Mohon tunggu...
Shabrina M Yamazhie
Shabrina M Yamazhie Mohon Tunggu... -

Jakaruta kokuritsu daigaku no nihongo gakka. shosetsuka ni naritai. shabrinamunaw.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ayah, Ibu, Sampai Bertemu di Surga, Ya!

15 Juni 2013   22:28 Diperbarui: 24 Juni 2015   11:58 280
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pukul 7 pagi Nadine merasa tubuhnya semakin menggigil. Suhu tubuhnya masih di atas normal setelah seminggu lamanya tak kunjung sembuh. Bibirnya pecah-pecah, mukanya pucat pasi seperti mayat hidup. Tubuhnya sudah kurus seperti anak kurang gizi. Selimut tebal pun tak mampu membuat tubuhnya hangat. Segala macam obat-obat dokter tak mempan untuknya.

Bocah 9 tahun ini hidup dengan Kakek dan Mbok Minah, pembantu yang sudah lebih dari sepuluh tahun bekerja di rumah Tuan Bagas, pengusaha tekstil sukses sekaligus orang terpandang. Setelah kepergian Neneknya sebulan yang lalu, semua keperluan Nadine diurus Mbok Minah.

Ayahnya dimasukkan ke Pesantren karena hobinya yang sering mabuk-mabukan dan hanya menghabiskan harta orang tuanya. Sedangkan Ibunya, bekerja di Kalimantan. Mereka sudah setahun bercerai. Setelah bercerai, Ibunya langsung pergi ke Kalimantan dan tak pernah datang mengunjungi Nadine. Hanya mainan dan uangnya saja yang tiba.

“Nadine kangen pengin nyamperin Nenek.” Entah sadar atau tidak, kata-kata ngaco itu terus keluar dari mulutnya. Dia juga pernah bertingkah aneh dengan memanjat pohon mangga di pekarangan rumahnya. Sempat dimarahi oleh Mbok tapi tetap saja kemauan Nadine tidak bisa dihalangi. “Biar aja Nadine manjat. Itu ada Nenek lambai-lambai diatas pohon. Nadine mau nyamperin Nenek.” Siapa yang bulu kuduknya tidak merinding mendengar bocah berbicara seperti itu.

Pukul 9 pagi Nadine dibawa ke rumah sakit oleh Mbok dan Tardi, tukang bersih-bersih rumput di rumah Tuan Bagas.

“Ke mana bapaknya?” tanya Dokter yang keluar dari kamar periksa dengan wajah tanpa ekspresi.

“Hmm… Bapaknya gak ada, Dok.” jawab Tardi gugup.

“Anda siapanya?”

“Saya cuma kuli doang, Dok.”

“Bagaimana keadaannya, Dok?” tanya Mbok dengan wajah cemas sambil mengepalkan kedua tangannya.

“Innalillahi, maaf, pasien sudah pergi sebelum tiba di rumah sakit. Seandainya kalian lebih cepat mengantarnya ke sini, mungkin saya bisa membantunya. Sekali lagi saya minta maaf.”

“Apa?” Mbok terkejut. Suaranya membuat semua yang ada disekitarnya menoleh kearahnya. Kemudian Mbok berteriak histeris diikuti dengan cucuran air matanya.

Tardi hanya bengong tak bisa berkata-kata.

“Mbak Nadine…. Maafin Mbok yah, Nak… Selama ini Mbok suka marahin kamu, Nak. Mbok suka mukulin kamu kalo kamu gak nurut sama Mbok…” Mbok terisak sambil meninju tembok.

“Mbok sabar Mbok. Istighfar! Mendingan kita cepet-cepet kasih kabar ke Tuan.” ujar Tardi sambil menuntun Mbok untuk duduk.

Setengah jam kemudian, Tuan Bagas dan Tante Ami tiba di rumah sakit dan langsung menuju rumah duka untuk mempersiapkan segala keperluan untuk pemakaman. Seluruh keluarga dihubungi untuk segera datang begitu juga dengan Ayah dan Ibunya. Kabar kepergian Nadine membuat semua orang kaget tidak percaya. Bagaimana tidak, belum genap dua bulan sang Nenek meninggal dan kali ini cucunya ikut menyusul.

Para pelayat sudah berkumpul di ruang tamu rumah Tuan Bagas. Ruang tamu itu biasanya dipakai hanya untuk menyambut tamu-tamu penting saja. Mereka duduk bersila mengelilingi jenazah sambil membacakan doa-doa untuknya. Ada yang menangis ada pula yang masih tidak percaya karena baru saja kemarin sore Nadine masih bermain-main dengan bocah-bocah tetangganya.

“Mi, si Nella udah dihubungin?” tanya Tante Dira kepada Tante Ami.

“Udah kok. Dari Kalimantan dia langsung menuju ke sini. Dia dapet tiket jam 4 sore. Jadwal yang lebih awal udah habis.”

“Berarti kira-kira dia tiba di sini sekitar abis maghrib.”

“Doain aja semoga gak macet.” sahut Om Eko.

“Si Ardan gimana, Ko? Orang pesantren udah dihubungin?”

“Udah, Mbak. Aku nitip pesen ke orang pesantren jangan kasih tau kenapa tiba-tiba dia disuruh pulang. Nanti mereka anter Ardi ke sini kok.”

“Syukur deh. Tinggal tunggu si Nella aja nih.”

“Pokoknya malem ini juga Nadine harus dikubur. Sebelum maghrib, Nadine udah harus dimandiin. Pas Nella dateng, langsung kita ke pemakaman.” pinta Tuan Bagas.

“Tapi pemakaman paling malem sampe jam 5, Pak.” jawab Tante Dira.

“Terus harus nunggu besok pagi, gitu? Kasian Nadine. Jenazah harus buru-buru dikubur. Liat tuh badannya udah berubah jadi warna biru begitu. Dosa kita sebagai keluarga gak cepat-cepat nguburin dia.”

“Tapi…” gumam Om Eko.

“Gak ada tapi-tapian. Kalian urus semua masalah pemakamannya. Bayar tukang gali kuburnya! Kalo ada uang, pasti mereka mau kerja kok. Kasih aja 2 kali lipat dibanding biasanya.” Titah Tuan Bagas.

Tante Dira, Tante Ami dan Om Eko hanya mengangguk. Mereka tidak berani berkata tidak.

Semua kolega bisnis dan tamu-tamu penting Tuan Bagas mulai berdatangan. Ada pula  yang tidak hadir tetapi mengirimkan karangan bunga.

“Kasian anak itu.” kata salah satu kolega bisnis Tuan Bagas.

“Dia ingin ikut dengan Neneknya, Bu.” jawab Tuan Bagas yang matanya merah menahan tangis. Mungkin beliau tidak ingin terlihat sedih di depan tamu-tamu penting.

“Bapaknya gak ada. Mamanya juga gak tau di mana. Kasian, Nadine pasti masuk surga.” kata ibu-ibu yang duduk disudut ruang tamu.

“Iya, kasian dia kurang kasih sayang dari orang tuanya. Tante sama Omnya juga orang sibuk, Kakeknya juga begitu. Makanya Allah ambil dia kembali dari pada dia terlantar.” tambah ibu-ibu disebelahnya.

Pukul 2 sore Ardan tiba di rumah duka. Dia heran melihat banyak mobil terparkir dan orang-orang di rumahnya. Mereka semua menatap Ardan. Tuan Bagas dan Mas Eko menyambutnya di muka rumah.

“Ada apa ini, Pak? Mas?” tanyanya kepada Tuan Bagas dan Om Eko.

Tuan Bagas tak menjawab. Matanya mengarah ke ruang tamu.

“Masuk aja, Dan!” Om Eko menuntunnya menuju ruang tamu.

Ardan merasa tungkainya lemas. Dia tidak kuat berjalan menuju ruang tamu. Semua orang menatapnya. “Ada apa ini?” tanyanya dalam hati. Sekarang telapak tangannya dingin dan bergetar. Dia berdiri dihadapan jenazah lalu mendekati jenazah yang mukanya ditutup kain dan terbujur kaku. Dia membuka kain yang menutupi wajah jenazah.

“Nadine? Astaghfirullah!” cepat-cepat Ardan menutup mukanya.

“Yang sabar yah, Dan.” kata Tante Dira sambil mengelus-elus pundak adiknya.

“Kenapa Nadine bisa begini, Mbak?” tanyanya dengan suara keras. Air matanya mengalir. Sudah lama ia tidak menangis setelah kematian Ibunya.

“Dia sakit sudah seminggu yang lalu, Nak.” jawab Tuan Bagas. “Maafin Bapak karena gak bisa jagain anak kamu.” dia menunduk dan menyeka air matanya.

Ardan mendekati Nadine. Dia cium pipi anaknya berkali-kali sambil berbisik lirih. “Maafin Ayah yah, Nak. Selama ini Ayah belum bisa bikin bahagia kamu dan Ibu. Ayah sayang sama kamu, Nak. Maafin Ayah dan Ibu.” kemudian dia menggenggam erat tangan Nadine. Ardan langsung mengambil air wudhu dan membaca Yasin di depan jenazah Nadine. Dia terus memandangi Nadine. Tidak percaya anaknya begitu cepat pergi.

Pukul 17.30 Nadine sudah dikafani. Tercium wangi bunga-bunga yang dironce ibu-ibu tetangga tadi siang. Tubuhnya sudah berwarna biru. Anehnya, wajahnya terlihat cerah dan mukanya seperti anak umur 12 tahun.

“Manis sekali senyumnya.” kata Ardan yang terus saja memandangi anaknya tanpa beranjak sejengkal pun.

“Dia pasti masuk surga. Seharusnya kamu bersyukur, Dan, anakmu akan jadi penolongmu ketika kamu meninggal nanti. Dia bocah yang belum punya dosa. Dia pasti disayang Allah.” tambah Tante Ami.

“Amin… Oh ya, Mbak, Nella udah dihubungin?”

“Udah kok. Abis maghrib dia sampe kok, Dan.”

“Oh, bagus deh.”

Pukul 18.30 Om Eko menghubungi Nella. Katanya, sebentar lagi dia tiba. Dari bandara dia naik taksi tapi karena tol menuju Kemayoran macet, akhirnya dia menumpang ojek. Lima belas menit kemudian, ojek yang mengantar Nella tiba di muka rumah Tuan Bagas. Nella melompat masuk ke dalam rumah. Sandal yang dia pakai pun entah ke mana larinya.

“Nadine anakku…” teriaknya dari teras rumah.

Dengan cepat Tante Ami menangkap tubuh Nella yangh hampir saja pingsan. Dia terisak dipelukan Tante Ami.

“Nadine… Ini Ibu datang, Nak. Bangun, Nak, bangun!! Nadine sakit apa Mbak Ami?” tangisnya histeris sambil mengguncang-guncang tubuh kaku Nadine.

“Sakit panas, Nel.” jawab Tante Ami yang menahan tangisnya.

“Nak, bangun! Ini Ibu datang. Tiga hari lagi kamu kan ulang tahun. Ibu udah siapin kado untuk kamu, Nak. Kenapa kamu sekarang pergi ninggalin Ibu?”

Semua tamu-tamu menangis tersedu-sedu melihat Nella terisak di depan jenazah. Seakan mereka merasakan apa yang Nella rasakan. Ardan pun tak banyak bicara. Ia hanya menunduk sambil menangis dan tak berani melihat wajah Nella.

“Yuk, cepetan! Ini sudah larut malam.” kata Tuan Bagas.

“Kamu cium Nadine dulu yah, Nel. Nadine harus buru-buru dikubur. Insya Allah, dia pasti masuk surga kok.” kata Tante Dira.

Nella mendekati Nadine. Dia cium pipi dan kening anaknya berkali-kali. Sayangnya, Nella tidak bisa berlama-lama karena hari sudah semakin gelap dan Nadine harus dimakamkan malam itu juga. Setelah selesai, para keluarga segera memasukkan Nadine dalam keranda dan ditutup dengan kain berwarna hijau tua dan dikalungkan bunga ronce di atas keranda tersebut.

Nella berdiri dibantu oleh Tante Dira dan Tante Ami. Tubuhnya lemas. Matanya bengkak, mungkin dia sudah menangis sepanjang perjalanan menuju Jakarta.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun