Pengalaman asistensi mengajar di MTsN 2 Kota Malang merupakan salah satu fase paling berkesan dalam perjalanan akademik kami sebagai mahasiswa S1 Pendidikan Seni Rupa Universitas Negeri Malang. Lebih dari sekadar menjalani kewajiban kurikulum, pengalaman ini menjadi titik penting dalam proses pembentukan jati diri kami sebagai calon pendidik. Terletak di Jl. Raya Cemorokandang No.77, Cemorokandang, Kec. Kedungkandang, Kota Malang, Jawa Timur, MTsN 2 Kota Malang menjadi ruang belajar kedua, tempat kami tidak hanya mengamati dan mengajar, tetapi juga belajar dan tumbuh.
Kami terdiri dari empat mahasiswa, yaitu Mukhammad Farchani, Muhammad Firdansyah Alghifari, Ayu Mudrikatul Khoiroh, dan Shufi Ahadul Basyar. Masing-masing dari kami datang dengan harapan dan semangat yang besar untuk merasakan langsung dunia pendidikan secara nyata. Kami ingin tahu bagaimana rasanya berdiri di depan kelas, bagaimana menyusun pembelajaran yang efektif, dan bagaimana menghadapi dinamika siswa dengan berbagai karakteristiknya. Dan kami ingin mengalami semuanya secara langsung---bukan hanya melalui teori di ruang kuliah.
Di MTsN 2 Kota malang ini kami para mahasiswa terdiri dari program studi pendidikan seni rupa, pendidikan bahasa arab, pendidikan bahasa inggris dan pendidikan jasmani olahraga kesehatan dan rekreasi. Masa asistensi mengajar ini  dilaksanakan mulai tanggal  3 februari sampai 3 juni 2025, proses pengantaran mahasiswa Asistensi mengajar ke sekolah dilaksanakan tanggal 10 februari dimana dosen pembimbing lapangan yang mewakili untuk datang ke sekolah ialah dosen dari program studi pendidikan bahsa arab yaitu bapak Dr. Moch. Wahib Dariyadi, S.Pd, M.Pd
Kesan pertama saat datang ke MTsN 2 Kota Malang sangat membekas. Kepala sekolah, wakil kepala sekolah bidang kurikulum dan kesiswaan, serta guru pamong kami, Ibu Ferika Mandanti, S.Pd., menyambut kedatangan kami dengan sangat ramah. Mereka tidak hanya memberi arahan administratif, tetapi juga menyambut kami secara emosional. Kami langsung merasa menjadi bagian dari keluarga besar sekolah ini. Proses adaptasi pun berlangsung dengan cepat. Kami tidak merasa asing ataupun canggung. Suasana yang terbuka dan kekeluargaan di lingkungan sekolah membuat kami nyaman untuk memulai peran sebagai mahasiswa  asisten mengajar.
Suasana sekolah yang asri, rapi, dan sejuk menambah kenyamanan dalam proses belajar-mengajar. Ruang kelas yang bersih, taman sekolah yang terawat, serta interaksi antar warga sekolah yang harmonis menciptakan lingkungan belajar yang sangat mendukung. Tidak berlebihan jika kami mengatakan bahwa suasana ini sangat membantu kami dalam menjalankan tugas dan juga meningkatkan motivasi belajar siswa.
Dalam proses ini, kami ditantang untuk menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP atau Modul Ajar) yang tidak hanya menekankan aspek kognitif, tetapi juga afektif dan psikomotorik. Pembelajaran seni tidak bisa hanya dipahami secara teoritis, tetapi harus dikaitkan dengan praktik langsung dan pendekatan yang menyenangkan. Maka dari itu, kami berusaha menghadirkan metode yang kontekstual, interaktif, dan kreatif. Kami mengintegrasikan penggunaan media digital, praktik menggambar secara langsung, diskusi terbuka, dan bahkan permainan edukatif yang berkaitan dengan topik yang sedang dipelajari.
Dalam perjalanan asistensi ini, kami mulai mengenali bahwa setiap guru memiliki gaya mengajarnya sendiri. Begitu pula dengan siswa. Setiap siswa memiliki cara belajar yang unik, minat yang berbeda, dan tingkat pemahaman yang beragam. Ini menjadi tantangan tersendiri bagi kami. Kami mulai belajar untuk lebih peka terhadap suasana kelas. Kami memperhatikan respons siswa terhadap materi dan metode pengajaran kami. Ketika siswa mulai kehilangan fokus, kami mencoba mengubah pendekatan---misalnya dengan membagi kelas menjadi kelompok kecil, memberi waktu menggambar sambil mendengarkan musik, atau memberi tantangan visual yang merangsang kreativitas.
Dalam salah satu sesi pembelajaran, kami mengajak siswa untuk menggambar ekspresi emosi dengan teknik pointilis. Kami kaget karena siswa-siswa ternyata sangat antusias. Mereka menggambarkan wajah marah, sedih, gembira, bahkan bingung dengan gaya mereka sendiri. Saat diminta menjelaskan makna dari gambar mereka, mereka mampu mengaitkan dengan pengalaman pribadi. Ini menunjukkan bahwa seni tidak hanya mengajarkan teknik, tetapi juga menjadi sarana refleksi dan ekspresi diri.
Tentu saja, tidak semua berjalan mulus. Kami juga menghadapi tantangan. Ada kalanya siswa merasa bosan atau kurang fokus, terutama pada jam-jam terakhir. Ada pula siswa yang terlalu aktif sehingga sulit dikendalikan, dan ada yang justru pasif atau tampak tidak tertarik. Dalam kondisi seperti ini, kami belajar untuk tidak cepat menyerah. Kami berdiskusi bersama tim dan guru pamong untuk mencari strategi yang tepat. Salah satunya adalah dengan memberikan ruang lebih luas bagi siswa untuk memilih topik gambar sesuai minat mereka. Hal ini terbukti mampu meningkatkan partisipasi mereka.