Mohon tunggu...
T Hindarto
T Hindarto Mohon Tunggu... -

Peminat Kajian Teologi, Sejarah dan Fenomena Sosial

Selanjutnya

Tutup

Politik

MENGAKHIRI WARISAN KEBENCIAN SEBUAH REZIM

1 Oktober 2015   06:53 Diperbarui: 1 Oktober 2015   17:36 1217
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sebaliknya justru kelompok-kelompok radikal agamalah yang saat ini seharusnya diawasi dan diwaspadai dikarenakan mereka telah terbukti melakukan tindakan intoleran bahkan melakukan kegiatan terorisme serta rencana-rencana tertentu untuk mengubah ideologi dan pemerintahan Republik Indonesia. Bahkan sampai hari ini, kekuatan radikal agama masih menjadi ancaman nyata dengan terbentuknya Islamic State of Irak and Suriah (ISIS).

Yang terjadi saat ini dengan bangkitnya ideologi kiri adalah munculnya kelompok-kelompok kajian atau analisis sosial politik yang mencoba mengritisi arah pembangunan yang cenderung berpihak pada kepentingan kapitalisme global maupun kapitalisme nasional dan pisau bedah mereka adalah teori-teori Marxis yang bersifat kritis atau teori-teori Marxis yang sudah mengalami revitalisasi dalam konteks Reformasi. Sebut saja buku-buku karya Mansour Fakih yang diterbitkan oleh Pustaka Pelajar kerap menggunakan analisis Marxis khususnya Antonio Gramsci yang telah mengritisi konsepsi Karl Marx dan membuat konsep-konsep yang lebih relevan untuk mengritisi ketimpangan sosial dalam pembangunan. Beberapa buku Fakih al., Masyarakat Sipil Untuk Transformasi Sosial (18), Analisis Gender dan Transformasi Sosial (19), Jalan Lain: Manifesto Intelektual Organik (20), Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi (21). Demikian pula buku-buku karya Eko Prasetyo pun sarat dengan pisau analisis Marxis seperti, Islam Kiri: Melawan Kapitalisme Modal dari Wacana Menuju Gerakan (22), Saatnya Tan Malaka Memimpin (23), Orang Miskin Dilarang Sakit (24) Orang Miskin Dilarang Sekolah (25).

Daripada menyebut kelompok-kelompok ideologi kiri sebagai “bahaya laten komunis”, saya lebih melihat bahwa elemen-elemen masyarakat yang melakukan kritik sosial pembangunan melalui pisau bedah Marxis sebagai “kekuatan opini” yang berusaha mengisi celah kelemahan pembangunan yang berbasis kapitalisme global yang kerap menimbulkan kemiskinan struktural bagi kelompok-kelompok masyarakat. Mereka tidak bersenjata, mereka tidak memiliki pasukan terlatih secara militer, mereka tidak melakukan tindakan-tindakan intoleransi yang mengganggu kerukunan umat beragama.

Kita harus mengubah mindset kita dalam menyikapi kebangkitan pemikiran ideologi kiri dari cara-cara Orde Baru memperlakukan orang-orang komunis dengan menjadikannya “hantu komunis” tempat segala stigma dan kambing hitam terhadap berbagai peristiwa sosial politik yang mengarah pada tindakan anarkis, perpecahan, konflik vertikal dan horisontal sebagaimana dikatakan Peter Kasenda, “Sampai penghujung rezim Soeharto pada 1998, pemerintah dan pejabat militer Indonesia menggunakan ‘hantu’ PKI untuk menanggapi setiap masalah kerusuhan atau gejala pembangkangan. Kata-kata kunci dalam wacan rezim itu adalah bahaya laten komunisme”(26).


Momentum Mengakhiri Kebencian dan Berdamai Dengan Masa Lalu

Kembali kepada multi perspektif dan teori-teori diseputar peristiwa Gerakan 30 September 1965 yang diajukan para ahli sejarah, maka sudah saatnya kita mengambil jarak dari peristiwa tersebut dan tidak terpenjara oleh satu-satunya narasi yang telah dibangun oleh Orde Baru sebelumnya, namun mulai melakukan pembacaan kritis bahwa peristiwa 1965 merupakan peristiwa yang begitu kompleks sehingga mengakibatkan gesekan dan benturan yang luar biasa mengguncang situasi sosial dan politik Indonesia kala itu. Kita tidak bisa terus menerus hidup dengan penuh kecurigaan dan melembagakan kebencian yang diwariskan terus menerus oleh sebuah rezim dari generasi ke generasi yang menimbulkan sikap paranoid terhadap hantu Komunisme. Romo Franz Magnis Suseno mengatakan, “Sudah waktunya kita berani melepaskan kebohongan-kebohongan seperti disuntikkan ke dalam kesadaran kolektif bangsa melalui film Pengkhianatan G30S/PKI. Sudah waktunya kita bersama-sama bersedia mengaku bahwa something went terribly wrong dalam reaksi terhadap G30S” (27).

Siapa yang membunuh dan siapa yang terbunuh pada peristiwa pra maupun paska 1965 (baik korban aksi sepihak PKI sebelum peristiwa G30S maupun korban tujuh jendral serta korban anggota PKI yang mengalami pembantaia masal paska 1965) terlibat dalam rantai dendam dan kemarahan yang tiada berujung. Muncul wacana Presiden Jokowi hendak meminta maaf kepada keluarga korban PKI yang mengalami pembantaian masal di era Orde Baru pada upacara peringatan kemerdekaan RI ke-70 pada tanggal 17 Agustus 2015. Namun berbagai reaksi pro dan kontra terus bergulir di masyarakat khususnya TNI. Akhirnya beredar berita bahwa Presiden Jokowi tidak akan meminta maaf kepada keluarga PKI (28).

Sampai kapan rantai dendam dan kemarahan akan terus dilestarikan di dalam sejarah bangsa dan para generasi paska 1965? Akibat tidak diselesaikannya persoalan-persoalan masa lalu, sebagai bangsa kita terus menerus tersandera oleh masa lalu dan narasi sejarah yang destruktif. Merujuk pada artikel Wahyudi Akmaliah (Peneliti PMB-LIPI dan Associate Researcher Maarif Institute) mengenai bentuk penyelesaian masa lalu, saya kutipkan selengkapnya: “Pertama, tidak melupakan dan tidak memaafkan, yang berarti adili dan hukum (never to forget and never to forgive). Ini terjadi pada Jerman setelah runtuhnya pemerintahan Hitler dengan bantuan negara-negara sekutu. Kedua, tidak melupakan tetapi kemudian memaafkan, yang berarti adili dan kemudian ampuni (never to forget but to forgive). Di sini, Afrika Selatan menerapkan pola kedua dengan penekanan pada pendekatan disclossure melalui KKR. Ketiga, melupakan tetapi tidak pernah memaafkan, artinya, tidak ada pengadilan tetapi akan dikutuk selamanya (to forget but never to forgive). Ini terlihat pada cara masyarakat Eropa terkait dengan akusisi penganut ajaran Protestan di Eropa selama Abad Pertengahan. Keempat, melupakan dan memaafkan, yang berarti tidak ada pengadilan dan dilupakan begitu saja (to forget and to forgive). Ini terjadi pada negara Spanyol setelah jatuhnya rejim junta pemerintahan Franco (Daniel Sparingga, 2005)” (29) Marilah 50 tahun peringatan peristiwa Gerakan 30 September yang menewaskan 7 jenderal Angkatan Darat dan paska 1965 terjadinya pembunuhan masal orang-orang Komunis menjadi sebuah momentum untuk berani memutus rantai dan warisan kebencian. Rekonsiliasi sebagaimana ditawarkan Agus Widjoyo menjadi sebuah pilihan yang tidak bisa ditawar kembali untuk memutus rantai dendam dan warisan kebencian. “Apabila rekonsiliasi tidak mampu kita laksanakan, hl itu hanya akan mencoreng citra bangsa Indonesia yang bukan saja tidak punya keberanian untuk berdamai dengan masa lalunya, melainkan juga menunjukkan tingkat keadaban bangsa yang rendah” (30). Meminta maaf dan memaafkan (mengampuni) membutuhkan kekuatan. Marilah kita menjadi orang-orang dan bangsa yang kuat karena telah berani saling mengampuni satu sama lain.

 

End Notes

1. Sejarah Indonesia, Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia 2015, hal 16-17

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun