Mohon tunggu...
Shada Saphira
Shada Saphira Mohon Tunggu... Mahasiswa - Perempuan

Seorang mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Nature

Terbelenggu Manusia, di Manakah Kebebasan Mereka?

9 Mei 2021   13:29 Diperbarui: 9 Mei 2021   13:55 244
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

Baru-baru ini, Lucinta Luna dan teman-temannya dikecam oleh warganet setelah mengunggah video dirinya dan beberapa temannya menunggangi salah satu mamalia laut yaitu lumba-lumba. Perlakuannya tersebut menuai kontroversi dan kritik dari berbagai kalangan, bahkan mendapatkan sindiran dari mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Indonesia yaitu Susi Pudjiastuti. Tindakan Lucinta dengan teman-temannya ini merupakan bentuk eksploitasi hewan yang tidak dapat dibenarkan. Walaupun sudah melakukan permintaan maaf pada akun instagramnya, kejadian ini menunjukkan bahwa eksploitasi satwa di Indonesia masih menjadi hal yang harus diperhatikan lebih lanjut.

Berbicara tentang eksploitasi hewan, tentunya kita harus mengetahui terlebih dahulu apakah eksploitasi hewan itu? Eksploitasi terhadap hewan merupakan salah satu pemanfaatan hewan untuk mendapatkan keuntungan atau kesenangan pribadi tanpa memperhatikan dampak yang ditimbulkan bagi hewan tersebut. Bentuk eksploitasi hewan ini masih marak terjadi di Indonesia dan merupakan suatu hal yang memprihatinkan, karena sudah menjadi rahasia umum bahwa ada ratusan bahkan ribuan hewan yang dieksploitasi oleh manusia.

Salah satu bentuk nyata adanya eksploitasi hewan dapat kita lihat pada taman satwa. Seperti yang kita ketahui, seluruh taman satwa pada umumnya mengadakan pertunjukan-pertunjukan satwa mereka. Pertanyaannya adalah apakah dibalik pertunjukan satwa tersebut luput dari kata eksploitasi itu sendiri, dalam tanda kutip tidak melanggar hak hidup para satwa?

Kenyataan yang ada menjawab bahwa dalam proses pertunjukan-pertunjukan satwa ini masih banyak oknum yang melanggar hak hidup para satwa. Kita tidak boleh menutup mata bahwa dalam proses pertunjukan satwa itu sendiri tidak luput dari pemberian rasa sakit, takut, dan lapar kepada satwa karena ketiga hal inilah yang membuat mereka dapat dikendalikan sehingga bisa melakukan pertunjukan sebagaimana kehendak manusia.

Untuk melakukan pertunjukan, hewan akan dipaksa membuat gerakan tertentu yang dapat membuat otot, sendi, atau tulang mereka cedera. Hewan berkaki empat seperti gajah atau beruang misalnya, mereka dilatih untuk berdiri bertumpu kaki belakang atau bahkan menyeimbangkan diri dengan satu kaki. Hewan pertunjukan yang seharusnya dapat hidup bebas harus terbelenggu dalam kurungan besi yang membatasi pergerakan mereka. Parahnya lagi beberapa dari mereka harus mengenakan ratai yang terkadang membuat mereka hanya dapat melakukan sedikit pergerakan atau bahkan tidak sama sekali.

Terkhusus satwa akuatik, mereka yang akan ditawan dalam kolam, tangki, atau akuarium juga tak luput dari penyiksaan. Dalam penangkaran untuk sirkus dipaksa hidup di akuarium yang terkadang tidak memperhatikan standar yang layak bagi satwa, dimana akuarium yang dibuat cenderung sempit dan berklorin. Dengan begitu, banyak mamalia laut mengalami stres karena suara sonar yang mereka kirimkan malah berbalik.

Walaupun bentuk eksploitasi terhadap hewan beserta sederetan kasusnya sudah menjadi rahasia umum, banyak pihak menolak penutupan kegiatan pertunjukan hewan tersebut dengan dalih edukasi pada masyarakat. Cara pandang masyarakat inilah yang menjadi tolak ukur dari perubahan itu sendiri. Bila masyarakat masih memandang beranggapan demikian harapan untuk hidup bebas tanpa tekanan satwa – satwa ini hanya akan selalu menjadi harapan dan bukan kenyataan.

Lantas apa yang bisa kita lakukan untuk bentuk eksploitasi hewan ini? Pertama – tama perlu adanya peraturan dan realisasi yang benar terkait larangan eksploitasi hewan. Contohnya dalam kasus lumba – lumba itu sendiri, dimana Indonesia sebenarnya sudah melarang adanya sirkus lumba-lumba sejak 5 Februari 2020. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia memutuskan untuk tidak memperpanjang izin pertunjukkan lumba-lumba keliling, karena banyaknya petisi dari beberapa lembaga. Direktur Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem, Indra Exploitasia, menyatakan dalam suratnya bahwa pertunjukan lumba-lumba hanya boleh dilakukan di lembaga konservasi.

Selain membuat peraturan, hal terpenting untuk memberantas kasus eksploitasi hewan adalah kita masyarakat harus sadar bahwa metode pertunjukan hewan atau sirkus ini sama sekali tidak memiliki nilai edukasi. Dengan mempertontonkan pertunjukan hewan kepada anak, bukan edukasi yang mereka dapatkan tetapi hiburan semata yang dapat membangun pola pikir bahwa para satwa hanya sebuah tontonan dan tidak menimbulkan rasa kepedulian anak kepada satwa itu sendiri.

Disinilah kita sebagai masyarakat juga harus berperan aktif dalam mengedukasi orang lain tentang mengapa pertunjukan hewan itu kejam dan tidak layak untuk dipertahankan. Semakin banyak orang yang mengubah pola pikir dan pandangannya, semakin mudah untuk melakukan tindakan untuk memberhentikan eksploitasi kepada hewan.

Kita juga harus membangun sikap peduli lingkungan sekitar kita, dimana saat melihat kasus serupa disekitar kita juga harus segera melapor ke pihak yang berwenang, agar para pelaku eksploitasi hewan tersebut diberi sanksi yang pantas. Kita juga dapat mengikuti komunitas pecinta hewan untuk menambah pengetahuan tentang permasalahan hewan lainnya untuk melindungi satwa dari kekejaman manusia.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun