda, pun hingga sekarang. Untuk diketahui bersama, Jajang ini adalah mahasiswa di salah satu perguruan tinggi swasta di Bandung.
Sebenarnya Saya mengenal Jajang sejak 2017 lalu. Itu pun karena kami kuliah di kampus yang sama. Jajang pula lah orang pertama yang saya ketahui langsung sebagai disabilitas netra yang kuliah di kampus reguler. Mungkin kalau tidak satu almamater, saya tidak akan pernah mengetahuinya.
Sejak 16 september lalu, saya berkesempatan mendampingi Jajang belajar daring di kampus. Saya menjadi fasilitator sekaligus operator kuliahnya.Â
Mulai dengan membuka ruang virtual, absensi, upload tugas, interpretasi materi visual hingga membacakan ulang materi belajar yang disampaikan dosen.Â