Mohon tunggu...
Sharfina
Sharfina Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Content Writer

Penikmat obrolan satu frekuensi ☕ | Suka jalan-jalan ke tempat baru sambil motret tidak asal jepret 📸 | Visit me in another universe at shabirahannisa.blogspot.com 💻

Selanjutnya

Tutup

Hobby Artikel Utama

Talijiwo, Kritik Sosial, dan Renungan yang Tidak Hanya untuk Sesaat

19 Agustus 2019   17:33 Diperbarui: 20 Agustus 2019   03:00 523
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menyeruput teh hangat sembari membaca Talijiwo (Dokumentasi pribadi)

"Kalau tidak ada yang mengaku, yo wis," tukas pak Gemuk. "Saya Cuma berharap, jangan ulangi modus tanda tangan oplosan begini. Salam buat Parwati."

Diperlakukan seperti itu, Buchori merasa tak enak dan akhirnya ingin mengakui perbuatannya. Namun setelah ia bercerita dengan Parwati, Parwati tidak memperbolehkannya, sebab Buchori itu laki dan biasanya "lakik itu pengapesannya mahasiswi." 

Dan setelah pengakuan atas "tanda tangan oplosan" tersebut, Parwati dihukum membuat rangkuman yang ia berhasil selesaikan selama 3 hari.

Selain kisah "titip absen", perihal kelakukan mahasiswa ketika di kampus memang tidak ada habis-habisnya. Mungkin pembaca juga pernah menunggu dosen yang datang ke kelas telat, lalu karena dosen tak kunjung datang, seluruh mahasiswa sepakat untuk meninggalkan kelas dan hanya sedikit yang tetap menunggu di dalam kelas.  

Yaa begitulah kehidupan perkuliahan, terkadang bisa dihitung jumlah mahasiswa yang setia dengan dosennya layaknya pasangan Parwati dan Buchori.

Dari cerita "Membaca Novel" yang membahas kehidupan perkuliahan. Talijiwo juga mengajak pembaca untuk merenung sejenak ke cerita tentang "Sampah".

"Sampah" merupakan bagian cerita yang dirasa mampu menyentil pembaca. Bagi saya, ini merupakan kejadian sehari-hari, yang pasti sering terjadi kepada seorang ibu rumah tangga yang memiliki anak yang jarang membantu orangtua dalam pekerjaan rumah.

Cerita ini mengajak pembaca untuk belajar meresapi bagaimana lelahnya seorang ibu bernama Bu Sastro, ibu rumah tangga yang memiliki dua putri. Putri sulung bekerja sebagai pegawai honorer di DPR sedangkan si sulung merupakan siswi SMA.

Sejatinya, harapan seorang ibu rumah tangga yang memiliki dua putri, meskipun kerja dan belajar itu membuat lelah, mestinya kedua putrinya bisa membantu ibunya walau hanya sekadang nyapu dan membuang sampah.  Bahkan, dalam cerita tersebut, urusan tempat tidur tetap saja urusan ibu yang memebereskannya.

Bu Sastro menjadi perempuan pada umumnya yang menyanjung janji...menyangga matahari...menanggung suka dan duka...menuai tingkah laku anak sendiri...menua sendiri...

Itulah ironi yang mungkin dirasakan oleh ibu rumah tangga yang memiliki anak yang sudah dewasa, namun tidak membantu ibunya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun