Mohon tunggu...
Sigit Kurniawan
Sigit Kurniawan Mohon Tunggu... lainnya -

Lahir di Jogjakarta tiga dekade silam. Saat remaja, mengembara di lorong-lorong Jakarta, sebuah city of joy yang menyuguhkan kesepian di tengah keramaian. Setiap hari menjadi tukang corat-coret di sebuah pabrik kata-kata. Baginya, segala peristiwa dalam hidup akan menjadi lebih indah dan bermakna usai ditorehkan dalam kata-kata. Moto hidupnya "SCRIBO ERGO SUM, Aku Menulis maka Aku Ada." Tempayan air kata-katanya bisa dibaca di blog http://katakataku.com (blogging for humanity). Lagi belajar sastra dan filsafat agar bisa memandang hidup ini tidak hitam putih. Selamat menimba kesegaran dalam tempayan air kata-kata ini. Mari merayakan hidup!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Heterofobia dan Penindasan Atas Liyan

15 Oktober 2009   03:07 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:36 357
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Lelaki buruk rupa itu merangsek ke kerumunan orang di jalanan. Wajahnya ditutupi kain. Penuh benjolan. Bibirnya  sumbing. Bentuknya tak keruan. Matanya cekung ke dalam. Terhalang oleh gumpalan daging yang tidak rata. Dahinya menonjol ke depan. Rambut depannya rontok meninggalkan  botak tak merata. Rambut belakang awut-awutan dan jarang-jarang. Giginya tidak utuh. Kerepes di sana-sini. Berselimutkan liur yang tak henti menetes. Kulitnya bersisik. Ia pendek. Cara berjalannya tidak seperti orang normal. Ia mirip monster ketimbang manusia. Orang-orang pada takut dan jijik saat memandangnya. Mereka terdiam sesaat. Terpukau, berlanjut takut dan menghindar.

Sosok lelaki itu tak lain adalah John Merrick. Ia tinggal di London. Ia seorang yang tercerabut dari khalayak. Ia harus lebih sering mengurung diri di kamar sumpek ketimbang keluyuran di ruang publik. Sampai suatu ketika Merrick ditemukan oleh Dr. Frederick Treves dalam sebuah pertunjukan sirkus. Kondisi Merrick mengantarnya pada kehidupan seperti binatang. Ia disuruh tampil dalam hiburan sirkus. Ia menghibur, tapi ia sendiri mengalami penderitaan yang dalam. Akhirnya, di sepotong hari, Merrick memberontak dalam hati. Ia menjerit atas kemanusiaannya. "Aku  bukan binatang. Aku seorang manusia! Seorang Manusia!" jeritnya.

Itulah sepenggal narasi dalam film besutan David Lynch berjudul "The Elephant Man" (1980). Alur film ini mengalir dan menguarkan  suasana horor yang  meneror kemapanan berpikir kita. Selain itu, atmosfer absurditas campur satu dengan suasana ngeri, takut, jijik, pilu, kasihan, dan cinta. Campur baur jadi satu. Sebenarnya, film ini memunyai tujuan kritik pada masyarakat industrialis yang mekanistis, otomatis, praktis, dan tunggal. Dalam masyarakat demikian, ada beberapa yang terpinggirkan, terasingkan, tak diperhitungkan, dan dibuang.

Film yang dibintangi John Hurt ini multinilai. Salah satunya adalah bagaimana kita menerima kehadiran "yang lain" atau "liyan" (the other). Tak disangkal, hidup senantiasa menyuguhkan kejutan-kejutan. Kejutan itu timbul dengan kehadiran sesuatu yang lain (yang lain). Liyan ini adalah yang tidak lumrah, yang asing, yang tidak lengkap, yang tidak serupa dengan kita, ganjil, beda, tidak biasa, tidak umum, tidak semestinya, di luar hukum dan aturan, yang melenceng, menyimpang, dan sebagainya. Realitas "Liyan" ini tak jarang kita temui di tengah-tengah kita.

Liyan muncul sebagai yang dianggap menyimpang dari sebuah standar normalitas (yang normal) yang dianut secara dominan oleh mayoritas masyarakat. Kita akui dengan jujur, tidak jarang, kehadiran Liyan ini sangat menggelisahkan, bahkan menakutkan. Sastrawan Italia Elias Canetti menulis, "Tidak ada yang lebih menakutkan manusia daripada persentuhan dengan yang tidak dikenal."  Yang tidak dikenal ini datang membangkitkan bulu kuduk.  Ketakutan pada sosok Liyan inilah yang disebut dengan heterofobia.

Ikon Alien

Salah satu paling gampang menggambarkan yang lain adalah ikon alien-mahkluk luar angkasa. Alien jamak dilukiskan dengan paras menjijikkan sekaligus mengerikan. Mari kita lihat film besutan Neill Blomkamp berjudul "District 9" (2009). Suatu ketika-selama 20 tahun, sebuah pesawat alien bertengger di atas kota Johannesburg, Afrika Selatan. Pesawat superbesar ini membawa jutaan alien. Sampai suatu saat, ras manusia yang diwakili oleh kelompok peneliti MNU (multi-national united), menemukan mereka dan mengkarantina mereka dalam wilayah yang disebut District 9. Ruang gerak mereka dibatasi oleh pagar berduri. Nasibnya persis seperti yang dialami John Merrick dalam The Elephant Man-hanya saja Merrick ditampilkan sebagai manusia.

Paras alien itu mengerikan. Mirip zombie. MNU lebih suka menyebutnya prawn, udang. Seperti yang ditampilkan dalam sosok Christopher Jonson-sosok alien yang diberi nama oleh MNU. Dalam film ini, ras alien ditampilkan lemah. Mereka diberi makanan kaleng khusus kucing. Mereka juga menjadi objek observasi. Objek penelitian di laboratorium ilmiah. Untuk kepentingan supervisi, setiap alien harus disensus. ‘Penindasan' pada koloni itu pun dimulai. Tapi, mereka mempunyai senjata yang supercanggih dan membuat MNU mengincarnya. Meski senjata itu hanya bisa dioperasikan oleh alien sendiri.

Di karantina itu, para alien berhabitat dengan komunitas orang kulit hitam yang berdagang senjata. Puluhan tahun District 9 menjadi tempat kumuh. Mirip perumahan di kompleks tempat pembuangan sampah. Populasi di sana terus meningkat. Membuat MNU berniat merelokasi mereka. Tapi, para ‘udang' ini tidak mau. Muncullah konflik antara MNU dan mereka. Mereka juga diawasi agar mereka tidak bisa naik ke pesawat mereka dan pergi. Operasi yang dipimpin Wikus van der Merwe (Sharlto Copley) gagal. Wikus sendiri malah terkontaminasi cairan alien dan perlahan mengalami mutasi menjadi alien itu sendiri. Wikus pun bernasib seperti para ‘udang' itu. Tapi, tragedi membuat Wikus mampu membangun komunikasi dan relasi intim dengan Christopher Jonson. Sampai akhirnya, Wikus mampu mengantar Jonson dan anakknya melarikan diri ke pesawat mereka dan pergi dari karantina itu.

Ada di antara Kita

Sebenarnya, liyan atau alien itu nyata hadir di tengah-tengah kita. Mereka terserak di ruang publik tempat kita berada. Mereka ada di hampir setiap dimensi sosial dan personal hidup kita. Seperti dimensi sosio kultural, politik, psikologi, ideologi, agama, gender, seksualitas, dan sebagainya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun