Di dunia sekarang ini, menjadi sibuk seolah-olah merupakan norma baru untuk sebuah kepercayaan diri.Â
Kepercayaan diri tersebut kemudian menjadi semacam kebanggaan bagi seseorang ketika memiliki banyak proyek yang ingin dilakukannya dan mencoba menyesuaikannya dengan jadwal yang sudah padat.Â
Sebagian besar pun percaya, termasuk kita mungkin, bahwa jika sibuk bekerja keras, kita dapat mencapai hasil yang maksimal.
Akan tetapi, sibuk bekerja bukan berarti kita benar-benar melakukan hal-hal penting. Terkadang, sebagian besar hal yang kita lakukan justru pekerjaan yang tidak penting sama sekali, bahkan cenderung sepele.Â
Hanya, seperti dikukung dalam waktu kesibukan yang luar biasa, kita menjadi kurang memperhatikan esensi dasar mengapa kita melakukan pekerjaan yang mungkin menghabiskan waktu produktivitas saja.Â
Nah, untuk itulah kita membutuhkan semacam penangkal kesibukan yang luar biasa tersebut  yang dikenal dengan istilah "esensialisme".
Esensialisme bukan tentang bagaimana kita menyelesaikan lebih banyak hal atau pekerjaan, melainkan tentang bagaimana kita menyelesaikan pekerjaan dengan benar dan bagaimana kita membuat investasi waktu dan energi yang paling bijaksana untuk mendapatkan hasil yang kita inginkan.
Pertama, kita perlu memahami bahwa hidup kita dipenuhi dengan pertukaran dua sisi kehendak yang berbeda. Ketika kita mengatakan "ya" untuk setiap kondisi, tanpa sadar kita mengatakan "tidak" kepada beberapa kondisi lainnya.Â
Misalnya, jika seseorang meminta kita pergi keluar bersamanya untuk sekadar minum kopi dan kemudian kita mengatakan "ya", kita sebenarnya mengatakan "tidak" untuk beberapa hal lain yang dapat kita gunakan untuk menghabiskan waktu, seperti berkebun, berolahraga di gym, atau membaca buku.Â
Demikian juga, jika kita mengatakan "tidak" untuk permintaan teman tersebut, kita berarti mengatakan "ya" untuk hal-hal lainnya itu.
Meski kita senang melakukan beberapa pekerjaan sebanyak yang kita mau, tetapi kita jelas tidak bisa melakukan semuanya---karena memang tidak ada satu pun dari kita yang bisa melakukannya. Sebaliknya, kita harus memilih pekerjaan apa yang akan kita lakukan untuk menghabiskan waktu kita.Â
Itulah yang disebut dengan realitas trade-off, yaitu situasi tentang seseorang yang harus membuat keputusan terhadap dua hal atau lebih dengan mengorbankan/kehilangan suatu aspek lainya.
Karena alasan tertentu untuk memperoleh aspek utama sebagai pilihan yang diambil berdasarkan kualitas yang berbeda---dan ketika tidak sengaja memilih pun, kita harus memfokuskan energi dan waktu kita untuk pilihan tersebut.Â
Itulah sebabnya mengapa kita harus berhenti mengatakan "ya" kepada semuanya dan semua orang. Sebaliknya, kita harus belajar mengatakan "tidak" pada permintaan yang kita tahu akan menyita waktu kita dari hal-hal yang sebenarnya penting.
Satu hal yang terkadang menjadi pergolakan batin terhadap beberapa permintaan adalah ketika mengatakan "tidak" terhadap permintaan seseorang, kita mungkin mengalami sebuah kesulitan karena seringkali merasa bersalah.
Kita tidak ingin mengecewakan seseorang dan khawatir akan merusak hubungan baik dengannya.Â
Namun, sadarkah kita bahwa berapa kalikah kita menyesal mengatakan "ya" untuk sebuah permintaan saat kita benar-benar ingin mengatakan "tidak"? Mengatakan "tidak", mungkin menyakitkan pada saat itu, tetapi itu lebih baik daripada mengatakan "ya" dan menyesalinya setelahnya.
Banyak alasan yang membuat kita menolak permintaan tertentu, di antaranya adalah karena kita ingin menyenangkan orang lain. Ironisnya, ketika melakukannya, kita malah membenci mereka karena kita merasa mereka membuang-buang waktu dan tenaga kita.
Bagusnya, ketika terjadi kesalahan pertama, yaitu mengatakan "ya", padahal seharusnya dengan tegas mengatakan "tidak", kita akhirnya menyadari bahwa jika kita tidak memprioritaskan hidup kita sendiri, orang lainlah yang akan mengambil alihnya dari kita.
Meski demikian, imbasnya, setiap kali ada permintaan baru, kemungkinan kita mulai berhenti sejenak dan memikirkan semua hal. Jika itu tidak sepadan dengan pertukarannya, sebaiknya kita menolaknya, tetapi tentu saja, kita tidak boleh menolak semua permintaan yang kita dapatkan.
Intinya adalah kita mengatakan "tidak" untuk hal-hal yang tidak penting bagi kita sehingga kita bisa mengatakan "ya" untuk hal-hal yang benar-benar penting---walaupun kenyataannya adalah kebanyakan hal yang tidak penting.Â
Kita memahami bahwa bekerja keras itu penting, tetapi bekerja keras pada hal yang salah adalah membuang-buang waktu dan energi---dan itu yang seharusnya kita hindari.
Esensialisme sangat erat kaitannya dengan prinsip 80/20 atau prinsip Pareto, yaitu sebuah Prinsip yang pertama kali dimulai dari pengamatan seorang pria bernama Vilfredo Pareto pada tahun 1906 (penanaman kacang polong), yang menyatakan bahwa 80% dari hasil berasal dari 20% dari usaha dan sebaliknya, 20% dari hasil kita berasal dari 80% usaha.
Jadi, mengidentifikasikan 20% tindakan yang akan memberikan 80% hasil kepada kita merupakan hal yang masuk akal.Â
Sayangnya, kebanyakan dari kita terhalang untuk naik ke tingkat berpikir yang lebih tinggi karena kita tidak dapat melepaskan keyakinan bahwa segala sesuatu adalah penting, baik yang kita lakukan maupun yang tidak, sehingga kita cenderung membuang 80% waktu kita untuk mengejar 20% hasil.
Ketika tidak mempunyai waktu untuk mencari tahu bagaimana kita bisa berhenti membuang-buang waktu, bahkan ketika tidak bisa mengidentifikasi 20% usaha mana yang akan memberi kita 80% hasil, kita seolah-olah hidup seperti lingkaran yang melelahkan.
Jika kita seorang esensialisme, tentu saja kita akan membiarkan diri kita berpikir dan mengidentifikasi apa yang penting dan apa yang sepele untuk tujuan kita.Â
Menghilangkan dan menghindari hal-hal sepele membuat kita dapat memiliki lebih banyak waktu dan energi untuk hal-hal yang penting.Â
Namun, menerapkan prinsip 80/20 Pareto bukanlah sesuatu yang kita lakukan hanya sekali sebab prinsip itu sebenarnya merupakan proses yang berkelanjutan.
Ketika kita membuat kemajuan besar dan kita mendapatkan banyak kesuksesan, itu menyebabkan makin banyak peluang akan datang kepada kita dan makin banyak orang yang ingin bekerja sama dengan kita---bagi pebisnis, ini kedengarannya bagus, bukan? Namun, kesuksesan yang baru ditemukan itu dapat menjadi faktor untuk kegagalan---itulah paradoks kesuksesan.
Tidak ada yang salah dengan mengejar peluang baru, kecuali, tentu saja jika kita mulai mengambil proyek yang tidak penting.
Bahkan sepele sehingga orang lain mulai mengambil lebih banyak waktu kita, dan hal-hal penting yang seharusnya membuat kita sukses. Itulah sebabnya mengapa kita perlu mengidentifikasi perihal apa yang penting dan apa yang tidak secara teratur.
Sayangnya, terkadang kita mengetahui bahwa tidak ada kecukupan waktu untuk mengejar semua pekerjaan untuk peluang kesuksesan kita. Bahkan kita kemudian mereka mencoba memaksakan lebih banyak waktu dengan memotong aset terpenting kita, yaitu tidur.
Orang-orang non-esensialisme kerap mengatakan bahwa mereka hanya tidur selama lima jam setiap malam---dan itu semacam pengakuan jumawa.Â
Mereka berusaha meyakinkan diri sendiri dan orang lain bahwa mereka produktif dan penting karena mereka hanya punya waktu untuk tidur lima jam semalam.
Akan tetapi, meskipun upaya itu mungkin menghasilkan lebih banyak waktu yang dihabiskan untuk tetap terjaga dan bekerja.
Mereka justru akhirnya memiliki lebih sedikit energi dan tidak produktif dan tentu saja mengarah pada kegagalan --tidur kurang dari enam jam per malam dapat menghasilkan kapasitas mental yang sama dengan orang mabuk secara legal. Bagaimana mungkin orang mabuk bekerja secara optimal, bukan?
Itulah mengapa orang-orang esensialisme meluangkan waktu mereka untuk mengidentifikasi, berulang kali, mengenai peluang mana yang sepadan dengan waktu mereka.Â
Kemudian mereka melakukan pertukaran yang disengaja dan mengatakan "tidak" untuk hal-hal yang tidak penting dan mereka memastikan untuk tidak pernah mengorbankan apa yang penting bagi mereka.
Tidak mengadaptasi pola pikir esensialisme akan menjauhkan kita dari apa yang kita inginkan dalam kehidupan.Â
Ingat, ketika kita tidak mempunyai cukup waktu dan energi untuk membuangnya pada hal-hal yang tidak penting dan jika kita tidak memprioritaskan hidup kita sendiri, orang lain yang akan mengambil esensialisme itu dari kita.
-Shyants Eleftheria, salam Wong Bumi Serasan-
 Sumber referensi: Essentialism, Greg McKeown's.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H