Seringkali kita mendengar keluhan teman, rekan, sahabat mengenai reaksi anak remaja yang "suka" melawan orangtuanya. Hal seperti ini memang seringkali  terjadi,  namun tidak bisa dianggap biasa karena reaksi yang sewaktu-waktu muncul  sangat mungkin di luar dugaan, dan cukup membahayakan lingkungan sekitar,  seperti misalmya melakukan pemukulan.
Ketika memasuki usia remaja banyak anak  yang membangun tembok antara orangtua dengan dirinya, terkadangpun "memblokir" komunikasi tanpa alasan. Hal ini merupakan  salah satu bentuk reaksi  penolakkan  atas segala perubahan yang terjadi pada dirinya, yang kemudian melahirkan emosi yang seringkali fluktuatif up and down.
Emosi itu sendiri melibatkan:
Pengalaman subyektif yang dialami,
Respon fisik (sensasi tubuh) : dada berdetak kencang, wajah memerah,
Respon perilaku dan ekspresi : teriak, menangis, marah-marah
Melalui pendekatan-pendekatan yang dapat membangun kepercayaan dirinya bahwa orang-orang terdekatnya, terutama orangtua, selalu mendukung dan ada untuknya akan menimbulkan perasaan "dekat" dan selalui disayang, diantara rasa benci pada dirinya sendiri karena perubahan-perubahan yang yang ia rasakan.
Untuk itu perlu bagi kita para orangtua perlu memahami seputar permasalahan emosi remaja kita. Emosi remaja perlu untuk dikelola, bukan ditahan,  tetapi tidak juga  dilepaskan begitu saja. Yang terpenting dalam mengatasi emosi remaja adalah  melepaskan,  menyalurkan  dan mengendalikan emosi dengan cara yang tepat.Â
Inilah yang kemudian disebut manajemen emosi. Berikut ini beberapa hal yang bisa kita lakukan dalam membantu anak dan remaja kita untuk belajar mengelola emosinya:
Ajak anak untuk mengenali emosi yang dirasakannya, dengan cara berkomunikasi dengannya saat sedang santai dan carilah suyek pembicaraan yang ia sukai,
Latih kepekaan anak untuk mengenali sensasi tubuh yang dirasakannya, sambil berjalan santai atau mendengarkan musik bersama,