Mohon tunggu...
Sigit E Praptono
Sigit E Praptono Mohon Tunggu... Praktisi Budidaya dan Pemerhati SDM Akuakultur

Bersepeda

Selanjutnya

Tutup

Worklife

Syukur: Tameng Generasi Muda dari Stres dan Depresi

26 September 2025   13:36 Diperbarui: 26 September 2025   13:36 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di era digital yang serba cepat ini, generasi muda kerap digambarkan sebagai generasi yang penuh peluang sekaligus sarat tekanan. Media sosial menampilkan standar kesuksesan yang kadang tak realistis; tuntutan akademik dan pekerjaan semakin kompetitif; sementara kondisi ekonomi global juga ikut menekan. Tak heran, banyak anak muda merasa 'selalu kurang' - kurang pintar, kurang berhasil, kurang kaya, bahkan kurang bahagia.

Fenomena ini tercermin dalam data. Menurut laporan World Health Organization (WHO, 2023), satu dari tujuh remaja di dunia mengalami masalah kesehatan mental, dengan depresi dan kecemasan sebagai keluhan paling dominan. Di Indonesia, survei Kementerian Kesehatan (2022) mencatat peningkatan signifikan kasus gangguan kecemasan dan depresi pada kelompok usia 15--24 tahun. Kondisi ini mengingatkan kita bahwa di balik tawa anak muda yang kita lihat di layar ponsel, ada kegelisahan yang nyata.

Namun, di tengah hiruk-pikuk itu, ada sebuah 'alat proteksi' sederhana yang kerap terlupakan: syukur.

Syukur sebagai Coping Mechanism

Syukur bukan hanya konsep religius atau moral, melainkan juga terbukti secara ilmiah memberi efek protektif pada kesehatan mental. Robert A. Emmons dan Michael E. McCullough, dua peneliti psikologi positif, menunjukkan dalam risetnya (Journal of Personality and Social Psychology, 2021) bahwa praktik syukur mampu meningkatkan kesejahteraan emosional, menurunkan tingkat stres, bahkan mengurangi gejala depresi.

Syukur bekerja seperti kacamata baru: ia tidak menghapus kesulitan, tetapi mengubah cara kita memandangnya. Dalam perspektif psikologi, ini disebut cognitive reappraisal - kemampuan menafsir ulang situasi negatif menjadi pengalaman yang lebih positif. Bagi anak muda yang mudah merasa terjebak dalam 'perangkap perbandingan' di media sosial, syukur menjadi jangkar yang menjaga pikiran tetap stabil.

Kisah Nyata di Balik Praktik Syukur

Bayangkan seorang mahasiswa yang gagal ujian mata kuliah penting. Tanpa syukur, ia mungkin tenggelam dalam perasaan gagal, membandingkan diri dengan teman-temannya yang sukses, dan akhirnya jatuh dalam spiral stres. Namun dengan perspektif syukur, ia bisa melihat kegagalan itu sebagai kesempatan belajar, menyadari masih ada dukungan teman atau keluarga, dan memahami bahwa nilai akademik bukan satu-satunya penentu masa depan.

Syukur tidak membuat masalah hilang, tetapi memberi ruang bagi jiwa untuk bernapas.

Praktik sederhana seperti menulis jurnal syukur - mencatat tiga hal yang disyukuri setiap hari - terbukti efektif meningkatkan kebahagiaan, sebagaimana dibuktikan dalam meta-analisis yang dipublikasikan di Frontiers in Psychology (Wong et al., 2022). Tidak harus hal besar: secangkir kopi hangat, obrolan ringan dengan teman, atau sekadar tubuh yang sehat untuk beraktivitas.

Syukur, Bahagia, dan Rezeki

Dalam budaya Indonesia, kata syukur hampir selalu dikaitkan dengan rezeki. Namun, rezeki sering dipersempit maknanya pada aspek materi: gaji, harta, atau prestasi. Padahal, rezeki juga bisa berupa kesehatan, waktu berkualitas bersama keluarga, hingga kesempatan mencoba hal baru.

Generasi muda yang mampu melihat rezeki dalam spektrum yang lebih luas akan lebih mudah merasa 'cukup'. Rasa cukup inilah yang melahirkan kebahagiaan sejati. Seperti kata pepatah Jawa, urip iku mung sawang-sinawang, hidup ini soal cara memandang. Syukur mengajarkan bahwa meski hidup penuh tekanan, selalu ada bagian kecil yang pantas dirayakan.

Syukur dalam Perspektif Antargenerasi

Menariknya, cara memaknai syukur ternyata berbeda antara generasi. Generasi tua lebih sering menempatkan syukur dalam konteks religius: doa, ibadah, atau ungkapan spiritual. Generasi muda, sebaliknya, cenderung mengaitkan syukur dengan praktik self-care dan psikologi positif.

Meski berbeda kemasan, esensinya sama: syukur menenangkan hati, menjernihkan pikiran, dan menguatkan relasi sosial. Inilah titik temu yang seharusnya menyatukan generasi, bukan memisahkan. Orang tua bisa mengajarkan kedalaman spiritual dalam bersyukur, sementara anak muda membawa perspektif ilmiah dan praktik keseharian yang relevan dengan tantangan zaman.

Menghadapi Tekanan Zaman dengan Syukur

Syukur bisa menjadi tameng alami melawan stres dan depresi. Caranya sederhana, misalnya:

  1. Menulis jurnal syukur: catat hal-hal kecil yang patut dihargai setiap hari.
  2. Sending love: ucapkan terima kasih atau apresiasi kepada orang terdekat.
  3. Mindfulness: berhenti sejenak, tarik napas, lalu sadari momen kecil yang sering terlewat.
  4. Menyadari makna rezeki: mengubah definisi sukses dari sekadar pencapaian materi menjadi keseimbangan hidup.

Dengan langkah kecil ini, generasi muda bisa membangun kekebalan mental di tengah tekanan akademik, sosial, maupun ekonomi.

Refleksi Penutup

Stres dan depresi di kalangan generasi muda adalah persoalan nyata yang perlu perhatian serius. Namun, kita juga memiliki kunci sederhana yang bisa membantu: syukur. Ia bukan sekadar ucapan, melainkan laku harian yang mengubah perspektif dan memberi kekuatan.

Generasi muda sering dituntut untuk selalu berlari, padahal terkadang kuncinya adalah berhenti sejenak dan menghargai apa yang sudah ada. Syukur memberi rasa cukup, dan rasa cukup menumbuhkan bahagia.

Pada akhirnya, syukur adalah bentuk rezeki itu sendiri.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun