Mohon tunggu...
Sigit Kurniawan
Sigit Kurniawan Mohon Tunggu... lainnya -

Lahir di Jogjakarta tiga dekade silam. Saat remaja, mengembara di lorong-lorong Jakarta, sebuah city of joy yang menyuguhkan kesepian di tengah keramaian. Setiap hari menjadi tukang corat-coret di sebuah pabrik kata-kata. Baginya, segala peristiwa dalam hidup akan menjadi lebih indah dan bermakna usai ditorehkan dalam kata-kata. Moto hidupnya "SCRIBO ERGO SUM, Aku Menulis maka Aku Ada." Tempayan air kata-katanya bisa dibaca di blog http://katakataku.com (blogging for humanity). Lagi belajar sastra dan filsafat agar bisa memandang hidup ini tidak hitam putih. Selamat menimba kesegaran dalam tempayan air kata-kata ini. Mari merayakan hidup!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Heterofobia dan Penindasan Atas Liyan

15 Oktober 2009   03:07 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:36 357
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dua film di atas menjadi kritik atas kehidupan sosial kita. District 9 adalah sebuah metafor. Beberapa sumber menyebut film Neil Blomkamp tersebut mau mengungkap kembali coretan hitam politik apartheid di Afrika Selatan. Ia terinspirasi dari film dokumenternya berjudul Joburg. Film ini merekam relokasi massal komunitas non kulit putih dari District 6 Cape Town ke Cape Flats pada 1966. Ada sekitar 60 ribu orang kulit hitam yang selama 20 tahun tinggal di sana dan dipaksa pindah sejauh 16 mil. Kita tahu politik apartheid sebagai politik yang meminggirkan kaum kulit hitam.

Memang, alien atau liyan ini biasanya terwakili dengan berbagai pihak minoritas. Minoritas yang tidak menganut aturan (pakem) umum atau arus besar (mainstream). Mereka bisa berupa minoritas etnis, suku-suku terasing, kaum gipsi, anggota sekte terlarang, musuh politis rezim penguasa, kaum pendatang, dan sebagainya. Mereka muncul pada orang-orang yang menganut perilaku, ada kebiasaan yang berbeda dengan komunitas besar. Termasuk juga mereka yang berpenampilan norak. Liyan juga muncul pada orang-orang dalam situasi yang sangat ekstrem, seperti orang yang sangat miskin dan menderita maupun orang yang sangat kaya raya.

Liyan juga tampil dalam diri kaum homoseksual. Kaum gay maupun lesbian dianggap sebagai alien, sosok asing di kalangan masyarakat penganut standar normal seksualitas. Liyan hadir pula dalam orang-orang yang mengalami kemunduran mental, seperti orang idiot maupun gila. Bahkan, orang-orang yang mengalami deformasi fisik (cacat) seperti Si Manusa Gajah atau Chrisopher Jenson mewakili sosok Liyan yang tidak jarang membuat orang lain jengah.  Di ranah ideologis, Liyan muncul dalam orang-orang yang dianggap PKI alias komunis. Selama Orde Baru, kita dicekoki gambaran kaum komunis sebagai kaum sadis, menakutkan, dan jadi ancaman. Di wilayah agama, sekte atau aliran sempalan menjadi suatu yang dianggap menganggu. Tak jarang, para penganut aliran ini mengalami penindasan, baik dalam rupa pengejaran, perusakan tempat ibadat, maupun pembunuhan.

Problem dari heterofobia terletak pada turunannya, yakni menjadikan Liyan sebagai ancaman. Bahkan menjadi objek diskriminasi sekaligus objek kekerasan.  Stigmatisasi terjadi dan menghambat proses komunikasi kita dengan mereka. Bahkan, dengan mudah terjadi dehumanisasi dan depersonalisasi. Kita sebagai mayoritas merasa punya kekuasaan otomatis untuk menghakimi mereka sebagai yang pantas direndahkan, dibenci, bahkan dilukai (bdk. F. Budi Hardiman, 2005). Ketakutan mempunyai potensi melahirkan kekerasan. Bertrand Rusell menyatakan ketakutan sebagai muara takhayul sekaligus kekejaman.

Sejarah Indonesia menorehkan berbagai mozaik sejarah ketakutan pada Liyan ini. Komunisme yang bangkrut sejak lama masih menghantui sampai sekarang. Lepas dari permainan politik, stigmatisasi komunis sebagai yang jahat dan membahayakan masih terasa hingga sekarang. Diskusi-diskusi buku-buku kiri dibubarkan secara paksa. Para keturunan orang-orang yang dicap PKI masih kehilangan hak-hak publiknya.  Belum lagi, kekerasan-kekerasan berlatar ras, agama,  dan etnis. Warga Indonesia beretnis Tionghoa harus menunggu bertahun-tahun untuk bisa merayakan Imlek di samping mendapatkan perlakukan sejajar dengan warga Indonesia lainnya di berbagai dimensi sosialnya. Kaum homoseksual masih hidup sembunyi-sembunyi dalam kantong-kantong. Sebagian masyarakat masih belum bisa menerima mereka. Mereka masih dianggap sakit dan ‘virus' yang bisa menular. Lebih-lebih kaum homoseksual diidentikan dengan perilaku seksual tidak sehat dan rentan penyakit mematikan.

Cinta Pada Yang Lain

Salah satu jalan mencintai Liyan ini adalah keberanian memahami Liyan itu sendiri. Mematahkan rasa takut dilakukan dengan menghilangkan stigma-stigma dalam batok kepala kita pada mereka. Emmanuel Levinas (1906-1995) dalam Totality and Infinity mengatakan Liyan bisa dipahami karena yang lain itu menampakkan wajahnya (l'epiphanie du visage). Tidak sebatas penampakan fisik. Tetapi, orang lain  menurut keberlainannya. Lebih tepatnya wajah yang telanjang (le visage nu). Wajah yang mempunyai makna secara langsung, tanpa penengah, dan tanpa konteks (K.Bertens, 1996).

Bagi Levinas, Liyan itu muncul secara otonom, punya dimensi tak terselami, dan bukan bagian dari perentangan (ekterioritas) diri kita (ego). Penampakan wajah ini menjadi sebuah kejadian etis. Wajah itu menyapa kita dan kita tidak boleh acuh tak acuh pada wajah itu. Kita harus mendengarkannya. Lantaran penampilan wajah, kita diinterpelasi dan dipanggil untuk bertanggung jawab. Perjumpaan dan persentuhan dengan wajah Liyan inilah yang memungkinkan proses komunikasi dan pembelajaran. Kita hanya bisa memahami Liyan kalau kita mempunyai compassion dengan mereka. Kata lain, ada di di pihak mereka. Persis seperti yang terjadi pada Wikus dalam District 9. Komunikasi terjalin karena ia mampu merasakan pahitnya menjadi seorang alien itu sendiri.

Komunikasi langsung dengan tatap muka Liyan melahirkan kewajiban etis yang bersifat asimetris. Artinya, kita mempunyai tanggung jawab pada Liyan tanpa harus mengetahui Liyan akan melakukan tanggung jawab serupa pada kita. Dalam relasi ini, tidak ada sistem do ut des, balas jasa. Bahasa komunikasinya adalah bahasa sapaan, percakapan, maupun dialog. Titik tolaknya bukan pada kesadaran ala Descartes (la conscience theorique) melainkan hati nurani (la conscience morale).

Dialog yang mendengarkan Liyan itu akan membawa kesadaran kita pada pemahaman bahwa Liyan itu ternyata sama dengan diri kita pada taraf terdalam. Liyan adalah panggilan kita untuk bertanggung jawab secara etis. Karena ini relasi etis, setiap tindakan pengucilan, pencideraan, diskriminasi, perusakkan pada diri Liyan atas nama yang sakral, kebenaran, ketertiban umum, maupun normalitas sekalipun adalah tindakan tidak bermoral!

Mari kita melihat sekeliling kita. Siapa tahu John Merrick, Christopher Jenson, dan para alien itu hadir di depan, belakang, samping kanan, samping kiri, kita saat ini. Siapa tahu selama ini mereka ternyata tertindas oleh kita sendiri?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun