Mohon tunggu...
Best Siallagan
Best Siallagan Mohon Tunggu... Hobby membaca dan menulis

- AI Enthusiastic - Suka membuat cerita - Suka Nonton Film - Suka Nonton Bola (Penggemar Leonel Messi) - Millenial yang menolak ketinggalan untuk belajar teknologi masa depan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Yakin Tapi Salah? Waspada! Ini 7 Jebakan Pikiran yang Bikin Kamu Merasa Paling Benar Sendiri

10 Juli 2025   19:05 Diperbarui: 10 Juli 2025   19:05 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
A Couple Talking while Arguing (Sumber: Pexels.com /Timur Weber)

Pernah dengar istilah "yakin tapi salah"? Kedengarannya konyol, ya. Tapi, percaya atau tidak, banyak sekali dari kita yang tanpa sadar terjebak di sana. Kita punya keyakinan-keyakinan tertentu yang kita pegang teguh, seolah itu adalah satu-satunya kebenaran mutlak. Bahkan, saat bukti-bukti di depan mata jelas-jelas berkata lain. Ini bukan karena kita bodoh atau keras kepala, melainkan karena cara kerja otak kita memang unik dan kadang 'nakal'!

Nah, daripada terus-terusan nyasar di labirin keyakinan yang keliru---yang seringkali malah jadi penghambat diri---yuk, kita intip 7 tanda di bawah ini. Siapa tahu, salah satunya (atau malah semuanya?) diam-diam bersarang di diri kamu. Siap-siap self-reflection sambil senyum-senyum sendiri, ya. Jawab yang jujur ya

1. Anda Susah Banget Nerima Pendapat Beda (Alias: Anti-Kritik Klub)

Ini nih tanda paling klasik yang gampang banget dikenali. Coba ingat-ingat, kalau lagi ngobrol santai sama teman atau keluarga, terus ada yang punya pandangan berbeda dari kamu, gimana reaksi spontanmu? Langsung pasang tameng pertahanan diri? Atau pura-pura dengerin padahal di kepala udah nyusun daftar bantahan sepanjang kereta api?

Contoh Gampang: Kamu yakin banget kalau film "X" itu masterpiece abad ini, film yang harusnya masuk daftar wajib tonton umat manusia. Eh, tiba-tiba ada teman yang nyeletuk, "Ah, biasa aja kali, film 'Y' jauh lebih bagus." Duar! Seketika darahmu mendidih, dan siap ceramah 2 jam non-stop kenapa film favoritmu itu paling top sejagat raya.

Kalau responsnya langsung defensif dan cenderung menutup telinga, bisa jadi kamu bukan sedang mempertahankan kebenaran hakiki. Tapi, cuma sedang mati-matian mempertahankan keyakinanmu yang, ehem, mungkin agak keliru atau setidaknya, perlu dicek ulang.

2. Suka Milih-Milih Bukti yang Sesuai Keinginan Aja (Si Detektif Bias Konfirmasi)

Otak kita itu kadang seperti detektif malas yang super selektif. Dia cuma nyari bukti yang menguatkan "hipotesis" yang sudah tertanam kuat di kepala kita. Sisanya? Ah, anggap saja nggak ada, pura-pura lupa, atau malah dicuekin total. Ini namanya bias konfirmasi.

Contoh Gampang: Kamu percaya kalau setiap kali kamu nyuci mobil, besoknya pasti hujan. Tiap kali hujan setelah nyuci, kamu langsung bilang, "Nah, kan benar! Aku bilang juga apa." Padahal, ada puluhan kali kamu nyuci mobil tapi besoknya cerah ceria tanpa setitik awan pun, cuma saja kamu lupa mencatatnya atau sengaja mengabaikannya.

Kita cenderung lebih fokus pada apa yang cocok dengan "cerita" yang sudah kita buat di kepala. Jadi, hati-hati, jangan-jangan keyakinanmu itu cuma hasil dari data yang diseleksi sendiri, bukan fakta objektif!

Man in Black Suit Standing Beside Woman in Black Dress (Sumber: Pexels.com /RDNE Stock Project)
Man in Black Suit Standing Beside Woman in Black Dress (Sumber: Pexels.com /RDNE Stock Project)

3. Reaksi Anda Berlebihan Saat Keyakinan Anda Digoyahkan (Mode "Meledak" On)

Kalau ada yang mempertanyakan keyakinanmu, dan responsmu langsung meledak-ledak alias super emosional, itu bisa jadi red flag. Keyakinan yang kuat tapi sehat biasanya bisa diajak ngobrol santai, berdiskusi, dan bahkan sesekali digoyangkan tanpa membuatmu kehilangan kendali emosi.

Contoh Gampang: Kamu mati-matian percaya sama ramalan zodiak dan tiap hari mengaitkan semua kejadian dengan bintang-bintangmu. Begitu ada teman yang bilang, "Ah, zodiak itu cuma hiburan, nggak ada dasar ilmiahnya! Nggak usah terlalu percaya," kamu langsung menggebu-gebu. Menyebut dia nggak paham konstelasi bintang, nggak peka, dan intinya: "nggak level deh sama aku!"

Padahal, kalau keyakinanmu memang kokoh dan rasional, harusnya bisa dijelaskan dengan tenang, pakai data (kalau ada!), bukan dengan semburan emosi yang menggebu-gebu. Coba direnungkan lagi, kenapa harus pakai emosi?

4. Bikin Kesimpulan Besar dari Pengalaman Sepele (Si Raja Generalisir)

Ini dia kebiasaan kita yang sering jadi jebakan mental: cuma gara-gara satu-dua kejadian sepele, langsung narik kesimpulan yang super luas dan general. Seolah, dua sampel sudah cukup mewakili seluruh populasi!

Contoh Gampang: Kamu pernah dua kali ketemu driver ojol yang kurang ramah, mungkin karena dia lagi buru-buru atau capek. Habis itu, langsung deh kamu ngecap semua driver ojol itu jutek dan nggak asik. Padahal, di luar sana ada ratusan, ribuan driver lain yang super ramah, cekatan, dan sangat membantu.

Hati-hati, dunia ini terlalu luas dan beragam untuk digeneralisasi hanya dari beberapa pengalaman saja. Bisa jadi keyakinanmu itu cuma ilusi yang dibentuk dari "sampel" yang terlalu kecil dan tidak representatif.

5. Sulit Banget Ngaku Salah (Merasa Paling Benar Se-dunia)

Seseorang yang terjebak dalam keyakinan keliru seringkali punya ego yang kelewat tinggi. Mereka merasa pandangannya adalah satu-satunya kebenaran yang tak terbantahkan, dan mengakui kesalahan itu adalah hal yang memalukan, bahkan terasa seperti aib besar.

Contoh Gampang: Kamu yakin kalau jalan pintas lewat gang sempit itu paling cepat buat sampai kantormu. Temanmu sudah bolak-balik bilang ada jalan lain yang beneran lebih cepat, lebih lebar, dan nggak macet. Tapi kamu tetep ngotot, "Nggak ah, lewat sini aja pasti lebih cepet." Walaupun ujung-ujungnya telat juga karena kejebak motor keluar gang.

Mengakui kesalahan dan mau belajar dari orang lain itu justru tanda kecerdasan dan kebijaksanaan lho, bukan kelemahan atau kekalahan. Justru orang yang bijak itu mau belajar dari semua hal, termasuk dari kesalahan sendiri (dan orang lain).

6. Cuma Mau Bergaul dengan Orang yang Sepemikiran (Terjebak di "Ruang Gema")

Pernah dengar istilah "ruang gema" alias echo chamber? Ini kondisi di mana kita cuma berinteraksi dengan orang-orang atau informasi yang punya pandangan dan keyakinan sama persis dengan kita. Akibatnya? Keyakinan kita makin kuat dan mengakar, tak peduli apakah itu benar atau salah, karena tidak ada yang membantah.

Contoh Gampang: Kamu cuma follow akun media sosial yang isinya sejalan dengan opini kamu. Kalau ada akun yang beda dikit, langsung di-blokir atau di-unfollow tanpa pikir panjang. Atau, kamu cuma nongkrong dengan circle yang setuju terus sama kamu, dan yang punya pandangan beda langsung 'diasingkan'.

Padahal, untuk berkembang, kita butuh "gesekan" ide dan pandangan yang berbeda. Itu yang akan mengasah pikiran kita. Kalau tidak, keyakinan kita bisa jadi cuma kayak gelembung sabun yang sangat rapuh, siap pecah kapan saja saat bersentuhan dengan realita yang berbeda.

Shocked Woman Poinitng a Finger on her Acquaintance (sumber: Pexels.com /SHVETS Production)
Shocked Woman Poinitng a Finger on her Acquaintance (sumber: Pexels.com /SHVETS Production)

7. Gampang Cemas atau Frustrasi Kalau Dunia Nggak Sesuai Harapan (Si Anti-Fleksibel)

Keyakinan yang terlalu kaku atau salah bisa bikin kita stres saat kenyataan nggak sesuai ekspektasi. Kita jadi sulit menerima perubahan, cenderung menyalahkan segala sesuatu di luar diri sendiri, dan akhirnya, cuma bisa mengeluh.

Contoh Gampang: Kamu sudah menyusun rencana liburan super detail, jadwal ketat, dan yakin 100% bakal mulus seperti di film. Eh, tiba-tiba tiket kereta habis, atau destinasi tujuan mendadak ditutup karena renovasi. Langsung deh kamu panik, marah-marah, dan merasa dunia nggak adil. Padahal, rencana cadangan tidak pernah ada di kamusmu.

Keyakinan yang sehat itu fleksibel. Dia bisa menyesuaikan diri dengan "alur" dunia yang dinamis, bukan malah memaksakan dunia ikut "alur"nya. Hidup jadi jauh lebih santai dan menyenangkan kalau kita nggak terlalu kaku sama keyakinan kita sendiri, dan justru belajar beradaptasi.

Nah, gimana? Dari 7 tanda di atas, mana yang paling relate sama kamu? Mengidentifikasi tanda-tanda ini adalah langkah pertama untuk "membebaskan diri" dari keyakinan yang mungkin selama ini malah jadi penghambatmu untuk berkembang. Siapa tahu, dengan sedikit revisi pada "filter" keyakinanmu, hidup 

bisa jadi jauh lebih ringan dan bahagia!

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun