Sebuah kisah nyata yang menggetarkan jiwa kembali merobek ilusi keamanan dalam dunia investasi digital. Bisakah Anda bayangkan, hasil jerih payah puluhan tahun, dana pensiun yang dikumpulkan dengan cucuran keringat, lenyap begitu saja. Bukan karena fluktuasi pasar atau keputusan investasi yang salah, melainkan diretas dan dikuras habis dalam dua hari tanpa disadari? Insiden tragis ini bukan lagi sekadar peringatan; ini adalah lonceng bahaya yang memekik, membuktikan bahwa dana nasabah di platform sekuritas TIDAK lagi 100% aman, mengancam kepastian finansial ribuan investor lain.
Kisah pilu ini menimpa orang tua Natasha, seorang anak muda berusia 24 tahun, yang dengan berani mengungkap penderitaan keluarganya di Channel YouTube Leon Hartono. Dalam waktu yang sangat singkat, aset investasi yang sejatinya menjadi tumpuan hari tua, dengan nilai awal mencapai Rp1.691.076.862, seketika tinggal menyisakan Rp16.435.141. Ini adalah kerugian lebih dari 99%, sebuah angka yang jauh melampaui imajinasi terburuk seorang investor. Peristiwa ini, yang terjadi pada November 2024, telah merenggut ketenangan dan kepercayaan, menggantungkan nasib mereka dalam ketidakpastian yang panjang.
Kronologi KejadianÂ
Bencana mulai terkuak pada sore hari 19 November 2024, saat ibu Natasha mencoba melakukan penarikan dana dari Rekening Dana Nasabah (RDN) miliknya. Namun, transfer tersebut gagal dan dana tidak kunjung tiba di rekening tujuan. Ketika aplikasi sekuritas diperiksa, sebuah pemandangan mengerikan muncul: deretan transaksi saham yang tidak dikenal dan tidak pernah dilakukan oleh pemilik akun. Saham-saham yang diperjualbelikan adalah jenis small caps dan waran, sangat kontras dengan profil investasi orang tua Natasha yang konservatif dan hanya berinvestasi pada saham-saham blue chip perbankan besar.
Keluarga itu segera diadang syok dan kebingungan yang luar biasa. Natasha bersama ayahnya bergegas menghubungi sales dari perusahaan sekuritas. Namun, sales yang bersangkutan pun tak mampu memberikan solusi instan karena belum pernah menghadapi insiden sebesar ini. Upaya darurat dilakukan dengan mencoba reset password akun, namun sebagian besar dana telah ludes tak bersisa.
Setelah kejadian, keluarga Natasha melakukan dua pertemuan tatap muka dengan direktur sekuritas yang berwenang. Pertemuan pertama terjadi pada 26 November 2024, seminggu setelah insiden, dan yang kedua pada 17 Januari 2025. Dalam pertemuan kedua, pihak sekuritas mempresentasikan hasil investigasi internal yang menunjukkan adanya upaya login berulang menggunakan user ID dan password yang benar, menyiratkan bahwa sistem aplikasi sekuritas itu sendiri telah dibobol, bukan akibat phishing atau kelalaian korban. Namun, ketika laporan diajukan ke regulator, respons dari pihak sekuritas justru menyatakan "tidak ditemukannya peristiwa hacking" berdasarkan investigasi internal mereka. Kontradiksi ini semakin memperkeruh situasi dan meruntuhkan kepercayaan korban.
Penyebab Tersembunyi dan Modus Licik Peretas
Modus operasi peretas sangat terstruktur dan cepat, mengikuti pola yang mengkhawatirkan karena kemiripannya dengan kasus-kasus lain yang mencuat. Para hacker tersebut tidak mencuri user ID dan password melalui phishing yang melibatkan kelalaian korban, melainkan berhasil membobol sistem aplikasi itu sendiri. Setelah berhasil masuk, mereka secara agresif melakukan transaksi jual-beli saham waran dan small caps dalam hitungan detik, membeli di harga tinggi dan menjual di harga rendah untuk menguras aset. Seluruh dana di RDN, yang berjumlah sekitar Rp1,3 hingga Rp1,4 miliar, beserta saham blue chip yang bernilai sekitar Rp200 juta, dijual paksa untuk membiayai trading spekulatif ini. Ini adalah pola yang juga terlihat pada kasus Lia dan korban lain pada 10 September 2025, mengindikasikan adanya celah keamanan sistemik yang belum tertangani.
Kejadian Ini Menimbulkan Luka pada Korban dan Keluarga
Dampak dari hacking ini melampaui kerugian finansial semata. Orang tua Natasha, yang telah bekerja keras selama 35 tahun dan menabung untuk dana pensiun, harus melihat seluruh hasil jerih payahnya hilang dalam sekejap. Dana yang seharusnya menjadi passive income untuk menikmati masa tua, kini musnah. Mereka, yang kini berusia hampir 60 tahun dan kurang familiar dengan teknologi, terpaksa menghadapi mimpi buruk ini dan berjuang dalam proses hukum yang melelahkan.
Natasha sendiri, di usianya yang baru 24 tahun, harus menanggung beban emosional yang berat. Ia merasa terpanggil untuk memperjuangkan hak orang tuanya, sebuah pengalaman yang membuatnya trauma sebagai investor dan merasakan keputusasaan setelah berbulan-bulan kasus tidak menemui titik terang. Kehilangan ini membuat keluarga memutuskan untuk vakum dari dunia saham Indonesia, sebuah keputusan yang mencerminkan hilangnya kepercayaan mendalam terhadap keamanan berinvestasi di negeri ini.
Opini KritisÂ
Kasus ini adalah cerminan kegagalan sistemik yang serius. Inkonsistensi pernyataan sekuritas, yang di satu sisi menunjukkan bukti pembobolan sistem namun di sisi lain melaporkan tidak adanya hacking kepada regulator, adalah tindakan yang tidak dapat diterima dan mencoreng integritas industri. Kurangnya transparansi dan ketiadaan solusi yang adil bagi korban, seperti tuntutan biaya arbitrase sebesar Rp50 juta tanpa jaminan pengembalian dana, menunjukkan minimnya empati dan tanggung jawab korporasi. Ini adalah beban yang tak pantas ditimpakan kepada korban yang sudah kehilangan segalanya.
Pengulangan insiden dengan modus serupa adalah bukti nyata bahwa masalah keamanan belum teratasi. Jika pihak sekuritas mengetahui adanya celah, namun tidak bertindak tegas dan cepat, hal ini menciptakan preseden buruk dan berpotensi menyebabkan lebih banyak korban. Regulator seperti OJK harus mengambil tindakan lebih keras, tidak hanya mengandalkan investigasi internal yang kontradiktif, tetapi melakukan audit independen dan memastikan adanya mekanisme kompensasi yang adil dan transparan bagi korban.
Semua orang perlu Waspada, Natasha Rela Bersuara untuk Mencegah Kejadian Serupa
Keberanian Natasha untuk berbicara di depan publik patut diacungi jempol. Suaranya adalah pemicu yang sangat dibutuhkan untuk mendorong perubahan. Dedikasi sales sekuritas yang membantu di awal kejadian juga menunjukkan bahwa masih ada individu yang berintegritas di dalam sistem.
Untuk mencegah terulangnya nestapa ini, semua pihak harus bertindak.
- Regulator wajib memperketat regulasi keamanan siber bagi seluruh platform sekuritas, menerapkan standar yang lebih tinggi, dan melakukan audit keamanan berkala yang independen.
- Platform sekuritas harus secara transparan mengakui kelemahan sistem dan segera memperbaikinya. Mereka juga harus bertanggung jawab penuh atas kerugian nasabah yang bukan karena kelalaian pribadi, menyediakan mekanisme kompensasi yang cepat dan tanpa syarat memberatkan.
- Bagi investor, selalu aktifkan autentikasi dua faktor (2FA), gunakan password yang kuat dan unik, serta waspada terhadap segala bentuk phishing atau upaya social engineering. Diversifikasi investasi tidak hanya dari sisi instrumen, tetapi juga dari sisi platform sekuritas, bisa menjadi lapisan perlindungan tambahan.
- Edukasi keamanan siber yang inklusif dan mudah dipahami, terutama bagi investor yang kurang familiar dengan teknologi, menjadi sangat krusial.
Kisah keluarga Natasha adalah pengingat pahit bahwa kepercayaan yang dibangun selama bertahun-tahun dapat hancur dalam sekejap. Ini adalah seruan untuk seluruh ekosistem pasar modal Indonesia: saatnya bertindak, saatnya menjamin bahwa dana nasabah, betapapun kecil atau besarnya, benar-benar aman dari ancaman yang terus berevolusi. Tanpa jaminan keamanan yang kokoh, masa depan investasi di Indonesia akan selalu diselimuti awan ketidakpastian.
Sumber:
Leon Hartono. (2025, September 23). Hasil Kerja 35 Tahun -99% Akibat HACKER. Diakses dari laman YouTube. (Video: https://www.youtube.com/watch?v=6hHd_ZWKYXs)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI