Mohon tunggu...
Shulhan Rumaru
Shulhan Rumaru Mohon Tunggu... Administrasi - Penikmat Aksara

Penikmat Aksara

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Takdir Puisi Fadli Zon

12 Februari 2019   00:12 Diperbarui: 12 Februari 2019   00:41 1534
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
gambar milik tribunnews

Selain Peri, ada kyai sepuh yang juga seniman luar biasa, puisi-puisinya sangat menggelitik nalar dan menyadarkan kita akan kondisi negeri ini, siapa lagi kalau bukan K.H. Ahmad Mustafa Bisri atau yang biasa kita sapa Gus Mus. Pak Kyai kerap mengatakan bahwa puisi-puisinya adalah puisi balsem. Puisi-puisi Pak Kyai sudah dibuat puluhan tahun lalu, namun masih relefan dengan masa kini. Saya kutip lagi sedikit bait puisi beliau:

"mana ada negeri sesubur negeriku?

sawahnya tak hanya menumbuhkan padi, tebu, dan jagung

tapi juga pabrik, tempat rekreasi, dan gedung

perabot-perabot orang kaya didunia

dan burung-burung indah piaraan mereka

berasal dari hutanku..."

Puisi Gus Mus di atas berjudul "Negeriku". Hingga akhir baitnya, puisi ini begitu kritis dan satire sekali. Selain itu, beberapa puisi lainnya begitu menggugah kesadaran kita, seperti beberapa judul berikut, "Di Negeri Amplop" dan "Negeri HaHaHiHi". Sekilas, puisi-puisi Gus Mus memang sangat kritis namun tidak "kekurangan adab", bahkan sebaliknya, isinya mencoba menyadarkan kita untuk kian beradab pada tanah air tercinta ini.

Nah, tanpa perlu mensyen banyak penyair hebat lagi, saya ingin fokus ke puisi Fadli Zon yang sebenarnya secara subjektif saya, puisi ini cukup bagus dan kritis. Namun, sekilas puisi ini dibuat dengan kesan politik yang amat kuat, tendensinya diendus sebagai penghinaan dan serupa olok-olokan pada Kyai Sepuh Maimun Zubair.

Saya jadi teringat kutipan kata-kata Seno Gumiro Ajidarma dalam sebuah buku sastra terbitan Kompas yang bebrunyi: ketika jurnalisme dibungkam, sastra harus bicara. Namun sayangnya, sastra yang bicara lewat pena puisi Fadli Zon menemui takdir yang tak sedap. Dia menuai banyak kritik dari masyarakat karena dianggap merusak adab penghormatan pada guru, pada alim ulama.

Namun, layakkah puisi Fadli Zon itu diagresi banyak cacian oleh kita? Oh, tidak. Jangan dihina, biarkan itu sebagai ekspresi politiknya yang ditungkan lewat sastra. Kita hanya perlu melihat kelegaan hati Fadli Zon untuk meminta maaf jikalau puisi tersebut memang secara sentimen ia arahkan untuk menggoreng kekhilafan Kyai Maimun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun