Mohon tunggu...
sidney nadeak
sidney nadeak Mohon Tunggu... mahasiswa

mahasiswa yang menulis tulisan mengenai perlindungan perempuan dan anak

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Dilema Pemberdayaan Perempuan di Tengah Masih Kuatnya Budaya Patriarki dan Kekerasan Terhadap Anak

17 Oktober 2025   00:35 Diperbarui: 17 Oktober 2025   00:30 10
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak merupakan dua aspek penting dalam mewujudkan keadilan dan kesejahteraan sosial di Indonesia. Namun, realitas sosial menunjukkan bahwa keduanya masih menghadapi berbagai tantangan serius akibat kuatnya budaya patriarki serta meningkatnya angka kekerasan terhadap perempuan dan anak. Meskipun berbagai kebijakan telah diterbitkan, seperti Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, ketidaksetaraan gender dan kekerasan masih menjadi masalah struktural yang sulit dihapuskan. Kesenjangan antara kebijakan normatif dengan realitas sosial di masyarakat menunjukkan bahwa pemberdayaan perempuan belum sepenuhnya berjalan efektif. Budaya patriarki yang menempatkan laki-laki sebagai pihak dominan telah menghambat proses kemandirian dan partisipasi perempuan dalam kehidupan publik. Sementara itu, anak-anak khususnya anak perempuan---sering menjadi korban kekerasan fisik, psikis, maupun seksual akibat lemahnya sistem perlindungan sosial dan hukum. Artikel ini mengkaji dilema yang dihadapi dalam upaya pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak di tengah masih kuatnya budaya patriarki serta dampaknya terhadap struktur sosial masyarakat Indonesia.

Budaya patriarki merupakan sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai pusat kekuasaan dan otoritas dalam berbagai aspek kehidupan, mulai dari keluarga hingga politik. Dalam konteks ini, perempuan sering kali dianggap sebagai pihak yang lebih rendah dan harus tunduk pada laki-laki. Menurut Suryadi (2020), patriarki telah membentuk struktur sosial yang mengekang ruang gerak perempuan dalam bidang pendidikan, ekonomi, maupun politik. Di Indonesia, pengaruh patriarki masih kuat, misalnya melalui pandangan tradisional yang menganggap bahwa peran utama perempuan adalah di ranah domestik sebagai ibu rumah tangga. Hal ini berimplikasi pada terbatasnya kesempatan perempuan untuk berkarier atau berpartisipasi dalam pengambilan keputusan publik. Ketimpangan ini berdampak pada rendahnya representasi perempuan di sektor formal dan pemerintahan. Lebih jauh, sistem patriarki juga melahirkan praktik diskriminatif seperti perbedaan upah kerja berdasarkan gender, kurangnya akses terhadap pendidikan tinggi, serta pembatasan peran perempuan dalam politik. Akibatnya, program pemberdayaan perempuan yang digagas pemerintah sering kali hanya bersifat simbolik dan belum mampu mengubah struktur sosial secara signifikan.

Kekerasan terhadap Anak sebagai Dampak Ketidaksetaraan Sosial

Kekerasan terhadap anak merupakan salah satu akibat langsung dari sistem sosial yang tidak setara dan relasi kuasa yang timpang. Data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) menunjukkan bahwa sepanjang tahun 2023 tercatat lebih dari 16.000 kasus kekerasan terhadap anak di Indonesia, dengan sebagian besar korban adalah anak perempuan. Kekerasan ini meliputi kekerasan fisik, psikis, seksual, dan penelantaran. Ironisnya, sebagian besar kekerasan tersebut terjadi di lingkungan rumah tangga, tempat yang seharusnya menjadi ruang paling aman bagi anak. Faktor ekonomi, rendahnya pendidikan, serta reproduksi kekerasan antargenerasi menyebabkan anak sering menjadi korban dalam sistem patriarki yang menempatkan ayah atau laki-laki sebagai figur otoritatif. Dampak dari kekerasan terhadap anak tidak hanya bersifat fisik, tetapi juga psikologis dan sosial. Anak-anak korban kekerasan berisiko tinggi mengalami trauma, gangguan kepercayaan diri, dan kesulitan dalam bersosialisasi. Lebih jauh, mereka dapat tumbuh menjadi individu yang mengulangi pola kekerasan di masa depan. Hal ini membuktikan bahwa perlindungan anak bukan hanya masalah hukum, tetapi juga bagian dari upaya pemberdayaan sosial dan kemanusiaan.

Kebijakan Pemerintah dan Tantangan Implementasi

Pemerintah Indonesia telah menunjukkan komitmen terhadap isu pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak melalui berbagai regulasi, seperti Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014, serta Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Dalam kerangka SDGs, kesetaraan gender dan perlindungan anak termasuk dalam Tujuan 5 dan 16, yaitu membangun masyarakat yang adil, damai, dan inklusif. Namun, pelaksanaan kebijakan tersebut masih menghadapi sejumlah hambatan serius. Pertama, lemahnya koordinasi antar lembaga dan terbatasnya anggaran di tingkat daerah menyebabkan program pemberdayaan tidak berjalan optimal. Kedua, masih rendahnya sensitivitas gender di kalangan aparat penegak hukum membuat banyak kasus kekerasan tidak ditangani secara adil. Ketiga, faktor budaya yang menormalisasi kekerasan dan menstigma korban membuat perempuan dan anak enggan melapor. Dalam beberapa kasus, penyelesaian kekerasan masih dilakukan secara "kekeluargaan", yang justru memperkuat impunitas bagi pelaku. Padahal, sistem hukum seharusnya melindungi korban dan memberi efek jera terhadap pelaku kekerasan.

Dampak Sosial dan Upaya Solusi

Dilema pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak memiliki dampak jangka panjang terhadap pembangunan nasional. Ketimpangan gender menghambat partisipasi perempuan dalam bidang ekonomi dan politik, sementara kekerasan terhadap anak mengakibatkan munculnya generasi yang rapuh secara psikologis dan sosial. Kondisi ini memperlambat tercapainya pembangunan yang inklusif dan berkeadilan. Untuk mengatasi hal tersebut, diperlukan strategi multidimensional. Pertama, pendidikan gender sejak dini harus ditanamkan di sekolah dan keluarga guna membentuk kesadaran kesetaraan. Kedua, penegakan hukum harus diperkuat agar setiap kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak ditangani secara profesional tanpa diskriminasi. Ketiga, pemberdayaan ekonomi perempuan harus ditingkatkan melalui pelatihan, dukungan modal, dan akses terhadap lapangan kerja yang adil. Selain itu, peran media massa dan masyarakat sipil sangat penting untuk mengubah cara pandang terhadap perempuan dan anak. Media harus menjadi alat edukasi yang menampilkan perempuan sebagai agen perubahan, bukan sekadar objek berita. Organisasi masyarakat juga dapat berperan aktif dalam menciptakan sistem perlindungan berbasis komunitas, terutama di daerah-daerah terpencil yang belum terjangkau lembaga resmi.

Pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak di Indonesia masih menghadapi dilema yang kompleks akibat dominasi budaya patriarki dan lemahnya sistem sosial. Meskipun berbagai kebijakan telah diterapkan, praktik diskriminasi, kekerasan, dan ketimpangan masih berlangsung karena kurangnya perubahan paradigma sosial. Untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan setara, pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak harus ditempatkan sebagai prioritas pembangunan nasional. Upaya ini menuntut sinergi antara pemerintah, lembaga hukum, dunia pendidikan, media, dan masyarakat sipil. Dengan demikian, perempuan dan anak tidak lagi menjadi korban sistem yang menindas, melainkan menjadi subjek aktif dalam pembangunan bangsa yang berkeadilan dan beradab.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun