Mohon tunggu...
Humaniora Pilihan

Begini Kisah Pejuang Pelestari Budaya Macapat

4 Mei 2017   07:08 Diperbarui: 4 Mei 2017   08:12 337
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi Pribadi

Kanjeng Mas Tumenggung (KMT) Pradja Swasana. Inilah nama pemberian oleh keraton inilah yang menjadikan Swasana atau yang lebih dikenal dengan sebutan Rama Pradja.

Rama Pradja lahir di Yogyakarta, 4 Juni 1950. Pada tahun 1970, ia pertama kali mengabdikan dirinya di Keraton Yogyakarta. Ketika itu, ia menjawab sebagai prajurit Keraton. Baru di tahun 1986, ia diangkat oleh Keraton untuk menjadi Abdi Dalem Keprajaan dalam bidang kesenian. Hal ini dikarenakan Rama Pradja sangat tekun di dalam melestarikan budaya, salah satunya yaitu tembang macapat. Macapat ini merupakan puisi dalam bahasa Jawa yang dilantunkan dengan nada.

”Setiap tembang memiliki artinya masing-masing. Seperti tembang Maskumambang itu, menceritakan kisah awal suatu kehidupan. Sedangkan tembang Megatruh atau megat(memutus) ruh(roh) yang berarti memisahkan jiwa yang menceritakan suatu kesusahan, jelasnya.

Rama Pradja ini merupakan ayah dari tiga anaknya, yaitu Siwi Suharjanti, Siwi Januarto, dan Siwi Inayatul Nurhayati dan istrinya bernama Tri Suprapti. Cucu-cucu Rama Pradja pun juga mewarisi kecintaan terhadap seni. Ada yang meneruskan macapat, ada juga yang menjadi penari Keraton Yogyakarta.

Kecintaannya kepada budaya membuatnya mengabdikan diri atas asas ”nguri-uri budaya Jawa” atau melestarikan kebudayaan Jawa. Menurutnya saat ini generasi muda tidak banyak yang menekuni, namun ia yakin bahwa sebenarnya ada yang mau. Dianatarnya adalah Rezza, seorang murid Rama Pradja yang belajar macapat. ”Ya tertarik, karena kalau bukan kita yang masih muda ini yang melestarikan, siapa lagi. Macapat mungkin dianggap susah, tapi bagi saya ini justru menantang. Beda pengucapan e dengan é saja sudah beda arti. Tetapi menarik, berbeda dengan musik pada umumnya. Kalau orang biasanya menyanyi dengan nada dasar do sama dengan, macapat ini nggak. Nada dasarnya bebas terserah kita”, jelasnya.

Kelas macapat ini tidak dipasang tarif atau gratis. Jadi bagi siapa pun yang ingin belajar, bisa langsung datang di Kridha Marwada Keraton Ngayogyakarta Hadinigrat, Jalan Rotowijayan No. 3. Rama Pradja menghabiskan waktunya sebagai pengajar macapat yang rutin diadakan setiap hari Selasa dan Kamis mulai pukul empat sore hingga pukul enam sore. 

Selain menjadi pengajar, Rama Pradja juga tergabung dalam kelompok macapat Keraton Yogyakarta. Setiap hari Jumat, Rama Pradja beserta kelompok Abdi Dalem akan pentas di pagelaran untuk menyambut tamu-tamu yang berwisata di Keraton Yogyakarta mulai pukul 10 pagi hingga 12 siang. Sedangkan di hari Sabtu, Rama Pradja mengajarkan aksara Jawa khusus bagi para Abdi Dalem di Perpustakaan Keraton Yogyakarta. Rutin bagi Rama Pradja setiap Minggu Kliwon (penanggalan Jawa) untuk pentas macapat di Ambarukmo dalam rangka memperingati hari kelahiran Sultan Hamengku Buwana VII.

Menjadi Abdi Dalem merupakan kebanggan bagi Rama Pradja. ”Selama ini orang mengira menjadi Abdi Dalem ini sama dengan menjadi asisten yang mengabdi pada kepentingan Sultan sebagai Gubernur DIY. Padahal Abdi Dalem itu bukan abdi bagi Sultan, namun bagi Keraton dan kelestarian budayanya", tegas Rama Pradja. ”Yang saya inginkan agar macapat ini terus dilestarikan. Suatu kewajiban moral bagi saya untuk mengajarkan tembang-tembang macapat Keraton Yogyakarta untuk melestarikan kebudayaan yang sudah ada. Tanpa diberikan imbalan materi pun saya lakukan dengan sepenuh hati”, tambah Rama Pradja saat menutup percakapan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun