Kasus pemalsuan emas yang melibatkan PT Aneka Tambang Tbk (Antam) kembali menjadi sorotan publik. Skandal ini menyoroti lemahnya pengawasan dalam tata kelola komoditas emas di Indonesia. Meski terungkap pada tahun 2024, informasi terkait kasus ini kembali ramai diperbincangkan pada Maret 2025.
Kronologi Kasus
Kejaksaan Agung menetapkan enam mantan General Manager Unit Bisnis Pengelolaan dan Pemurnian Logam Mulia (UBPPLN) PT Antam sebagai tersangka. Mereka diduga menjual emas seberat 109 ton dengan mencantumkan logo Antam secara ilegal selama periode 2010–2022. Emas tersebut diketahui berasal dari tambang ilegal tanpa izin resmi.
Meskipun emas yang dijual merupakan emas asli, pencantuman logo Antam tanpa persetujuan resmi menjadi bentuk pelanggaran hukum serius. Akibat praktik ini, negara diperkirakan mengalami kerugian hingga Rp3,3 triliun.
Modus Operandi
Modus pemalsuan ini dilakukan dengan mencap emas dari tambang ilegal menggunakan logo Antam. Cap tersebut digunakan sebagai jaminan kualitas yang dipercaya masyarakat luas. Hal ini membuat emas ilegal tersebut laku di pasaran dengan harga lebih tinggi.
Kejaksaan Agung menjelaskan bahwa praktik ini melibatkan jaringan yang terorganisir, di mana para tersangka memanfaatkan celah pengawasan internal dan lemahnya sistem kontrol perusahaan.
Tanggapan PT. Antam
PT Antam membantah keterlibatan langsung dalam praktik ilegal ini. Perusahaan menegaskan bahwa seluruh produk emas yang dipasarkan telah melalui prosedur resmi dengan sertifikat keaslian. Antam juga mendukung proses hukum yang berlangsung serta berkomitmen memperkuat sistem pengawasan dan distribusi produknya.
“Kami memastikan bahwa semua produk yang dipasarkan melalui butik emas resmi Antam telah memiliki sertifikat dan diproduksi sesuai standar internasional,” ujar perwakilan PT Antam seperti dikutip dari Antaranews.com (2025).
Pelajaran bagi Masyarakat