Menjadi janda di usia belia bukan suatu hal yang mengherankan. Banyak yang mereka alami sebagai bagian dari kebiasaan, kurang pengetahuan dan wawasan.
Bi Ani bercerita, ada seorang pemuda kaya jatuh hati padanya ketika usianya 14 tahun. Ia yang ketika itu sedang suka dengan lawan jenis langsung mengiyakan ajakan menikah pemuda itu, tanpa pikir panjang. Orang tuanya pun yang memang dari keluarga tidak mampu merasa senang kalau ada pemuda kaya yang mau memperistri agar kehidupan anaknya lebih baik. Selesai Sekolah Dasar, orang tuanya pun tak memiliki cukup biaya untuk menyekolahkan anaknya ke tingkat yang lebih tinggi.Â
Pernikahan pertamanya hanya bertahan 3 bulan. Dispisahkan oleh kedua orang tua suaminya karena merasa tidak sepadan. Sampai harus mencari cara tidak baik agar suaminya tidak suka lagi dengannya, tak mau lagi menyentuhnya. Ia berubah dalam waktu sekejap. Cinta yang pernah ia berikan sejak dekat sampai menikah, tak ada lagi tersisa.
Pernikahannya hanya bertahan 3 bulan. Berpisah menjadi pilihannya karena keluarganya selalu mencampuri urusan mereka. Anak belia yang menikah tentu tidak cukup kemampuan untuk memperbaikinya. Menerimanya menjadi hal yang bisa dilakukannya. Hanya sekali berhubungan suami istri, ia tak pernah disentuh lagi.
Tak selang lama setelah perceraian yang tak mendapatkan keturunan itu, ia menikah dengan tetangganya. Hanya berselang beberapa rumah. Trauma pernikahan sebelumnya, membuatnya tak ingin gagal lagi. Ia merasa beruntung karena ada pemuda lajang yang mau menikahinya dengan statusnya sebagai janda. Kedua orang tuanya lega karena anaknya ada yang mau menikahi selain juga mengurangi beban keluarga untuk menghidupi.Â
Sejak kecil Bi Ani sudah biasa bekerja untuk bisa hidup. Enam bersaudara dengan kakak tertua seorang yang memiliki keterbelakangan mental membuat orang tuanya semakin sulit untuk memenuhi kebutuhan anak-anaknya. Ia sudah ikut kakaknya menjadi buruh panen padi sejak kelas 4 SD. Saat lulus SD, orang tuanya tidak sanggup lagi menyekolahkan sampai jenjang yang lebih tinggi. Keadaan memaksanya untuk merelakan anak gadisnya menikah muda untuk mengurangi beban keluarga saat ada orang yang mau memperistrinya.
Apalagi kalau dinikahi oleh ahli agama, mereka bahkan rela untuk melepaskan putrinya menjadi istri kedua. Merasa derajatnya naik ketika bisa memiliki keluarga dari kalangan Ustadz. Namun, meski bukan dari kalangan yang dianggap ahli agama, tapi Bi Ani diperistri laki-laki yang baik di mata orang kampung.Â
Pernikahan yang berjalan 18 tahun dengan 2 anak itu ternyata bukan pernikahan yang bahagia. Banyak cobaan dialaminya. Suami yang tak pernah membiarkannya terlihat cantik di depan orang, tak pernah membiarkannya menggunakan baju yang terlihat bagus, cemburu yang berlebihan membuatnya ingin istrinya tetap ada di rumah, tak boleh banyak keluar agar tidak dilihat banyak orang. Pernah Bi Ani ingin menggunakan body lotion dan lipstrik, semua dibuang oleh suaminya.Â
Bi Ani tak pernah tepenuhi tangki cintanya oleh suaminya. Tak Ada sekedar pujian, tak ada sekedar perhatian, bahkan nafkah pun semaunya memberikan. Bi Ani tetap bekerja untuk mencukupi kebutuhan keluarganya hingga sawah dan kebun milik orang tuanya ikut terjual. Saat sudah tak ada lagi cadangan tanah yang bisa dijual, suaminya yang kerja ke luar daerah kadang tidak mengirim uang dan ternyata berselingkuh dengan wanita lain. Bi Ani berontak. Ditambah ketika ia mendalami agama, berusaha menutup aurat dengan kaffah, tapi sampai rumah selalu dijadikan bahan pembicaraan suaminya sendiri. Dianggap tidak sesuai cara berpakaian dengan kelakuan di rumah.Â
Berpuluh tahun diperlakukan seperti itu, ia mulai berontak. Masa remaja yang belum tuntas dengan emosinya, tak mudah baginya mengambil keputusan. Apalagi pernah bercerai, ia tak ingin rumah tangganya gagal untuk kedua kali juga tidak adanya dukungan orang di sekitar yang bisa memberi nasehat dan jalan keluar. Sampai tiba saatnya Bi Ani meminta berpisah dari suaminya. Meski suaminya memohon untuk tidak meninggalkannya, suaminya memintanya untuk tetap bisa bersama sampai mencium kakinya. Namun, hati Bi Ani sudah tertutup rapat. Jangankan rasa sayang, peduli pun sudah hilang padanya. Bukan benci, tapi tak peduli. Begitu ia tak pernah diperlakukan sayang oleh suaminya, hatinya seperti sudah membatu. Ia pernah membuka hijan saat keluar rumah sebagai bentuk pemberontakan pada suaminya yang terus mencecarnya kalau penampilannya tak seperti seharusnya ketika seorang tampil syar'i berpenampilan. Â