Mohon tunggu...
Bayu Siaga Krismana
Bayu Siaga Krismana Mohon Tunggu... Freelancer - Siaga

Berjalan sendiri, hidup sendiri, mati pun sendiri... - Abu dzar. ra

Selanjutnya

Tutup

Diary

Pilih Kuliah Sesuai Minat atau yang Penting Masuk?

21 Agustus 2022   12:20 Diperbarui: 21 Agustus 2022   13:51 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Assalamu'alaykum, 

Hola Sobat kompasiana yang budiman. 

Bagaimana kabar hari ini? 

Semoga semakin diberkahi, semakin baik dan semakin berarti. 

Curhat nih, 

Tiba-tiba saja teringat memori tentang ujian masuk SMK sama ujian masuk Diploma beberapa tahun yang lalu. 

Bukan tiba-tiba sih, sebenarnya. Ya, mungkin karena efek isolman, jadi mendadak banyak aja yang muncul dikepala, rekaman-rekaman peristiwa di masa lalu, terutama saat liat anak sekolah. ^_^

Dan secara kebetulan beberapa waktu yang lalu, ada seorang teman bercerita tentang anaknya yang sedang ikut ujian masuk suatu kampus ternama, yang ternyata, si anak keukeuh pingin masuk jurusan yang sesuai minatnya. Padahal, jurusan itu bukan sekedar lumayan susah lagi, tapi terlalh susah untuk ditembus gara-gara peminatnya yang selangit. 

Nah, saya pribadi, sangat mengapresi tipikal seperti ini. Bukan masalah egois, ya. Tapi bisa mempertahankan pendirian terhadap pengenalan dirinya, disaat dunia berlomba untuk bisa masuk kampus ternama, sedangkan dia bertahan dengan jurusan yang diinginkan. 

Sulit, lho! 

Apalagi, yang dukungan di belakangnya, mengharuskan masuk kampus negeri/ternama apapun yang terjadi. 

Nah, lebih sulit lagi kan mempertahankan pendirian seperti tadi. 

Jadi teringat dulu, ketika mengisi form pendaftaran SPMB, kalau sekarang ya SNMPTN. 

Dulu, ada teman yang cukup kaget melihat form punya saya. Ya, menurutnya yang tahu kemampuanku sampai sejauh mana, jurusan yang saya tukiskan di form adalah jurusan yang sama di kampus berbeda untuk 2 pilihan. 

Dan itu adalah jurusan yang berada di jajaran atas dari sisi banyaknya peminat. Kebayang, kan, seberapa tingginya persaingan di jurusan yang dimaksud. 

Teman-teman, waktu itu menyarankan, agar mengambil 1 jurusan lain yang rendah peminat, agar bisa masuk, sebagai pilihan kedua. Tapi, ya, dasar otak saya yang bebal, tetap keukeuh pada satu jurusan itu. 

Ya, waktu itu mikirnya, mending tidak lolos sekalian, daripada lolos tapi bukan dinjurusan yang diharapkan. Lagipula, jurusan yang saya pilih waktu itu bukan sekedar dari keinginan, tapi karena memang ada 1 hal yang menjadi titik semangat pada jurusan itu, dan alasan itu juga yang membuat saya masuk ke jurusan yang sama di SMK pada masa itu. 

Selain itu, jurusan tersebut adalah satu jalur dengan background saya sebagai lulusan SMK. Jadi makin kuat kan. 

Alhasil, sudah pada tahu semua dong oastinya, saya tidak lolos. Karena secara materi ujian saja, saya sudah tertinggal jauh, dan lagi saya tidak mengambil kursus / bimbel untuk SPMB. Jadi ya, sudah kalah start  sih  sebenarnya.

Dan hal itu, saya ulang kembali ketika menjoba UM D3 di salah satu kampus negeri di Surabaya. dari dua pilihan jurusan, saya isi jurusan yang lagi-lagi sama. Ya, karena memang yang membuat saya berminat melanjutkan sekolah lagi ya karena jurusan itu. Kalau tidak, mebdingan lanjut kerja lagi, kan. (Pada tahun itu memang sebenarnya saya sudah bekerja). 

Sampai-sampai, saya masih ingat, ada beberapa ibu-ibu yang mengantar anaknya daftar juga. Merasa heran ketika melihat jurusan yang sama di layar pendaftaran saya (waktu itu, di kampus ada semacam komputer untuk mengisi form pendaftaran). 

Namun takdir saya ujian masuk harus berhenti waktu itu, karena akhirnya lolos dan diterima juga.

Nah, dulu, saya termasuk seorang yang menentang teman-teman saya mengambil jurusan sembarang untuk masuk kamous ternama. Ya, sampai sekarang juga sih. 

Tapi bukan karena benci atau karena tanpa alasan ya. 

Yang Pertama. 

Coba deh, bayangin. Ketika mengambil jurusan sembarang yang tidak sesuai minat, walaupun itu pilihan cadangan. Tapi jalau ternyata masuk. Ada waktu 4 tahun lo buat kita bergumul dengan jurusan itu. 

Dari sebagian orang yang saya temui, hampir jarang dari mereka bisa menjadi satu passion dengan jurusan tersebut. Hampir, ya, jadi tetap ada juga satu-dua yang bisa menyesuaikan diri. 

Dan ketika tidak betah, ujung-ujungnya akan ikut lagi Ujian Masuk tahun berikutnya  jadi minimal sufah bergumul 1 tahun kan dengan jurusan yang bukan passionnya. 

Yang Kedua. 

Ya, ketika ambil ujian masuk lagi tahun berikutnya. Biaya lagi nih, keluar. Sudah bayar uang masuk, SPP dan lain lain. Ketika ujian masuk lagi dan lolos misalnya. Kan berarti 1 tahun sudah buang-buang biaya bagi saya 

Kalau orang kaya, sih, mungkin tidak terasa lah ya, tapi untuk yang menengah kebawah?. 

Yang Ketiga. 

Ketika ikut ujian lagi tahun berikutnya, dan ternyata lolos. Berarti jurusan yang sebelumnya kita jalani, kan ditinggalin jadinya. 

Kebayang tidak? Kalau sebenarnya tahun lalu itu, ada juga yang benar-benar minat dengan jurusan itu, tapi tidak masuk karena kita yang lolos, bukan mereka. 

Sudah gitu, setelah setahun, kita tinggalin jurusan itu beralih pada yang lain. 

Yang Keempat. 

Ketika ternyata tidak lolos juga setelah beberapa kali mencoba lagi. Berarti mau tidak mau, harus menyelesaikan jurusan yang sudah dijalani itu, dong. 

Ketika nilai rendah, kata-kata dosen tidak masuk, madesu... 

Yang disalahin, siapa? 

Ujung-ujungnya bilang "memang dari awal aku gak minat dengan jurusan ini! "

Nah, lho! Salah siapa, dong, jadinya. 

Yang Kelima dan seterusnya.. 

Mungkin, sobat kompasiana ada yang bisa nambahin! Hehe, 

Jadi, saya sangat apreciate sekali jika ada seseorang yang bisa teguh dengan pendiriannya terkain jurusan yang akan diambil sebagai jenjang pendidikannya kedepan. 

Bukan sekedar masalah minat dan keinginan. Tetapi, agar tak hanya memikirkan cara bertahan, melainkan memikirkan dengan cara apa ingin menikmati langkah yang sudah dia ambil itu, agar lika liju jalannya bisa berwarna. 

Dan, salut buat orang tua atau wali, yang berani mendukung pendirian seperti  ini. 

Nah, kalau sobat Kompasiana yang budiman bagaimana? 

Tetap teguh pada pendirian minat, 

Atau yang penting masuk kuliah dulu, nanti bisa dipikir lagi, 

??????? 

komen ya! 

Salam, 

B. Siaga

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun