Mohon tunggu...
Sigit Budi
Sigit Budi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Blogger ajah

blogger @ sigitbud.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Indeks Demokrasi Kita dan Tahun Politik

20 Februari 2018   23:42 Diperbarui: 21 Februari 2018   07:29 443
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seruan memperjuangkan kebhinekaan (dok. Pribadi)

Tahun 2017, BPS merilis Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) tahun sebelumnya, yakni tahun 2016 dimana bertepatan pesta demokrasi Pilkada di beberapa daerah termasuk DKI Jakarta. Menariknya, dari hasil survei itu, BPS mencatat ada 2 variabel IDI  yang menurun yakni  variabel kebebasan berkumpul dan berserikat serta kebebasan dari diskriminasi. Secara umum, IDI tahun 2016 mengalami penurunan.

Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) 2016 di tingkat nasional berada di angka 70,09 dari 100. Angka ini menurun dibandingkan IDI 2015 yang berada di angka 72,84 dan IDI 2014 sebesar 73,04, seperti dilansir CNN (14/09/2017).

Apakah tahun 2017 akan mengalami penurunan lagi 2 variabel tersebut, kita tunggu lansiran BPS soal ini beberapa bulan lagi. Mestinya hasil IDI tahun 2017 tak akan jauh beda dengan tahun 2016, putaran II Pilkada DKI Jakarta bisa jadi salah satu penyumbang turunnya IDI 2017.

Apakah IDI akan terus turun mengingat tahun 2018 dan 2019 adalah tahun politik? Mencermati dinamika Pilkada DKI Jakarta lalu dan suksesnya metode kampanye berbasis politik identitas bukan tidak mungkin.

Politik identitas sesungguhnya tidak menjadi persoalan rentan bila implikasinya positif, artinya tidak  menimbulkan konflik kekerasan di akar rumput. Di negara maju pun pola berpolitik seperti itu juga ada, jadi bukan hal aneh. Menjadi sebuah penyimpangan ketika politisi menggunakan politik identitas untuk menyudutkan lawan politik dengan kekerasan non-verbal atau verbal. 

Kekerasan terhadap sejumlah tokoh agama, bahkan sampai ada yang meninggal ditengarai sebagai skenario politik berbasis identitas agama untuk menyudutkan pihak - pihak tertentu di tahun politik ini. Apalagi modus - modusnya dari pantauan media, korban dari berbagai agamawan. Tentu hal ini sangat memprihatinkan kita semua, ada modus adu domba, ada aktor - aktor yang ingin Indonesia kacau (chaos).

Kondisi Indonesia pada tahun politik ini menjadi keprihatinan sejumlah, termasuk sedikitnya tokoh - tokoh dari berbagai kalangan yang menyerukan himbauan agar kita semua menjaga dan memperjuangkan  kebhinekaan kita.

Bahkan Presiden Joko Widodo pernah menyatakan kepada publik bahwa tidak ada tempat bagi intoleransi dan kebebasan beragama  merupakan setiap warga serta dijamin oleh konstitusi. Pernyataan ini sebagai tanggapan atas maraknya kekerasan non-verbal dan verbal (persekusi) di tengah masyarakat.

Sebuah respon terhadap kondisi politik saat ini, Setara Institute dan berbagai tokoh dan kalangan  menyerukan moral kebhinekaan  di-inisiasi di Hotel Century (20/02/2018). Salah satu butir seruan ini adalah di setiap perhelatan politik, baik Pilkada, Pileg, Pilpres tidak menggunakan cara - cara Machiavelis lewat politisasi agama, kampanye hitam, dan syiar kebencian berbasis sentimen SARA.

Pengamat politik, Ray Rangkuti yang tergabung dalam gerakan itu menyatakan politik dengan isu SARA lebih berbahaya daripada politik uang, sebab politik uang tidak menimbulkan kekerasan horizontal.

Inisiator - inisiator gerakan ini mengajak semua elemen masyarakat untuk mengeluarkan segenap upaya yang efektif mencegah dan menangani setiap ancaman atas kebhinekaan. Selain mendesak pemerintah menindak tegas upaya - upaya yang ingin memecah- belah elemen - elemen yang bhineka.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun