Mohon tunggu...
A. Husna
A. Husna Mohon Tunggu... -

Hanya ingin menuliskan "kisah kecil" tentang Pak Ustadz. (Bisa ditemui di \r\nhttp://petisikotbah.wordpress.com)\r\n

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Omongan Anak Tentang Kemesraan Orang Tuanya

19 Januari 2011   03:28 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:25 224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
12954067431461428855

Nadia, si bungsu anak Pak Ustadz sedang bermain di teras depan rumahnya.  Sore itu. Ia bermain bersama Husna, Alysa, dan Ajma. Mereka bermain congklak. Nadia berhadapan dengan Husna, Alysa menghadapi Ajma. Semua anak tampak menikmati permainan itu. Dari ruang depan Pak Ustadz melihat keempat anak itu. Ah, anak-anak yang manis. Moga kalian menjadi anak-anak yang salehah nantinya, batin Pak Ustadz. Congklak, ah permainan yang baik. Ada sedekah di situ. Ada kejujuran di situ. Lakukan! Lakukan saja! "Husna, bapak ibu kamu kalau sayang-sayangan di rumah seperti apa?" Pak Ustadz terbelalak. Tubuhnya seolah melompat. Tiba-tiba mulut Ajma berucap seolah tak teratur. Anak usia TK, lima tahun, mengapa mereka berbicara seperti itu? Pak Ustadz hendak keluar dan menegur Ajma. Tapi, hatinya tiba-tiba berbisik, jangan! Jangan! Biarkan mereka berbicara! Pak Ustadz seperti dicegah dasar hatinya. Ia justru kini menunggu ucapan Husna. Ia penasaran dengan kelanjutan pembicaraan anak-anak itu. Seperti tanpa bersalah Husna menjawab ringan. "Ya, gitulah. Ayah dan ibu paling salaman doang. Nggak ngapain-ngapain." "Sama seperti bapak dan ibu aku dong, " cetus Ajma menyela. "Mereka kalau sayang-sayangan juga salaman aja. Itupun jarang. Pernah aku melihat bapak mencium pipi ibu. Eh, bapak sama ibu malah malu sendiri." "Kalau bapak-ibu kamu, gimana Alysa? Apa mereka seperti aku dan Husna?" tanya Ajma kepada Alysa. Alysa terdiam. Sedikit bingung. Tapi, wajahnya seperti menunjukkan rasa tak enak untuk bicara. Malas. Segan. "Nggak pernah, ah. Ayah dan bundaku nggak pernah sayang-sayangan. Kalau di rumah ya biasa saja. Bicara, bercanda. Gitu saja." Hening sejenak. "Kalau ayah dan ibu kamu gimana, Nadia?" Pak Ustadz kini gemetar. Ia seperti sedang menunggu vonis hakim. Dadanya seolah tak enak. Tiba-tiba saja ia agak takut jika rahasia diri dan istrinya keluar dari mulut anak bungsunya. Tapi, hatinya meyakinkan. Tidak! Tidak mungkin! Nadia tersenyum manis. Dari mulut kecilnya terlontar kata-kata sejuk. "Abi dan Umi kalau sayang-sayangan suka berpelukan. Awalnya mereka bersalaman. Lalu, Abi memeluk dan mencium kening Umi." "Memeluk? Ayah dan ibumu berpelukan?" "Iya, malah sering. Kayaknya setiap hari Abi dan Umi berpelukan." Husna, Alysa, dan Ajma melongo. Mereka seperti bingung. Heran. Berpelukan setiap hari? Ah, aneh. Mungkin begitu pikir anak-anak itu. Pak Ustadz tersenyum. Ia memaklumi ketidapahaman teman-teman Nadia. Mereka belum paham bahwa setiap pelukan sayang dari seorang suami kepada istrinya atau sebaliknya, akan mampu menambah angka harapan hidup pasangannya setiap hari. Tak percaya? Buktikan saja! * * * Sumber gb: http://th1979.files.wordpress.com/2010/05/suami-istri.jpg

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun