Mohon tunggu...
Shonanar Rohman
Shonanar Rohman Mohon Tunggu... Berbagi dengan menulis

Seorang yang antusias dengan dunia pendidikan dan literasi

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Belajar Memahami Konteks

29 Juni 2025   12:13 Diperbarui: 29 Juni 2025   12:13 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Sebuah kertas bertuliskan kata "context". Sumber: Canva.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa netizen Indonesia menjadi salah satu netizen yang tidak begitu ramah dalam mengoperasikan media sosial di dunia, khususnya dalam menggunakan fitur komentar. Pasalnya, sering diketahui bahwa komentar dari netizen Indonesia pada berbagai macam konten di media sosial cenderung tidak beradab. Cacian, makian, hinaan, perundungan seolah menjadi komentar yang biasa menurut mereka. Meskipun ada pengguna media sosial yang acuh dengan komentar negatif, tetap saja hal itu masih dirasa mengganggu.

Parahnya, kondisi netizen Indonesia tidak hanya soal komentar di media sosial, melainkan juga soal gagalnya dalam memahami informasi dari suatu unggahan di platform tersebut. Banyak sekali ditemukan respon netizen yang sama sekali tidak berkolerasi dengan muatan konten di media sosial. Dugaan besarnya adalah karena mereka tidak mampu menyerap dengan baik konteks yang disuguhkan di dalam konten tersebut. Bisa jadi karena tidak membaca takarirnya, atau tidak menyimak keseluruhan informasi yang dimuat.

Ketidakpahaman netizen dalam menyerap konteks dari sebuah konten di media sosial tentu sifatnya merugikan. Kerugiannya tidak hanya pada netizen Indonesia sendiri karena pastinya mengundang perdebatan antar netizen, tetapi juga pada si pengunggah konten karena tujuan yang dibuatnya tidak dapat tersampaikan dengan baik ke khalayak umum. Pada kasus ini, ketiadaan konteks pada pikiran seseorang nyatanya berkontribusi pada kedangkalan pemahaman dan mengucilkan komunikasi yang efektif.

Foto: Sekelompok orang sedang memainkan gawainya. Sumber: Canva.
Foto: Sekelompok orang sedang memainkan gawainya. Sumber: Canva.

Konteks, hakikatnya, merupakan hal-hal yang memberikan makna dan maksud pada sebuah tulisan, informasi atau kejadian. Hal-hal tersebut umumnya perihal siapa, kapan, bagaimana, di mana, apa, dan mengapa (5W1H). Ini artinya, memahami konteks menjadikan seseorang mampu menafsirkan sesuatu dengan lebih tepat dan akurat. Ini terjadi karena ia memiliki ke dalaman pemahaman dari sesuatu tersebut, tidak sebatas permukaannya saja. Selain itu, dengan mengantongi konteks melalui makna dan maksud yang didapat, seseorang bisa berkomunikasi dengan lebih efektif, dan bahkan terhindar dari ambiguitas atau kesalahpahaman dalam menjalin komunikasi dengan pihak lain.

Ditambah lagi, jika ditarik lebih jauh lagi, seseorang yang memahami konteks diproyeksikan mampu mengambil keputusan yang baik dan bijaksana. Hal itu karena ia membawa informasi-informasi yang tidak hanya beragam, melainkan juga bermakna. Informasi merupakan data, dan data adalah senjata ampuh untuk menentukan sebuah langkah besar. Bahkan tak jarang, keputusan baik dan bijaksana yang diambil oleh seseorang berdampak luar biasa pada orang-orang di sekitar. Maka, ini seharusnya secara jelas menjadi penanda besar bahwa keberadaan konteks sangatlah krusial.

Kembali ke soal kelakuan netizen di media sosial, lebih tepatnya kegagalan dalam memahami konteks sebuah konten yang berujung pada komentar negatif. Menurut hemat saya perlu adanya upaya-upaya agar netizen berbenah sehingga menjadi lebih bijak dalam bermedia sosial. Bayangkan saja ketika netizen bertindak positif di media sosial, besar kemungkinan ruang-ruang diskusi yang baik tumbuh subur di dunia maya tersebut. Dan ruang-ruang diskusi positif inilah yang salah satunya kemudian dipercaya sebagai upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam arti kata lain, menjaga peradaban. Sebaliknya, jika kondisi netizen masih sama, ruang-ruang positif semakin kerdil dan kemudian khazanah wawasan pun tidak begitu luas, maka dipastikan peradaban pun terancam.

Upaya yang bisa diambil tentu saja yakni belajar memahami konteks, salah satunya yang bisa saya rekomendasikan ialah dengan membaca literatur berbahasa asing. Sebenarnya tidak ada ketentuan bahasa asing seperti apa yang membantu para netizen untuk belajar memahami konteks. Asalkan bahasa yang dimaksud berbeda dari bahasa Indonesia dan yang mereka kuasai, netizen bisa belajar darinya. Namun, agar sedikit lebih memudahkan, netizen bisa memulainya dengan bahasa inggris. Idealnya memang bahasa inggris, bahasa asing yang sekaligus menjadi bahasa internasional dan salah satu bahasa yang banyak dituturkan oleh masyarakat di dunia.

Sebagai informasi, bahasa Indonesia memiliki jumlah kosakata yang kalah jauh dari bahasa inggris. Perbandingannya yakni sekitar satu dibanding sepuluh (1 : 10) di mana bahasa Indonesia memiliki jumlah kosakata kisaran seratus dua puluh ribu (120.000) kosakata, sementara bahasa inggris memiliki kosakata berkisar satu juta dua ratus ribu (1.200.000) kosakata. Jumlah kosakata tersebut pastinya berubah setiap tahunnya karena adanya perubahan budaya yang dialami oleh kedua negara. Jarak perbedaan jumlah kosakata di antara keduanya dapat diartikan bahwa ada kosakata dalam bahasa Indonesia yang tidak bisa digunakan untuk menerjemahkan kosakata dalam bahasa inggris. Hal itu karena tidak ada padanan kata yang tepat untuk mewakili kosakata bahasa inggris tersebut. Ini tentu menjadi contoh bahwa memahami teks saja tidak cukup, sehingga netizen mau tidak mau harus juga memahami konteks agar mengerti kosakata bahasa inggris yang dimaksud.

Secara umum, membaca literatur berbahasa asing (dalam kasus ini adalah buku berbahasa inggris) sangat mendukung dalam memahami sebuah konteks. Pasalnya, seorang yang membaca buku bahasa asing secara otomatis akan menemukan banyak kosakata baru dan secara langsung mempelajarinya dalam artian bagaimana kosakata itu digunakan dalam sebuah kalimat yang utuh. Dari kalimat itu, alhasil ia juga belajar terkait tata bahasanya yang tentu jauh berbeda dari bahasa Indonesia atau bahasa yang ia kuasai. Sebagai pengingat, bahasa merupakan salah satu produk dari budaya. Maka dengan memahami semua aspek bahasa tersebut, orang terkait bisa dikatakan sedang mempelajari aspek budaya dari bahasa asing itu. Dalam arti kata lain, perspektifnya menjadi lebih luas melalui pendekatan bahasa dan budaya asing. Jika lebih jauh lagi digali, ia semakin memahami konteks-konteks sosialnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun