Mohon tunggu...
sigit setiawan
sigit setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Pengajar di Jurusan Karawitan ISI Surakarta

Pecinta Gamelan dan Wayang

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mereka yang Menolak "Mati" (dari Covid-19) Melalui Seni Pertunjukan

15 Mei 2020   01:59 Diperbarui: 15 Mei 2020   02:01 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Mengenai pertanyaan apa, bagaimana, di mana, kapan, dan mengapa, para pelaku seni di Rumah Banjarsari (RB), Solo, menyelenggarakan pertunjukan seni (musik dan tari) secara on line, dapat dilihat pada link berikut : https://youtu.be/c7LhNPDD2SM beserta dengan BC Watsapp-nya Mas Gon (Gondrong Gunarto). Tentu tulisan ini tidak akan membahas mengenai hal-hal tersebut, tetapi lebih sebagai "orang luar", atau katakanlah, sebagai penonton atau penikmat seni pertunjukan yang mencoba mengapresiasi karya seni pertunjukan dan mengungkapkannya melalui deretan huruf dan kata.

Luar biasa. Kata sangat pantas bila melihat pertunjukan musik dan tari bertajuk "Ngamen Onlen" kemarin. Saya berkeyakinan pada kata-kata "hasil tidak akan pernah menghianati proses". Tata panggung, lighting, soundsystem, musik yang khas, tarian kontemporer -- atau apapun istilahnya -- ,  menyatu dalam satu pertunjukan. Setidaknya memberikan air pada dahaga aktivitas seni pertunjukan. Karena kita tahu bahwa sekitar dua atau tiga bulan terakhir memang seni pertunjukan dipaksa berhenti oleh Covid-19. Tidak hanya bagi para seniman yang berhasil meneguk air atas pertunjukan ini, bahkan penonton juga diijinkan untuk mengobati dahaga mereka.

Pertunjukan yang digelar kurang lebih 26 menit itu, seperti dijelaskan Mas Gon, bahwa karya "Ngrabuk Nyawa" ini tersusun dalam tiga rangkaian karya musiknya yang berjudul  Salju, Lebur, dan Dukkha. Ketiganya merupakan karya musik yang menggabungkan antara kecapi, beberapa instrumen gamelan Jawa, soundscape gitar elektrik, bermacam seruling , dan vokal. Semuanya didukung oleh musisi yang mahir di bidangnya, yang secara kebetulan, menurut Mas Gon, saat ini mereka merasakan suasana yang sama. Maka tidak heran bahwa aura karya yang hadir menjadi sangat Gondrong banget ; kepiluan, kesedihan, kerinduan, dan romantisme yang bercampur menjadi satu tanpa bisa kita memilahnya. Bahkan bagi para penontonnya (penggemarnya) bisa sampai merinding bahkan meneteskan air mata ketika mendengarnya.

Situasi karya tersebut kemudian direspon dengan tarian bebas oleh Mbak Tutut sekaligus sang empuya vokal, Mas Dhanang dan Mbak Galuh. Kemudian mereka mengekspresikan suasana musik Mas Gon melalui idiom gerak bebas. Terjadi dialog rasa, kolaborasi antar lini, saling mengisi, dan akhirnya "gathuk" menjadi satu kesatuan pertunjukan.

 Selain pertunjukan yang memang sengaja digunakan untuk ngamen dan juga tumpahan dari rasa bosan yang ada, -- ijinkan -- saya juga memaknai pertunjukan ini adalah juga wujud dari ruang-ruang doa. Doa supaya kehidupan ini tidak terlalu terburu berakhir. Agar keletarian kehidupan tetap terjaga, maka menjaga marwah kehidupan melalui simbol kehidupan menjadi penting. Artinya melalui pertunjukan ini pula mereka menolak untuk "mati".  Ada beberapa simbol kelestarian hidup yang dapat dilihat dari pertunjukan ini. Dekorasi penganten di panggung menunjukan itu, laki-laki dan perempuan. Sementara "syair-syair" dalam karya Mas Gon, adalah "isian" dari keromantisan laki-laki perempuan tersebut. Simbol kelingga-yonian diperkuat dengan Mas Danang dan Mbak Galuh pada karya ketiga. Tepat ending dari karya ini; bangunan musikal Dukkha beserta syair "semesta" melantang dengan gesture wajah menghadap keatas. Sementara dari depan dan arah yang berlawanan Mas Danang dan Mbak Galuh dengan gerakan yang mirip, sama-sama menengadahkan wajahnya ke atas.  Bagi saya, itu adalah sesuatu yang dapat dimaknai sebagai ekspresi doa.

Memang pada satu sisi, memaknai seni pertunjukan dapat mengurai doktrinasi makna yang selama ini ditanamkan kebenarannya. Seni pertunjukan sering kali mendekonstruksi kemapanan makna. Pemaknaan baru sering kali dipahami sebagai sesuatu yang mengada-ada, usaha dengan metode cocoklogi. Tapi bukankah itu kehebatan seni? Yang mampu menerabas konvensi makna, dan meliarkan imajinasi. Imajinasi saya berkata bahwa pertunjukan ini telah menyiratkan beberapa makna yang salah satunya adalah wujud dari perlawanan atas situasi yang ada, tetap survive dengan laku berkeseniannya, sembari berdoa kepada semesta supaya pagebluk ini segera berakhir.


Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun