Sejarah Surakarta: Dinamika Perkembangan Kota dan Budaya
Â
Abstrak
Surakarta adalah salah satu kota paling bersejarah di Jawa Tengah yang memegang peranan penting dalam perjalanan politik, sosial, dan budaya Jawa. Artikel ini mengkaji secara komprehensif dinamika sejarah Surakarta mulai dari masa Kesunanan hingga era modern, dengan fokus pada perkembangan tata kota dan pelestarian budaya tradisional. Kajian ini menggunakan metode studi literatur dengan tinjauan dari berbagai buku, jurnal ilmiah, dan artikel penelitian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Surakarta tidak hanya sebagai pusat kekuasaan politik, tetapi juga sebagai pusat budaya yang mempertahankan tradisi Jawa di tengah perkembangan zaman.
Kata Kunci : Surakarta, sejarah kota, budaya Jawa, Kesunanan, tata kota, warisan budaya.
Pendahuluan
Surakarta atau Solo merupakan kota yang memiliki warisan sejarah dan budaya sangat kaya di pulau Jawa. Sebagai kelanjutan dari Kesultanan Mataram yang terpecah pasca Perjanjian Giyanti tahun 1755, Surakarta menjadi pusat Kesunanan yang penting di Jawa Tengah (Ricklefs, 2001). Selain berperan sebagai pusat kekuasaan, Surakarta juga merupakan jantung kebudayaan Jawa dengan tradisi seni dan budaya yang masih dipertahankan hingga saat ini. Kajian ini bertujuan untuk menggali dinamika perkembangan Surakarta secara menyeluruh, khususnya dalam aspek tata kota dan budaya, yang mempengaruhi identitas masyarakat Jawa secara luas.
Tinjauan Literatur
Ricklefs (2001) menjelaskan bahwa Perjanjian Giyanti menjadi momen penting dalam sejarah politik Jawa karena memecah kerajaan besar Mataram menjadi dua entitas politik yakni Kesunanan Surakarta dan Kasunanan Yogyakarta. Pemecahan ini menghasilkan perubahan signifikan dalam sistem politik dan pengelolaan wilayah di Jawa Tengah. Kesunanan Surakarta, meskipun terbatas kekuasaannya oleh pengaruh Belanda, tetap mempertahankan sistem kerajaan yang kuat secara simbolis dan kultural.
Soekmono (1973) membahas tentang tata kota Surakarta yang dirancang berdasarkan prinsip kosmologi Jawa, di mana posisi keraton, alun-alun, masjid, dan kawasan pemukiman menggambarkan keseimbangan alam dan spiritual. Tata ruang ini tidak hanya berfungsi praktis tetapi juga sebagai manifestasi ideologi politik dan filosofi Jawa tentang harmoni alam dan manusia.
Coomans (2011) memaparkan bagaimana keraton Surakarta berperan sebagai pusat pelestarian seni tradisional, seperti batik, gamelan, dan wayang kulit. Pelestarian ini tidak hanya berupa pelestarian fisik tetapi juga pelestarian nilai-nilai budaya yang diwariskan secara turun-temurun.