A. Pendahuluan
Banjir merupakan bencana yang rutin melanda Kota Samarinda, Kalimantan Timur, dan menjadi tantangan kompleks yang memerlukan respons kolaboratif dari berbagai pihak. Kompleksitas permasalahan banjir di Samarinda tidak hanya melibatkan aspek teknis infrastruktur, tetapi juga dimensi sosial, ekonomi, dan lingkungan yang saling terkait. Dalam konteks pelayanan publik modern, penanganan bencana seperti banjir tidak mungkin lagi dilakukan secara parsial oleh satu institusi pemerintah saja, melainkan memerlukan kolaborasi antar berbagai aktor dalam sebuah jejaring yang kompleks.
Pemerintah Kota Samarinda telah menunjukkan komitmen serius dalam mengatasi permasalahan banjir. Pada tahun 2023, Pemkot Samarinda mengalokasikan anggaran sebesar Rp 50 miliar untuk tiga proyek multi years yang meliputi dua kolam retensi dan satu tanggul. Upaya pengendalian banjir ini menjadi program prioritas yang konsisten dilaksanakan, mencakup revitalisasi drainase, normalisasi sungai, dan pembangunan infrastruktur pengendalian banjir lainnya.
a. Konsep 1: Network Governance - Struktur dan Mekanisme Koordinasi
Network governance merujuk pada penggunaan institusi dan struktur otoritas serta kolaborasi untuk mengalokasikan sumber daya dan mengkoordinasikan tindakan bersama dalam sebuah jejaring. Dalam konteks penanganan banjir di Samarinda, kita melihat bentuk network governance yang melibatkan berbagai aktor: Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR), Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), Wali Kota Samarinda, Kementerian PUPR, dan masyarakat.
Namun, analisis kritis menunjukkan bahwa struktur network governance dalam penanganan banjir Samarinda masih cenderung hierarkis dan sentralistik. Wali Kota Samarinda, Dr. H. Andi Harun, tampak sebagai aktor sentral yang secara langsung meninjau lokasi-lokasi banjir dan mengkoordinasikan berbagai program. Pada Oktober 2023, beliau meninjau empat titik lokasi sekaligus, termasuk sodetan di Loa Janan Ilir. Dominasi peran kepemimpinan tunggal ini, meskipun menunjukkan komitmen politik yang kuat, berpotensi menghambat inisiatif bottom-up dan partisipasi aktif dari aktor-aktor lain dalam jejaring.
Pernyataan legislator dari PDIP yang mengingatkan "pentingnya sinergitas untuk penanganan banjir di Samarinda" mengindikasikan bahwa koordinasi antar aktor belum optimal. Kritik ini menunjukkan adanya fragmentasi dalam network governance, dimana masing-masing institusi cenderung bekerja secara silo tanpa koordinasi yang terintegrasi. Dinas PUPR fokus pada aspek infrastruktur teknis, BPBD pada tanggap darurat, namun koordinasi strategis antar keduanya masih perlu diperkuat.
Model network governance yang ideal untuk penanganan banjir seharusnya mengadopsi pendekatan "network administrative organization" (NAO) dimana terdapat entitas khusus yang berfungsi sebagai koordinator jejaring. Samarinda belum memiliki structure semacam ini, sehingga koordinasi masih bergantung pada personal initiative dari pimpinan daerah. Hal ini menciptakan vulnerability ketika terjadi pergantian kepemimpinan atau ketika sang pemimpin tidak dapat secara langsung terlibat dalam koordinasi.
b. Konsep 2: Trust and Reciprocity - Fondasi Relasi Antar Aktor
Trust (kepercayaan) dan reciprocity (timbal balik) merupakan modal sosial fundamental yang menentukan keberhasilan kolaborasi dalam jejaring. Dalam penanganan banjir, trust antar institusi pemerintah, antara pemerintah dengan masyarakat, serta antara pemerintah pusat dan daerah menjadi kunci efektivitas respons kolaboratif.
Analisis kritis terhadap kasus Samarinda menunjukkan bahwa trust antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat masih perlu diperkuat. Fakta bahwa Wali Kota Samarinda harus menemui Menteri PUPR di Jakarta untuk "memperjuangkan kelanjutan pembangunan infrastruktur pengendalian banjir" mengindikasikan bahwa mekanisme koordinasi dan komitmen antar tingkat pemerintahan belum sepenuhnya terbangun dengan solid. Seharusnya, dengan adanya trust yang kuat, alokasi sumber daya dan dukungan dari pusat dapat berjalan lebih mulus tanpa perlu lobbying intensif.