Mohon tunggu...
Shelly Lansritan
Shelly Lansritan Mohon Tunggu... Insurance Consultant -

Kenali saya melalui buah pikir dalam tulisan-tulisan di Kompasiana & celoteh lainnya di Facebook saya : https://www.facebook.com/shelly.lansritan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Di Sini Cinta Berbicara (Wo Ai Ni & Kula Tresna Marang Sliramu)

13 Desember 2014   20:24 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:22 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Please play the music then start reading this story... :)


(Wo Ai Ni & Kula Tresna Marang Sliramu)

Oleh : Shelly Lansritan

“Wo ai ni ko Felix” Ayu menempelkan punggung tanganku ke pipi halusnya, ia memejamkan mata dan tersenyum sangat manis. Saya terhanyut melihat senyum manisnya, hati ini berdesir “Aku tresna marang sliramu dek Ayu.” Sedetik kemudian Ayu membuka matanya, saya menggenggam tangannya kemudian mengecup mesra bibir tipisnya.

“Paaaaaaaaa” suara malaikat kecil itu membuyarkan lamunan indah masa mudaku.

“Paaaa, Io liat ada kodok gede di depan rumah Pa” Rio kecilku bergelayut manja di pundakku.

“Pa, Io eenyangan nih jadi antuk mau obo uyu ya” kemudian aku menggendong dan merebahkannya di kasurku. Ya di kasurku, di kamarku. Sejak dua tahun lalu, Meisya Melinda Wong wanita yang kunikahi secara sah di hadapan Tuhan, keluarga dan negara secara sadar diri pergi meninggalkan saya dan Rio yang waktu itu baru berusia 14 bulan. Meisya wanita yang buta hatinya itu pergi dengan laki-laki lain untuk memenuhi ego duniawinya disaat usahaku sedang jatuh terpuruk. Harga diri laki-laki ini sungguh terkoyak tanpa sisa. Di saat teman lama menghabiskan sebagian besar modal usahaku, disaat saya butuh penopang mental, ia menghilang lenyap meninggalkan surat perpisahan.

Di malam-malam hari seperti ini terlebih dikala hujan turun membasahi bumi, hati ini terasa pedih melihat Rio kecilku harus tumbuh tanpa belaian kasih seorang ibu. Dan malam ini setelah entah berapa ratus malam terlewati bersama dinginnya hati berselimut luka, tiba-tiba saya terkenang akan seorang wanita priyayi yang sebelas tahun lalu pernah mencuri hati ini sekaligus membuat saya patah hati. Namanya Ayu Cinta Rasyadiningrat, seorang putri keturunan darah biru.

Saya Felix Hartanto, seorang keturunan Tionghoa yang tumbuh dalam keluarga sangat sederhana.  Ayah saya adalah seorang penjual bakpao keliling dan ibu saya seorang penjahit di pasar dekat rumah. Jika waktu itu ditanya mengapa saya yang kelas bawah ini berani jatuh cinta kepada seorang putri bangsawan berdarah biru, maka jawabannya adalah saya yakin kesuksesan adalah nafas saya di masa yang akan datang. Tapi keyakinan seperti ini tidak semudah membalikkan telapak tangan, butuh waktu dan proses panjang.

Sampai hari itu dimana langit sangat cerah, Ayu memberitahu bahwa keluarganya telah mempersiapkan pesta pertunangan beberapa bulan kedepan dengan Bambang Baskoro, anak dari kerabat jauh keluarga Ayu. Langit memang cerah, tapi berita seperti itu tidak akan mampu mencerahkan hati ini. Saya menangis memeluk Ayu, sungguh saya ini pejantan melankolis. Mungkin teman-temanku akan tertawa terbahak jika tahu saya menangis hanya karena ditinggal seorang wanita. Tapi mereka semua tidak tahu, tidak paham mengapa air mata laki-laki ini perlu diperlihatkan kepada Ayu. Ayu adalah cinta pertama saya. Cinta yang membuat saya mengerti bahwa ternyata perasaan hati tak berbatas untuk mengasihi makhluk ciptaanNya. Cinta yang mencambuk saya untuk menjadi laki-laki kelas atas suatu hari nanti. Aaaaah…Ayuku wanitaku, masih teringat jelas kelembutan suaranya, kelembutan wajahnya dan kelembutan caranya mencintai diri ini.

Acara pertunangan Ayu dengan Bambang memang sengaja dibuat untuk memisahkan kisah cinta kami. Sebelumnya Ayu sempat meminta saya untuk datang kerumah agar kedua orangtuanya dapat mengenal sosok pria pujaannya. Tapi niat baik inilah rupanya pemicu ironi hubungan asmara yang sudah kami jalin selama 18 bulan 10 hari. Tidak sampai lima menit ayahandanya menemui saya di ruang tamu, beliau segera masuk kembali ke kamar. Sementara ibundanya dengan santun berkata “Nak Felix nampaknya masih terlalu muda untuk menjalin cinta yang lebih serius dengan Ayu. Ayu ini putri kesayangan kami satu-satunya dan kami sangat berharap Ayu mendapatkan yang terbaik dan bisa bahagia dalam hidupnya.”

Ketika berada di teras rumah hendak pulang, samar terdengar suara ayahanda Ayu “Apa ora kliru si Ayu milih cah lanang Cina kuwi, apa wuto mripate? Arep digawa ning endi martabate kluarga Rasyadiningrat yen tak rabike Ayu karo anake bakul bakpao? (Tidak salah itu si Ayu memilih laki-laki Cina begitu, buta apa matanya? Mau dibawa kemana harga diri keluarga Rasyadinigrat kalau saya nikahkan Ayu dengan anak penjual bakpao?).” Saya pulang membawa kecewa terdalam atas sebuah penolakan. Sebuah penolakan atas identitas dan strata kehidupan.

Sekitar seminggu saya yang tiba-tiba berubah menjadi sangat pendiam di rumah membuat mama bertanya “U hami su, kong kha mama thia, mama e ka lu pay pi (ada masalah apa, bilang sama mama, mama bisa bantu urus).”

“Bo hamik su la ma (tidak ada apa-apa ma)” saya berusaha menutupi masalah.

“Mama e sim kong lu phien kan (hati mama bilang kamu berbohong)” mama mendesak mencari tahu kegelisahan putra tunggalnya ini.

Saya terdiam sejenak dan akhirnya menceritakan bahwa selama ini saya telah menjalin kisah kasih dengan seorang wanita keturunan bangsawan Jawa dan saat ini sedang menghadapi penolakan dari keluarga Ayu. Mama saya hanya berdecak dan tersenyum geli “Aiyaaaa…lu lang lah, wa lang mana e sai kawin ka i lang. I lang juga mana ai le kawin ka wa lang (Aiyaaaa…kalian ini, kita mana boleh kawin sama mereka. Mereka juga mana mau kawin sama kita).”

“Tapi ma, cinta itu kan milik semua manusia. Felix tidak pernah minta sama Tuhan untuk dilahirkan jadi orang Tionghoa yang lahir di Indonesia. Kalau bisa, Felix pasti minta sama Tuhan supaya lahir jadi orang Jawa di Indonesia atau kalau mau terlahir jadi orang Tionghoa ya kenapa tidak terlahir saja di Beijing sana” saya berusaha memberi pemahaman kepada mama mengenai cinta yang universal.

“Kucing kawin sama kucing, anjing kawin sama anjing, titik!” mama bergegas masuk kamar sambil mengingkari janjinya tadi untuk membantu permasalahan saya ini.

“Pak, jadi ke bandara nanti sore?” tanya Sukri supir pribadi yang sudah setahunan ini bekerja untuk saya.

“Iya, kamu bantu jaga rumah ya, antar mama saya kalau dia ada perlu pergi keluar rumah” saya berpesan.

Sore ini saya pergi ke bandara dengan hati berdebar seperti ada kegembiraan yang tidak dapat dijelaskan, sungguh membuat bingung diri ini. Begitu memasuki pesawat, hati saya semakin berdebar kencang. Saya duduk di kursi bisnis baris ketiga dari depan sambil berfikir ada apa dengan diri ini. Sudah puluhan kali saya flight dengan pesawat terbang tapi mengapa saat ini hati saya layaknya anak kecil yang merasa riang gembira seperti pertama kali flight. Belum juga hilang rasa kebingungan ini, rasa terkejut luar biasa tiba-tiba seperti mencekik kerongkongan. Seorang bidadari cantik berparas manis berdiri di depan kabin dengan seragam maskapai memperagakan bagaimana menyelamatkan diri jika pesawat dalam keadaan bahaya. Saya melihat setiap gerak geriknya tanpa berkedip sampai kemudian sudut mata pramugari itu menangkap bahwa ada seseorang yang sedang memperhatikannya dengan sangat serius. Mimik mukanya sedikit terguncang dan gerak-geriknya terlihat lebih kikuk saat ini.

Selesai mendemokan prosedur peragaan tersebut, pramugrari cantik itu cepat bergegas menuju ke belakang pesawat. Pesawat sudah lepas landas, saya duduk terdiam terpaku seperti orang kebingungan. Dalam rasa gugup tingkat tinggi saya menuju ke belakang pesawat. Sore ini di dalam pesawat Tuhan sungguh berbaik hati. Ia kembali mengijinkan Felix Hartanto bertemu dengan Ayu Cinta Rasyadiningrat. Kami berpandangan lama, penuh rasa, penuh asa dan penuh rindu.

Sudah puluhan kali juga saya bermalam di dalam kamar hotel bintang lima, namun malam-malam itu terasa hambar bernuansa urusan bisnis semata. Namun malam ini, ada rasa bahagia menghiasi hati, tak henti-hentinya saya bersiul riang menanti perjumpaan dengan Ayu yang sudah kami rencanakan lima hari kedepan. Saya tersenyum geli merasa kembali menjadi anak remaja yang sedang jatuh cinta di usia yang sudah menginjak 31 tahun ini.

“Ko Felix” Ayu menyapa saya hangat, bibirnya tersenyum manis.

“Oh Ayu, mau pesan apa Yu” saya berdiri sembari mempersilahkan Ayu untuk duduk.

Ayu tampak manis sekali dengan terusan merah muda, wajahnya tidak banyak berubah, penuh kelembutan dan tentu semakin keibuan diusianya yang ke 29 tahun. Kami banyak berbincang, menceritakan kehidupan masing-masing selama sebelas tahun ini.

Saya menceritakan pernikahan saya yang kandas ironis, menceritakan tentang Rio dan menceritakan tentang agrobisnis yang saat ini sedang saya geluti. Sedangkan Ayu menceritakan mengenai pilihan profesinya sebagai pramugrari.

“Pantas saja Yu selama ini saya tidak pernah lihat kamu setiap saya flight dengan pesawat itu, ternyata kamu baru satu bulan ya bergabung di sana.”

Ayu juga menceritakan bahwa ayahandanya telah berpulang enam tahun yang lalu dan kala itu pertunangan dibatalkan oleh pihak keluarga Ayu karena terbukti Bambang adalah sosok pria temperamental yang dikelilingi oleh banyak wanita nakal. “Ko, boleh ya kapan-kapan Ayu bertemu dengan Rio” senyum manis itu kembali menghipnotis sukmaku.

Hari ini saya mengundang Ayu untuk makan siang di rumah. Tidak ada masakan rumah, hanya masakan restoran yang khusus dipesan untuk menyambut kedatangan Ayu.

“Tante teman baiknya papa Io ya” Rio kecilku menyalami Ayu. Dan beberapa saat setelah itu entah bagaimana caranya Ayu ternyata juga mampu menghipnotis Rio untuk berceloteh dan bermanja kepadanya. Setelah makan siang hari ini, kami berjanji untuk lebih sering bertemu di sela-sela waktu kosong kami. Ayu dan Rio semakin akrab saja setiap bertemu, mungkin Rio begitu merindukan sosok ibu yang sudah dua tahun ini tak pernah direngkuhnya. Ada rasa haru setiap melihat senyum bahagia dari wajah malaikat kecilku dan sungguh saya tidak ingin senyum bahagia itu berhenti. Untuk itulah saya bulatkan tekad untuk melamarnya.

“Yu, di usia kita yang sudah tidak terlalu muda, sebaiknya kita tidak membuang-buang waktu lagi jika ingin saling membahagiakan. Ijinkan saya untuk bertemu dengan ibundamu, ijinkan saya untuk meyakinkan beliau bahwa kamu akan berbahagia hidup dengan saya.”

Kulit pipi Ayu bersemu merah “Ko Felix, jika sampai hari ini Ayu masih hidup dalam kesendirian itu karena Ayu masih terpenjara dalam kenangan cinta kita berdua. Cinta yang tidak bisa terwujud karena perbedaan warna kulit dan perbedaan kelas kehidupan. Tapi sungguh Ayu tidak mengerti mengapa hati ini selalu menyenandungkan namamu di setiap hening malam. Dan menjadi wanita yang bisa membahagiakanmu adalah mimpi besar Ayu. Bolehkah Ayu menjadi ibunda yang akan mengasihi Rio sampai diri ini menutup mata. Tapi lusa Ayu ada penerbangan ke Papua, mungkin baru bisa minggu depan bertemu dengan ibunda Ayu.”

Kami berdua saling tatap penuh kasih, saling mengerti akan perasaan bahagia yang menyeruak di hati.

Pagi ini Ayu menghubungiku lewat telepon genggam, ia mohon pamit untuk terbang ke Papua. Suara hangatnya di pagi hari memberikan secercah semangat untuk beraktifitas. Sore ini setelah selesai meeting dengan investor yang tertarik dengan pengembangan lahan perkebunan di Sumatra, saya bergegas pulang ke rumah agar dapat menemani Rio yang sedang kurang sehat. Bersantai di rumah menemani si kecil sembari melihat tayangan televisi adalah hal biasa yang menyenangkan. Namun hal tersebut berubah menjadi sangat tidak menyenangkan ketika berita petang ini menyiarkan kabar kecelakaan maskapai pesawat tempat Ayu bekerja dengan rute Jakarta-Papua. Pesawat tersebut jatuh di hutan belantara tanah Papua dan belum ditemukan sampai berita itu ditayangkan. Berita buruk yang sangat menyebalkan, suara pembaca berita itu terdengar seperti dewa kematian yang berdengung-dengung di telingaku. Baru kali ini saya merasakan ketakutan yang teramat sangat, sebuah rasa takut akan kehilangan sosok Ayu untuk kedua kalinya.

Saya mencoba untuk menghubungi telepon genggamnya, tapi seperti sudah saya duga telepon itu tidak aktif. Dalam rasa semakin panik ini, saya kemudian menghubungi humas maspakai penerbangan itu, untuk memastikan apakah Ayu benar termasuk pramugrari yang ikut dalam penerbangan tersebut. Dalam jawaban singkatnya humas tersebut mampu membuat saya bergetar hebat sebelum akhirnya saya terduduk lunglai. Kepala saya tiba-tiba menjadi sangat sakit ketika humas tersebut kembali memberikan informasi bahwa pencarian terhadap bangkai pesawat baru akan mulai dilakukan besok pagi. Saya tidak bisa membayangkan jika saja Ayu masih hidup tentu ia akan sangat ketakutan terjebak dalam hutan mengerikan semalaman ini.

Kacau, pikiran ini sungguh menyiksa batin saya. Dan dalam keadaan resah gelisah, ternyata saya masih mampu menemukan solusi untuk masalah ini.  Segera saya mengambil telepon genggam dan menghubungi salah seorang partner bisnis terbaik saya “Jo, saya perlu bantuan kamu, benar-benar mohon bantuan kamu. Helikopter pribadi kamu sangat saya butuhkan malam ini juga.”

Setelah saya menjelaskan semua permasalahan yang sedang terjadi, dua jam kemudian saya telah berada di dalam helikopter bersama dengan team penyelamat yang khusus saya sewa menuju hutan belantara Papua.

Sekitar delapan jam penerbangan, kami tiba di ujung negeri khatulistiwa ini. Setelah berunding dengan team, kami putuskan untuk beristirahat beberapa jam dulu di markas penerbangan milik Johan partner bisnis saya itu. Tepat jam sembilan pagi kami melanjutkan penerbangan untuk menyisir hutan. Dengan semangat dan harapan positif saya yakin akan menemukan Ayu hari ini. Tapi ketika matahari telah lelah bersinar dan waktu telah berdenting pukul lima sore, harapan itu berubah menjadi kecemasan tiada terbantah. Dengan tubuh yang mulai limbung dalam kelelahan saya yakinkan diri untuk terus menyisir hutan. Saya sungguh yakin Ayu masih hidup dan tidak akan rela jika ia harus terkungkung lagi dalam gelap malam hutan hari ini.

Tak henti-hentinya saya berdoa dan ternyata Tuhan memang maha baik, waktu hampir menunjukkan pukul enam sore ketika bangkai pesawat itu terlihat jelas. Saya bersorak kencang seakan mendapatkan harta karun di pulau ini. Ya Gusti Maha Besar, terima kasih Ayuku masih Kau ijinkan untuk memiliki nafas, walau ia pingsan dan keadaannya sangat memprihatinkan. Di dalam helikopter sembari menuju rumah sakit terdekat, saya kembali berdoa mengucap syukur tiada henti dan berjanji apapun yang terjadi dengan Ayu nantinya, ia tetap akan menjadi Nyonya Felix Hartanto.

Ayu membuka matanya perlahan, ia terdiam memandang sekeliling. Saya berusaha tersenyum, berusaha menyembunyikan kesedihan dan masih berfikir bagaimana reaksi Ayu nantinya.

“Ko, Ayu masih hidup? Kita ada di mana?” Ayu berkata perlahan.

Belum sempat saya menjawab pertanyaannya “Aduuuh…kaki Ayu, kaki Ayu kenapa? Kenapa berat sekali? Kenapa tidak bisa digerakkan ya Ko?” Ayu menyeringai kesakitan dan saya menelan ludah. Saya menatapnya dalam, berusaha menahan agar pejantan melankolis ini tidak menjatuhkan air mata di hadapan Ayu.

Masih terngiang jelas vonis dokter beberapa jam yang lalu “Ayu akan lumpuh.” Kaki kanannya memang terhimpit rongsokkan besi saat ditemukan kemarin sore. Saya memejamkan mata sesaat dan menenangkan hati ini sebelum akhirnya bisa bersuara “Ayu, ketika saya berani mencintaimu dengan segala kemampuan yang kamu miliki, itu artinya juga saya akan berani mencintaimu dengan segala ketidakmampuan yang kamu miliki. Perjalanan cinta kita tidak mudah, butuh waktu lebih dari satu dasawarsa untuk bisa mewujudkan mimpi besar kita. Ketika waktu berbaik hati mengijinkan saya untuk bisa melihatmu lagi, itu artinya memang kamulah jiwa terbaik yang dapat menemani hari-hariku. Jika hanya karena…” saya terdiam sejanak. “Jika hanya karena…kelum…kelumpuhan di kaki kananmu itu, maka cinta yang kumiliki ini tidak akan pernah berhenti berbicara. Aku tresna marang sliramu dek Ayu.” Ayu terdiam dalam pedihnya, pipinya basah oleh air mata kesedihan, tapi sudut bibirnya tersenyum manis, manis sekali.

---**---

Cerpen lainnya :

http://fiksi.kompasiana.com/cerpen/2014/12/10/candu-cinta-696373.html

http://fiksi.kompasiana.com/cerpen/2014/12/06/aku-bukan-kupu-kupu-malam-695659.html

http://fiksi.kompasiana.com/cerpen/2013/01/30/cintaku-bukan-cinta-egois-529105.html

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun