Anak berkebutuhan khusus merupakan bagian integral dari masyarakat yang memerlukan perhatian khusus dalam bidang pendidikan, sosial, dan kesehatan. Salah satu jenis kebutuhan khusus adalah tuna daksa, yaitu kondisi dimana individu mengalami keterbatasan dalam fungsi gerak tubuh akibat gangguan pada otot, tulang, atau sendi (Hasnah, 2022). Tuna daksa tidak selalu berdampak pada kemampuan intelektual, namun keterbatasan fisik dapat mempengaruhi partisipasi anak dalam kegiatan sehari-hari. Pendidikan inklusif dan dukungan keluarga memiliki peranan penting untuk membantu anak tuna daksa beradaptasi dengan lingkungannya dan mencapai potensi maksimal.
Menurut Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2009, tuna daksa adalah gangguan atau hambatan dalam hal gerak akibat kelainan neurologis atau kelainan struktur tubuh. Anak dengan tuna daksa dapat mengalami kelumpuhan, kekakuan sendi, kehilangan anggota tubuh, atau kelainan bentuk tubuh lain yang memengaruhi aktivitas motorik kasar dan halus (Utami et al., 2023). Tuna daksa dapat dikategorikan berdasarkan tingkat keparahannya, dari ringan hingga berat, serta dapat bersifat permanen atau sementara tergantung pada penyebabnya.Â
Anak tuna daksa memiliki karakteristik khusus yang meliputi:
-
Keterbatasan Gerak: Kesulitan melakukan aktivitas fisik seperti berjalan, berlari, atau menggunakan tangan.
Ketergantungan pada Alat Bantu: Seperti kursi roda, kruk, atau prostetik.
Gangguan Motorik Halus: Kesulitan menulis, menggambar, atau mengikat tali sepatu.
Adaptasi Psikososial: Sebagian anak mungkin mengalami ketidakpercayaan diri, isolasi sosial, atau kesulitan dalam membangun hubungan dengan teman sebaya.
Kemampuan Akademik Bervariasi: Tidak semua anak tuna daksa mengalami hambatan intelektual. Banyak dari mereka memiliki kemampuan berpikir yang baik jika diberi kesempatan yang tepat
Beberapa tantangan yang umum dihadapi antara lain: