Mohon tunggu...
Sianny Tandiassa
Sianny Tandiassa Mohon Tunggu... -

Suka membaca dan travelling

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Pengalaman Bersama Berbagai Karakter Dokter

3 Desember 2013   21:49 Diperbarui: 4 April 2017   18:31 7673
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Selama 3 tahun terakhir ini saya bergumul dengan berbagai penyakit dan sampai sekarang saya masih berjuang untuk sembuh total. Dalam perjalanan untuk sembuh ini saya bertemu dengan berbagai macam dokter ahli yang luar biasa dalam bidang mereka. Tetapi sikap dokter-dokter ini juga menunjukkan berbagai macam karakter yang berbeda sehingga membuat saya sadar betapa berbahagia dan bersyukur apabila saya menemukan dokter yang benar-benar bersikap seperti seorang malaikat.

Tahun 2010, ketika tiba-tiba saya mendapati diri saya mengalami pendarahan padahal sudah lama sekali tidak menstrurasi karena dalam masa pra menapause, saya memutuskan untuk pergi ke seorang dokter ahli kandungan yang memang tidak saya kenal tetapi seornag teman merujuk ke dokter ini karena saya mencari seorang dokter yang tidak memiliki banyak pasien supaya tidak antri terlalu lama..... Saya mendatangi klinik bersalinnya. Dan memang hanya ada 3 pasien termasuk saya. Setelah mendengar keluhan, saya di suruh naik ke meja khusus untuk diperiksa dalam. Tidak lama,  tanpa basa-basi, dokter ini berkata: "Harus diangkat semua bu, ini kanker!"

Aduh..... tentu saja saya shocked, tetapi untung logika dan pengetahuan saya tentang penyakit masih sedikit jalan, jadi saya minta ke dokter untuk biopsi saja dulu. Beliau kemudian mengambil sampel dari bagian dalam kandungan saya dan diminta untuk datang seminggu kemudian, saat hasil biopsi jadi.

Suami saya yang menyertai saya diperiksa, sangat marah dengan cara dokter ini yang tanpa "tedeng aling-aling" memvonis apa yang ia periksa. Dan dalam perjalanan pulang, ia juga memarahi saya mengapa saya tidak pergi ke dokter yang sudah kami kenal..... Akhirnya kami memutuskan akan ke dokter "saya" lagi setelah hasil biopsi jadi.

Saya tidak habis berpikir, bagaimana kalau saya hanya melakukan saran dokter itu tanpa pernah dibiopsi..... kemudian dioperasi baru dibiopsi hanya berdasarkan dari apa yang dia lihat dan raba saja? Wah ngeri juga. Apalagi ketika seminggu kemudian hasilnya memang tidak ada tanda keganasan.  Penyampaian yang dilakukan oleh dokter ini sangat berbeda dengan cara penyampaian yang dilakukan oleh dokter langganan saya, dr. Amino Rahardjo, Sp. OG ketika saya mendatangi beliau di ruang prakteknya. Sekitar tahun 1994-1996 saya menjadi pasien beliau ketika menjalani proses bayi tabung.

Dr. Amino, memeriksa dengan cara yang sama, memeriksa bagian dalam dan juga dengan  USG. Beliau melihat ada beberapa myoma dan dengan bahasa yang ramah dan baik beliau menyarankan agar rahim dan ovarium saya diangkat. Beliau mengatakan bahwa tindakan pengangkatan ini makin cepat makin baik dan nanti hasilnya akan dibiopsi untuk melihat tindakan selanjutnya. Gaya bahasanya yang jelas dan dengan penuh rasa kebapakan dan  dan sikap optimis beliau membuat saya bersemangat untuk menjalani operasi histerektomi ini. Membuat seorang pasien nyaman dan penuh optimis memang merupakan tantangan bagi seorang dokter selain keahliannya.


Dua bulan kemudian, saya "ngompol" sebagai efek samping dari histerektomi. Kemudian oleh dokter umum, saya dirujuk untuk bertemu dengan dokter ahli urologi yang cukup senior dan terkenal di Jogjakarta. Akhirnya, saya harus operasi lagi untuk dipasang  stent, selang yang dipasang di kandung kemih. Dokter merencanakan saya untuk operasi hari Selasa, sehingga saya masuk ke RS hari Senin untuk persiapan dengan membawa surat pengantar dari dokter  ini. Tapi, keanehan mulai terjadi ketika saya sudah di ruang rawat inap, para suster di sana kelabakan karena ternyata doker itu lupa menjadwalkan diri saya untuk operasi, padahal hari Selasa itu dia sudah punya jadwal 5 orang operasi! Jadi saya harus menunggu satu hari tanpa berbuat apa-apa kecuali menunggu hari Rabu untuk operasi setelah dijadwal ulang. Selain itu, setelah selesai operasi, dokter ini tidak visit saya keesokan harinya. Sehingga hari berikutnya, seorang perawat yang baik, turun ke lantai bawah saat ia mendengar info bahwa dokter ini sedang visit di sana. Kemudian ia menggandeng dokter ini ke ruang saya!! Ia seperti "cacing kepanasan" saat di ruang saya. Sehingga pertanyaan-pertanyaan saya dijawab seenaknya dan dia hanya menunjukkan kepalanya di pintu masuk kamar saya!! Sampai saya marah betul melihat sikapnya!! Saya protes ke kepala perawat bahwa saya tidak mau membayar visitnya sama sekali untuk hari itu.

Pada visit hari berikutnya, dia tidak mau visit karena saya pasien satu-satunya yang saat itu sedang dirawat inap. Padahal dia sedang praktek di poliklinik RS. Oleh perawat RS yang luar biasa ini, akhirnya mereka memutuskan untuk mendorong tempat tidur saya dari  gedung perawatan menuju ke poliklinik itu untuk diperiksa!! Melihat dokter ini, rasanya saya teramat sangat menyesal telah memilih beliau untuk menjadi dokter saya. Dari perawat-perawat RS, saya mendengar cerita-cerita keanehan beliau terhadap para pasiennya. Oh......

Tahun 2012, saya bergumul dengan nyeri tulang punggung setelah 6 bulan tidak ada kemajuan, suami meminta saya periksa ke seorang dokter di Singapore. Saya mengirim email dan meberikan data-data medis, dan mengajukan berbagai pertanyaan. Dr. Timothy Lee, memberikan jawaban yang cepat dengan email dan memberikan harga sangat khusus karena saya seorang istri pendeta. Kemudian kami ke Singapore setelah membuat appointment.

Setelah memeriksa dan melihat hasil MRI yang saya bawa, beliau tidak puas dan menghendaki MRI lagi. Beliau merujuk ke RS Mt. Alvernia karena di sana biaya MRInya  lebih murah dibanding di RS tempat beliau praktek. Dari hasil MRI ternyata beliau mengatakan bahwa saya tidak perlu operasi. Hanya perlu  latihan dan berenang. Dokter ini mengajari beberapa gerakan sampai saya bisa melakukan dengan baik dan benar. Dan menyarankan untuk bertemu kembali 6 bulan kemudian. Saat pemeriksaan  itu, saya bertemu dengan banyak pasien dari beberapa negara dan jumlah pasien yang sangat banyak. Tetapi beliau tidak "terikat oleh waktu" . Dia benar-benar menangani pasien itu sampai tuntas dan tidak terburu-buru. Demikian pula dengan kasus saya. Dua hari berturut-turut bertemu membuat saya puas untuk bisa melihat bahwa syaraf kejepit atau HNP yang saya hadapi tidak parah sekali.

Ternyata sakit HNP itu bukan penyakit yang sebenarnya. Bulan Juni 2012, saya tidak bisa buang air kecil dan kaki bengkak. Setelah di USG dan di MRI didapati bahwa ada daging liar sebesar 15 X17 cm (dan setelah mengalami pengobatan baru diketahui bahwa daging liar inilah yang menekan syaraf sehingga bukan HNP yang membuat saya kesakitan di sekujur kaki kiri saya). Peristiwa ini mempertemukan kembali diri saya dengan dr. Amino. Beliau waktu itu ingin saya diperiksa oleh urolog yang mengoperasi saya th 2010 itu, dan berdiskusi. Dr. Amino menelpon, dan meng-email dan meninggalkan catatan ke urolog ini dalam rekam medis saya. Tetapi semua tidak direspon sama sekali!! Akhirnya dr. Amino merujuk saya ke seorang ahli onkologi di RS Sardjito. Suami saya ke sana tetapi sungguh mengerikan, karena perawat tidak bisa memberikan appointment sama sekali!! Dan dari seorang pasien, suami saya tahu dokter ini seenaknya datang praktek......

Akirnya kami ke RSO Surabaya atas saran seorang jemaat gereja kami. Kami mendapat sambutan yang luar biasa dari dr. Ario Djatmiko, onkolog sekaligus owner dari RSO ini. Begitu menerima email data medis saya, beliau langsung menelpon suami dan meminta kami segera datang ke sana untuk pemeriksaan lanjut. Singkat kata, saat akan biopsi suhu tubuh saya panas sehingga beliau bersama tim akhirnya berdiskusi lagi. dan merujuk saya untuk ke MRCCC Jakarta. Beliau menyiapkan segala sesuatunya sehingga ketika saya tiba di sana saya tidak perlu mengantri lagi, langsung masuk ke UGD dengan data yang sudah ada dan dokter yang telah siap. Beliau juga sudah merujuk bahwa saya akan ditangani oleh dr. Marto Sugiono, Sp.U, FRCS.

[caption id="attachment_306185" align="aligncenter" width="620" caption="dr. Ario Djatmiko dan RS Onkologi Surabaya"][/caption]

Saya dan suami ketika mendengar nama dr. Marto Sugiono disebut oleh dr. Ario, agak sedikit pesimis karena kami berdua beranggapan bahwa pastilah dokter ini tidak menyenangkan, susah berkomunikasi, sudah tua, dan berasal dari Jawa karena namanya yang begitu khas Jawa, dll…..  Apalagi setelah selama beberapa hari ditangani oleh dr. Ario saya sangat-sangat merasa nyaman dan penuh harapan karena sikapnya terhadap diri  saya juga pasien-pasien lain sangat kebapakan dan komunikatif , personal dan penuh perhatian.  (Hal lain yang selalu akan saya kenang adalah ketika saya sedang dirawat inap di MRCCC Semanggi, Jakarta, dr. Ario juga mengunjungi saya, bahkan sampai dua kali di tengah-tengah kesibukannya dalam sebuah seminar bahkan ibu Ario juga ikut datang).

Tetapi sungguh saya sangat beruntung, karena ternyata dr. Marto berbeda bagaikan bumi dan langit dengan apa yang kami bayangkan setelah bertemu. Beliau, yang menjadi chief doctor dalam kasus sakit saya, ternyata seorang yang ramah, suka bergurau, penuh semangat dan perhatian. Beliau sangat personal dan professional dalam menangani pasien. Bahkan tidak segan-segan untuk searching di internet ketika saya menghadapi efek samping obat padahal sebenarnya bukan bagian beliau tetapi bagian dokter lain. Saya sangat beruntung bertemu seorang dokter bak malaikat penolong seperti dokter ini.

[caption id="attachment_306188" align="aligncenter" width="2048" caption="Dr. Marto Sugiono, Sp.U., FRCS"]

13860813521013198639
13860813521013198639
[/caption]

Ketika saya sudah kembali di Jogja, beliau tidak segan untuk SMS, atau menelpon terlebih dulu untuk menanyakan kondisi saya. Bahkan saat saya SMS atau meng-email hasil lab atau kondisi saya, tidak membutuhkan waktu yang lama untuk segera mendapatkan jawaban dan selalu mem-follow up  hal-hal yang harus saya lakukan.

Dalam pergumulan saya berjuang melawan penyakit saya, ada dua orang dokter lagi yang saya jumpai. Yang pertama adalah seorang dokter ahli kemoterapi, Dr. Toman L. Toruan, S.KHOM, seorang dokter yang cukup komunikatif dan handal dalam bidangnya. Beliau seorang dokter yang seringkali mengikuti seminar atau short course sehingga tetapi dengan kemajuan teknologi komunikasi di jaman sekarang, beliau tetap bisa memberikan treatmen dan perawatan. Bahkan saat saya harus dirawat karena DVT (deep vein thrombosis) di Siloam Kebon Jeruk, beliau mau mendatangi saya di sana untuk mem-follow up pengobatan kanker saya. Dan selama saya menjadi pasiennya, saya juga tidak pernah dikenai biaya...... Lagi-lagi karena saya seorang istri pendeta...... Sungguh berkat yang luar biasa.

Dan yang terakhir adalah dokter radioterapi saya. Beliau sih seorang yang ahli tetapi karena pasiennya banyak, seringkali selama konsultasi, saya merasa seperti diburu-buru supaya cepat pergi..... Waktu itu saya cukup menyesal juga karena dokter ini sedikit "galak" apalagi saat saya melihat teman-teman lain yang ditangani oleh dokter lain dan saya melihat betapa dokter itu memiliki hubungan yang erat dengan pasiennya, mengenal namanya, mau menegur saat pasien sedang duduk menunggunya. Bahkan justru dari pasien dokter ini saya mendengar tentang prosedur radioterapi secara rinci, apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan oleh seorang pasien selama di radioterapi. Tetapi justru dari dokter saya sendiri, saya tidak memperoleh pengetahuan semacam itu. Sehingga akhirnya saya banyak bertanya kepada asisten dokter saya atau kepada para terapis dan perawat.

Saya bertemu dengan dokter radioterapi saya dan menjadi pasiennya karena beliau sudah bergabung dalam tumor board yang terdiri dari beberapa orang dokter sehingga ketika saya belum menjadi pasien beliau, beliau sudah mengerti kasus saya. Tetapi sebenarnya hal ini tidak berpengaruh banyak, karena saya merasakan ketidakpuasan dengan pelayanan dokter ini, apalagi saat melihat dokter radioterapi lain yang memeriksa pasiennya dengan pribadi yang hangat dan profesionalisme yang terjaga.

Dari pengalaman bertemu dengan banyak karakter dokter, termasuk dokter anestesi, dokter spesialis penyakit dalam, dan dokter jaga, akhirnya sebagai pasien kita memang harus "cerewet" bertanya dan mengatakan hal-hal yang memang tidak kita mengerti. Kita harus berani menuntut dan mengetahui hak kita sebagai pasien dengan tetap menghormati profesi mereka. Dan ketika kita dirawat oleh dokter yang luar biasa, it is a real blessing!

(Sianny Tandiassa)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun