Mohon tunggu...
Shendy Adam
Shendy Adam Mohon Tunggu... Dosen - ASN Pemprov DKI Jakarta

seorang pelayan publik di ibu kota yang akan selalu Berpikir, Bersikap, Bersuara MERDEKA

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Paradigma Pembangunan Infrastruktur 'Indonesia Sentris' untuk Indonesia Berkeadilan

1 Juli 2016   20:23 Diperbarui: 1 Juli 2016   20:30 948
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar 1. Kontribusi PDB dilihat per pulau (sumber: Bappenas)

Para founding fathers kita sudah bersepakat memilih bentuk negara kesatuan alih-alih federal. Sampai sekarang pun kita masih sering mendengar istilah NKRI harga mati. Prinsip-prinsip negara kesatuan dianggap paling cocok dengan landasan ideologi bangsa Indonesia, Pancasila, khususnya sila ketiga : Persatuan Indonesia.

Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah memiliki kewenangan yang terbatas tidak seperti negara bagian dalam federalisme. Bahkan, Indonesia pernah mengalami periode 32 tahun dengan pola hubungan pemerintah pusat dan daerah yang sentralistis. Dengan segala kelebihan dan kekurangannya, harus diakui Soeharto adalah Bapak Pembangunan. Sayangnya, pembangunan yang diklaim itu tidak memperhatikan prinsip pemerataan. Daerah di luar jawa 'dihisap' semua kekayaan alamnya, sementara pembangunan infrastruktur hanya terpusat di Jawa.

Indonesia adalah negara yang sangat luas. Selain pulau-pulau besar seperti Sumatera, Jawa, Bali, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua, masih banyak pulau-pulau kecil yang jumlahnya konon mencapai lebih dari 17 ribu. Garis pantai membentang sepanjang 99.093 kilometer. Akan tetapi, selama puluhan tahun hanya Jawa yang dibangun dengan masif. Data menunjukkan pulau Jawa berkontribusi 58% terhadap PDB Nasional (lihat gambar 1).

Jakarta bukan hanya ibukota negara dan pusat pemerintahan, tetapi juga sentra ekonomi, bisnis, pendidikan, bahkan industri pun dibangun di kota ini dan sekitarnya. Kota-kota lain di Jawa relatif bernasib lebih baik, karena walaupun tidak sepesat Jakarta namun denyut nadi pembangunan masih lebih terasa dibandingkan daerah lain di luar pulau ini.

Jangan heran kalau daerah konurbasi Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek) kini menanggung beban masalah perkotaan yang demikian kompleks. Jika dianalogikan dengan peribahasa ‘ada gula ada semut’, Jabodetabek adalah ‘gula’ yang mengundang ‘semut’ dari daerah lain berdatangan. Selama paradigma pembangunan nasional tidak dikoreksi, potensi masalah bagi Jabodetabek akan semakin berat. Sebaliknya, jika sejak dulu pembangunan nasional diupayakan secara merata maka eksternalitas negatif akibat urbanisasi tidak akan terjadi di Jabodetabek.

Runtuhnya rezim Orde Baru menjanjikan perubahan bagi hubungan pusat dan daerah. Setelah reformasi 1998, pemerintah mulai mengubah kebijakan sentralistis menjadi desentralisasi. Dengan kebijakan otonomi daerah diharapkan mampu memberikan kesejahteraan yang lebih merata kepada daerah. Kebijakan otonomi daerah juga diikuti dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.

Meskipun sudah diberikan kewenangan untuk mengatur daerahnya sendiri dan dibekali dengan kemampuan fiskal dalam bentuk Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK), nyatanya tidak semua daerah berhasil dalam membangun daerahnya. Tidak sedikit daerah yang alokasi belanja pegawainya justru menyedot porsi terbesar dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Walhasil bayang-bayang terjadinya pemerataan pembangunan tetaplah menjadi impian.

Kita memang tidak bisa serta-merta mengatakan otonomi daerah telah gagal mendatangkan kesejahteraan rakyat dan pemerataan pembangunan. Banyak faktor yang turut menentukan. Dalam situasi seperti ini, pemerintah pusat yang diharapkan memainkan perannya. Pemerintahan pascareformasi terbilang belum berhasil mengubah paradigma pembangunan yang Jawa-sentris. Dalam tulisannya di sini, Faisal Basri mengkritik fenomena provinsi-provinsi yang memiliki kekayaan alam cukup melimpah namun mengalami pertumbuhan di bawah rerata nasional pada tahun 2014 maupun tahun-tahun sebelumnya. Provinsi-provinsi tersebut antara lain Sumatera Selatan, Bangka Belitung, Papua, Riau, Kalimantan Timur dan Aceh. Status otonomi khusus untuk Aceh dan Papua juga belum mampu mengakselerasikan pertumbuhan di sana. "Keadilan harus ditegakkan," begitu penutup tulisan Bung Faisal.

Tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama, pemerintahan sekarang di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo mulai mengubah haluan. Dalam Nawa Cita (sembilan agenda prioritas), salah satunya adalah “akan membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka Negara Kesatuan.”

Pemerintahan saat ini menyadari betul adanya disparitas antar wilayah masih tinggi, apalagi jika membandingkan Kawasan Indonesia Barat dengan Kawasan Indonesia Timur. Mustahil membayangkan pemerataan ekonomi tanpa adanya akselerasi pembangunan infrastruktur, khususnya pada daerah-daerah yang selama ini terpinggirkan. Semangat perubahan itu sangat terasa dari pemaparan Menteri Pekerjaan Umum, Dr. Ir. Mochammad Basoeki Hadimoeljono, pada acara Kompasiana Nangkring bertajuk "Pembangunan Infrastruktur Indonesia Sentris" , Selasa 31 Mei 2016 di Hotal Santika Premiere, Slipi, Jakarta Barat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun