Mohon tunggu...
shahira mutiara rizky
shahira mutiara rizky Mohon Tunggu... Mahasiswa Hukum Tata Negara UIN Sunang Gunung Djati Bandung

mahasiswa aktif semster 6

Selanjutnya

Tutup

Politik

Dari Puritanisme ke Moderasi: Evolusi pemikiran dan Gerakan persatuan Islam (PERSIS)

5 Mei 2025   15:21 Diperbarui: 5 Mei 2025   15:26 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Persatuan Islam (Persis) merupakan organisasi keagamaan reformis yang sejak awal berdirinya pada 12 September 1923 di Bandung oleh H. Zamzam dan Muhammad Yunus, telah menunjukkan orientasi tajdid (pembaruan) dalam ajaran Islam berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah. Dalam lintasan sejarahnya, Persis tampil sebagai respon terhadap tantangan modernitas dan kolonialisme, dengan tokoh-tokoh utama seperti A. Hassan yang memainkan peran sentral dalam membentuk arah gerakan ini.

Dari sisi struktur, Persis mengadopsi model organisasi yang hierarkis dan sentralistik di bawah komando Ketua Umum. Struktur ini memungkinkan komunikasi yang efektif, baik vertikal maupun horizontal. Persis menggambarkan dirinya sebagai “bunyan marsus” atau bangunan kokoh yang merepresentasikan tatanan Islam ideal. Kepemimpinan di dalam Persis tidak hanya mengandalkan otoritas formal, tetapi juga kharisma individu, sebagaimana diilustrasikan oleh figur-figur seperti M. Natsir dan A. Hassan. Ini merefleksikan konsep Max Weber mengenai perpaduan otoritas kharismatik dan birokratis.

Secara internal, nilai-nilai organisasi diinternalisasi secara kuat oleh anggotanya. Bukan sekadar kepatuhan terhadap aturan, melainkan juga menjadikan nilai-nilai tersebut sebagai pedoman hidup sehari-hari. Dalam perspektif teori AGIL oleh Talcott Parsons, Persis menunjukkan kemampuan dalam menjalankan empat fungsi sistem sosial: adaptasi, pencapaian tujuan, integrasi, dan pelestarian nilai.

Persis juga memiliki sistem hukum internal berupa “Qanun Asasi” dan “Qanun Dakhili” yang berfungsi sebagai pedoman administratif dan religius bagi anggotanya. Aturan ini turut membentuk perilaku dan kepribadian keagamaan anggotanya, sesuai dengan teori sosiologis tentang peran norma dalam pembentukan identitas individu.

Meskipun berakar pada pemahaman Islam puritan, Persis menunjukkan kemampuan adaptif terhadap pengaruh globalisasi dan budaya lokal melalui seleksi budaya, dialog, dan kolaborasi. Hal ini menunjukkan semangat “Islam pribumi” yang berupaya menyelaraskan nilai-nilai universal Islam dengan konteks lokal Indonesia.

Dalam konteks perubahan sosial, Persis menunjukkan transformasi yang signifikan. Dulu dikenal sebagai organisasi eksklusif dan konservatif, kini Persis membuka diri secara sosial dan institusional tanpa meninggalkan prinsip dasar keagamaannya. Faktor pendorong utama transformasi ini adalah kondisi sosial dan geografis, khususnya urbanisasi, yang mengubah pola relasi sosial dari berbasis kekerabatan menjadi berbasis kesamaan nilai dan minat.

Penerimaan Persis terhadap Pancasila sebagai asas tunggal adalah contoh konkret dari sikap adaptif dan pragmatis, demi menjaga eksistensi dan relevansi dalam tatanan politik nasional. Hal ini selaras dengan visi tajdid dan semangat ijtihad yang membuka ruang bagi fleksibilitas dalam interpretasi ajaran Islam sesuai realitas zaman.

Upaya membangun citra positif di ruang publik dilakukan melalui strategi komunikasi yang melibatkan keteladanan, program sosial, dan kolaborasi antarorganisasi Islam. Pendekatan dakwah lintas budaya juga diterapkan agar pesan-pesan Islam lebih mudah diterima dalam masyarakat yang beragam. Keterlibatan aktif dalam lembaga-lembaga seperti MUI dan forum pesantren memperkuat posisi Persis sebagai aktor penting dalam percaturan keagamaan nasional.

Perubahan pandangan Persis terhadap simbol-simbol kenegaraan, seperti penerimaan terhadap penghormatan bendera, menunjukkan kematangan teologis dan reinterpretasi ajaran yang lebih moderat. Ini menunjukkan kemajuan pemikiran yang mengakomodasi konteks kewarganegaraan tanpa menanggalkan prinsip tauhid.

Salah satu aspek krusial dalam transformasi ini adalah pergeseran pemahaman terhadap moderasi beragama (wasathiyah). Jika dahulu Persis cenderung menolak konsep ini karena dianggap sebagai produk sosial, kini mereka mengakui akar Qur'ani dari konsep moderasi, terutama merujuk pada istilah ummatan wasatan dalam Surah Al-Baqarah. Ini mengindikasikan adanya ketegangan namun juga dialog produktif antara sumber normatif dan realitas sosial.

Persis kini memaknai moderasi sebagai keseimbangan, keadilan, dan jalan tengah dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat. Meskipun berpegang teguh pada Al-Qur’an dan Sunnah, mereka tetap membuka ruang ijtihad dan pemikiran kontekstual. Pandangan ini menegaskan bahwa konservatisme tidak harus berlawanan dengan inklusivitas atau keterbukaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun