Aku jadi serba salah ketika Andien kembali memintaku bertemu dengannya secara langsung—lagi-lagi tidak bersama Andra. Waktunya minggu pagi, pukul sembilan, di kafetaria di seberang gedung olahraga pusat kota. Bukan perkara kekhawatiranku menemui Andien, melainkan malam sebelumnya, aku sudah mengiakan ajakan Andra untuk bermain tenis di gedung olahraga pusat kota tersebut pada jam yang sama.
“Aku sudah tidak tahan, No,“ ujar Andien di ujung telepon. Aku mendengar suara isak tangis yang menyertainya.
“Sabar, Ndien.”
“Aku sudah berusaha, Nino. Tapi, rasanya aku sudah tidak kuat lagi.”
“Aku akan membantumu, Ndien?”
Mungkin tawaran itulah yang membuat aku gelagapan menjawab permintaan Andien selanjutnya. Bagaimanapun juga, aku jelas tidak ingin menarik kembali tawaran bantuanku kepadanya.
“Makasih, ya, No.” Setelah itu isak tangisnya tidak terdengar lagi. Aku menghela napas. Ada huru-hara di dalam hatiku.
Pukul delapan pagi aku sudah berada di gedung olahraga lengkap dengan pakaian tenis dan raket. Tidak lupa baju ganti sudah aku siapkan di dalam ransel. Mungkin aku akan beralasan kepada Andien bahwa aku akan telat ke kafetaria. Kabar baiknya, belum sempat aku mengatakannya, tiba-tiba Andien menghubungiku.
“Nino, maaf, ya. Aku mungkin agak terlambat satu jam ke sana. Kamu masih mau menunggu kan?”
“Ya, Ndien. Santai aja.”