Pada dasarnya setiap orang bisa membangun apa saja di tanah pribadi selama mendapatkan izin mendirikan bangunan.
Meskipun demikian pendirian patung apalagi terkait ritual keagamaan harus sensitif dengan kondisi masyarakat di sekitarnya.
Di zaman Suharto etnik tionghoa tak diizinkan untuk menggunakan nama Cina, Â dan menggunakan alfabet Cina dengan tujuan agar etnik tionghoa melebur kedalam bangsa Indonesia. Â Paska reformasi oleh Gus Dur larangan ini dicabut dan bahkan etnik Tionghoa membangun patung dewa berukuran 30 meter di Tuban, Â mengalahkan semua patung pahlawan nasional yang ada di seluruh Indonesia. Â Dimana bisa ditemukan patung Jendral Sudirman berukuran lebih dari 10 meter, Â bahkan patung proklamator di Jakarta pun tak mencapai ukuran 30 meter.
Etnik tionghoa di Tuban meskipun punya kekuatan ekonomi besar selayaknya tak perlu mendirikan patung dengan ukuran sebesar itu. Â Dewa Cina kekuatannya tak tergantung kepada ukuran patung. Â
Patung besar seperti itu bisa menjadi landmark dan mungkin saja ada yg usulkan menjadi ciri khas kota Tuban, Â padahal simbol itu tak merefleksikan semua komponen dan etnik yang ada di kota Tuban. Patung ini bisa hanya menjadi simbol arogansi kelompok masyarakat atau etnik tertentu dan hanya membuat cita-cita pembauran makin jauh dari harapan.