Mohon tunggu...
Shanan Asyi
Shanan Asyi Mohon Tunggu...

Seorang dokter umum sekaligus penulis jurnal kesehatan

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

[Perjalan Hidup - BAB 6] Persahabatan

9 Januari 2018   22:25 Diperbarui: 9 Januari 2018   22:41 594
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Siang itu setelah keluar rumah, Agam pergi bersama teman sebangkunya Indra bermain ke pinggir sungai. Ini merupakan tempat yang ia baru datangi beberapa hari lalu. Namun karena suasananya yang asyik untuk menongkrong, Agam memilih untuk duduk disini. Apalagi sekarang ditangannya tidak kosong. Ia membawa mainan pemberianku. Hatinya sangat bahagia.

            Hari itu dimana Indra membela Agam ketika disikut oleh Lukman, membuat Indra juga dimusuhi oleh Lukman dan gengnya. Namun Indra tidak peduli. Indra merupakan bocah berprinsip kuat, ia berani dan teguh. Ia tidak takut pada siapapun, jika menurutnya itu salah maka ia akan berkata salah. Sebaliknya jika itu benar, maka ia akan melakukan hal yang benar.

            Namun berbeda dengan Agam yang mendapatkan lemparan telur. Geng Lukman tidak melakukan apa-apa terhadap Indra. Jujur Indra merupakan sosok yang disegani di kelas. Tidak ada anak yang berani mencari perhitungan dengannya.

            Setelah duduk di pinggiran sungai. Indra baru menyadari Agam membawa sesuatu sedari tadi. "Apa itu?" tanya Indra.

            "Ini, mainan dari kakak sepupu aku hehe." Kata Agam sambil meperlihatkannya. "Matanya bisa hidup, Ultraman."

            Agam menekan tombol on lalu matanya berkelap kelip.

            "Keren ya, kayak Ultraman sungguhan." Kata indra.

            "Hehe. "

            Mereka mulai berbincang tentang banyak hal. Terutama daerah apa saja yang pernah dikunjungi di Aceh. Agam orangnya belum terlalu sering bepergian. Daerah yang di datangi hanya Aceh Besar dan banda Aceh saja. Sedangkan Indra, ayahnya adalah seorang pegawai negeri di kelurahan yang memiliki kegiatan banyak keluar kota. Ia sering diajak ayahnya ikut dinas. Jadi dia telah mendatangi sebagian Aceh, mulai dari Sigli, Takengon, pijay, Meulaboh, Calang, hingga Tamiang. Ia menceritakan pengalamannya ke setiap kota.

            Agam mendengar cerita-cerita dari Indra sambil tersenyum. Ia memang belum pernah mendatangi daerah-daerah itu namun ia bisa membayanginya dari kalimat-kalimat yang diungkapkan Indra.

            Saat mereka asik tertawa-tawa dan bercanda. Seseorang mendorong tubuhnya, ia terjatuh ke sungai.

            Agam sama sekali belum pernah belajar berenang, ia takut dan perlahan-lahan mulai hanyut. "Tolong-tolong teriaknya."

            Indra membuka baju dan langsung ikut melompat. Ia mengejar Agam yang mulai terseret, berhasil menangkapnya lalu membawanya ke pinggir.

            Agam hampir hanyut dan sudah meminum banyak air, ia batuk-batuk. Indra menepuk-nepuk punggung agam agar air yang masuk ke paru-parunya keluar. Di sisi lain sebrang sungai Indra dan Agam dapat melihat pelakunya, itu Lukman dan teman-temannya. Mereka hanya tertawa-tawa di sana..

            Lukman mengambil batu di tanah lalu melemparnya ke Agam, namun sayang itu mengenai Indra.

            "Awas saja mereka" kata Indra. Indra dengan kondisi telanjang dada dan basah-basahan mengejar Lukman dan teman-temannya, ia melintasi jembatan dan mencoba mengejar Lukman yang hendak kabur.

            Lukman berlari namun kalah cepat, tangan Indra terlebih dahulu mencengkram kerah bajunya, Lukman terjatuh. Melihat bos mereka terjatuh, Ayon dan Dede berhenti. Lalu menendang bokong Indra, Indra kini terjatuh.

            "Banci beraninya keroyokan." Kata Indra. Namun ia bukan Agam, ia bukan anak penakut. Ia memberikan satu pukulan keras ke wajah Lukman, sampai bibir lukman lecet dan berdarah. Lukman jadi panas, ia menyerang Indra beserta anak buahnya. Mereka keroyokan. Seberani apapun Indra, ia kalah jumlah, dan mulai terdesak. Lalu mulai mencoba mencari celah untuk kabur. Namun satu batu mengenai kepala Lukman, itu lemparan dari Agam.

            "Mulai berani ya kau anak bodoh, banci."

            Agam mulai membantu Indra. Agam mencoba menahan rasa sakit setiap pukulan dan tendangannya mengenainya. Air matanya keluar, namun ia laki-laki, bukan anak yang cengeng.

            Setelah terdesak, Lukman dan gengnya merasa kalah lalu kabur.  Dengan berdarah-darah kami berpelukan lalu tertawa. Inikah rasanya berantam? Luar biasa. Rasa sakit tidak lagi terasa saat mereka menang. Mereka jawaranya kali ini.

            Sesuatu kini Agam sadari, ia tidak memegang mainannya. "Mungkin masih disana." Kata indra. Mereka melihat di tempat awal mereka duduk, syukurlah masih disana.

            Indra pun izin pulang untuk membersihkan lukanya. Mereka berpisah lalu agam pulang untuk menceritakan kisah heroiknya kepada Bundanya, ia yakin Bundanya pasti bangga kalau anaknya sekarang bukan bocah lagi, anaknya mulai beranjak remaja.

            Di perjalanan pulang Agam memegang pipinya yang bengkak. Namun ada yang disayangkan, ia ditahan oleh seseorang. Lukman menghadang jalannya, tidak bersama gengnya kali ini, bersama seseorang yang wajahnya tampak mirip dengannya, dan berfisik lebih besar, mungkinkah itu abangnya?

            Satu pukulan mendarat. Agam seketika pingsan.

            ****

            Ia terbangun di kandang ayam dengan posisi terikat.

            Pandangannya masih kabur dan kepalanya masih pusing, ia melihat Lukman disitu berdiri dengan badan bekas luka. "Bagaimana pukulan abangku? Enak?" katanya tertawa.

            "Pengecut."

            "Apa?"

            "Pengecut!."

            "Bilang sekali lagi kutinju kau"

            "Pengecut!." Ia berteriak keras.

            Lukman memukulnya. "Anak bodoh jangan sok kau ya. Kau itu orang paling bodoh disekolah, kau tidak bisa membaca."

            Agam hanya diam.

            "kelas 4 belum bisa baca? Kamu punya otak gak? Hah?"

            Agam masih bisa menahan rasa sakit ketika berantam tadi, ia juga masih bisa menahan rasa sakit menahan memar di badannya, tapi sulit baginya untuk menahan penghinaan. Ia tau dirinya memang bodoh, dan ia sadar dirinya memalukan. Belum bisa baca di kelas 4, sedangkan teman-temannya sudah mulai berlatih untuk membuat puisi.

            Agam kembali teringat ayahnya, kembali teringat sekolahnya dulu. Ia mencoba menahan tangis namun tidak bisa. Baru 3 minggu mereka pindah kesini dan masalah terus bermunculan. Ia benci keadaan ini, kenapa mereka harus pindah ke Indrapuri meninggalkan kehidupan indah di Empetrieng? Air mata membahasi matanya sedangkan pikirannya terus mengingat-ngigat, ia membayangkan menendang bola, ketika bermain di bekas sawah desa Empetrieng. Semuanya terlalu menyesakkan.

            Lalu abangnya Lukman masuk tanpa memakai baju. Di dadanya terdapat tato. "Kamu ya yang memukul adikku." Tangannya memegang kerah Agam.

            Agam terdiam ia bingung harus menjawab apa, sosok di depannya benar-benar menakutinya.

            "Enyah dari desa ini sekarang juga, kalau kulihat wajahmu lagi "tangannya mengambil pisau yang tersangkut di pinggangnya. Itu membuat Agam sangat syok, seseorang berencana untuk membunuhnya.

            Memang itu cuma ancaman, namun dipikiran anak-anak seperti Agam, itu merupakan ultimatum serius. Ia tidak akan pernah berani untuk muncul lagi di depan Lukman dan abangnya, terutama disekolah. Sejenak ia merasa ia harus pergi dari kampung dan desa ini untuk menyelamatkan diri.

*****

            Ketika di rumah ia menangis dan meminta pindah sekolah oleh Ibunya. Mutia tidak tau menjawab apa, ia heran mengapa anaknya berlumuran darah seperti ini. Namun melihat permintaan Agam ia tau bahwa anaknya bertengkar dengan temannya. "Ya Allah Agam kenapa kamu begini" katanya sambil mengompres memar di tubuh anaknya, air matanya terus jatuh.

            Nenek yang melihat itu juga ikut terkejut, dan hanya bisa menasehatinya. Namun agam tetap diam. Sampai lukanya telah habis dibersihkan. Agam masuk kamar. Namun ia tidak mengucapkan apa-apa.

            Mutia tidak tau mau mengadu ke siapa, ia tidak punya suami. Mengadu ke ibunya yang sudah terlalu tua juga bukan hal baik. Ia menangis di atas sujudnya saat shalat Magrib. "Cobaan apa lagi ya Allah untuk keluarga ini."

            Namun ada hal yang tidak ia sadari bahwa kejadian itu adalah trauma psikis kedua terhadap Agam. Yang  membuat Agam tidak tampak lagi esok paginya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun