Mohon tunggu...
Shabrina M Yamazhie
Shabrina M Yamazhie Mohon Tunggu... -

Jakaruta kokuritsu daigaku no nihongo gakka. shosetsuka ni naritai. shabrinamunaw.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Makna Hidup dari Bocah Ojek Payung

17 Juni 2013   11:25 Diperbarui: 24 Juni 2015   11:54 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Dua bulan yang lalu, aku dan kedua temanku ingin makan siang. Kali ini makan siangnya bukan di kantin kampus, melainkan disebuah warung makan yang letaknya masih satu komplek dengan kampus. Ketika itu memang gerimis tapi kami bertiga terus saja berjalan tanpa memakai payung. Gerimis pun semakin lama semakin kencang.

Salah satu temanku, Olla, buru-buru mengeluarkan payung dari dalam tasnya. Karena ukuran payung yang tidak memungkinkan untuk menampung 3 orang, akhirnya aku memanggil bocah ojek payung yang sering berkeliaran di kawasan kampus. Kebetulan dia dan teman-temannya sedang bercengkrama di bawah pohon sambil mencipratkan air dan tertawa bersama. Jujur saja aku baru pertama kali menggunakan jasa ojek payung.

Bocah perempuan itu menyerahkan payungnya kepadaku. Dengan santainya dia jalan di tengah hujan tanpa memakai payung. Aku menarik tangannya untuk mendekat dan berjalan beriringan denganku.

“Dek, jangan ujan-ujanan nanti kamu sakit. Sini Kakak payungin aja.” kataku sambil mendekatinya.

“Gak apa-apa kok, Kak.” jawabnya dengan wajah polosnya.

Aku tetap memaksa bocah itu untuk mendekatiku. Aku betul-betul tidak tahu kalau ojek payung itu harus rela hujan-hujanan sedangkan payung miliknya diberi kepada yang membayar jasanya. Tapi tetap saja aku tidak tega melihat bocah perempuan ini hujan-hujanan walaupun kelihatannya bocah itu senang.

Sepanjang jalan menuju warung makan, aku berbincang-bincang dengannya. Aku memang suka dengan anak-anak apalagi anak yang nasibnya kurang beruntung seperti bocah perempuan itu

Namanya Wulan. Kulitnya coklat layaknya anak yang sering panas-panasan di bawah terik matahari. Rambutnya pun pirang. Wulan begitu lugu dan terkesan malu-malu. Dia kelas 1 SD. Sekolahnya khusus anak jalanan di daerah Pulomas Jakarta Timur. Dia anak pertama dari tiga bersaudara. Ibunya pengamen dan Ayahnya pengangguran.

Dia menenteng plastik putih transparan yang berisi kerupuk. Katanya sih untuk bekal kalau-kalau Wulan merasa lapar. Tak tega rasanya melihat anak sekecil itu harus mencari uang demi sesuap nasi, hujan-hujanan pula. Aku membuka tas dan kebetulan ada air mineral bekas minumku.

Kalau tidak musim hujan, Wulan dan teman-teman sebayanya mengamen. Sehabis pulang sekolah mereka ramai-ramai turun ke jalan untuk mencari nafkah. Ironis, umur mereka yang masih sangat belia dihabiskan untuk mencari nafkah sedangkan disisi lain, anak seusia mereka seharusnya menghabiskan hari-harinya dengan bermain dan bersenang-senang.

“Kamu haus gak? Ini minuman Kakak ambil aja.”

“Makasih, Kak.” Wulan meraihnya sambil tersenyum canggung.

“Kamu gak sakit sering ujan-ujanan begini, Dek?”

“Engga kok, Kak. Aku kan udah biasa ujan-ujanan.”

Kasihan, kelihatannya dia kelaparan. Aku tidak enak hati hanya membayar jasanya saja. Tiba di rumah makan, aku berinisiatif mengajaknya untuk masuk dan menyuruhnya memesan makanan. Dia terlihat bingung saat aku memberinya daftar menu.

“Kamu mau makan apa, Lan?”

“Hmm… Aku minum aja deh ka.”

“Kamu gak laper? Gak apa-apa pesen makanan aja. Nasi goreng mau?”

Wulan hanya mengangguk.

Lima belas menit kemudian, pesanan kami datang. Wajahnya Wulan begitu berseri-seri. Mungkin dia jarang sekali makan seenak ini. Mungkin juga cacing-cacing di dalam perutnya sedang bersorak-sorak ria. Tetapi ketika menyantap sesuap, wajahnya tidak berseri seperti tadi. Aku heran, apa mungkin Wulan tidak doyan atau nasi gorengnya terlalu pedas?

“Nasinya pedes yah, Dek?” tanyaku sambil mencicipi nasi gorengnya. “Ah, enggak pedes kok.”

“Nasinya kebanyakan Kak. Kalo dibungkus boleh gak?” jawabnya dengan suara pelan.

“Abisin aja di sini sayang lho kalo dibuang.”

“Aku mau kasih nasinya untuk adek sama Ibu aku, Kak. Pasti mereka di rumah belom makan deh.”

Aku terdiam sejenak mendengar perkataan Wulan barusan. Anak sekecil ini aja mikirin adek sama Ibunya yang belom makan. Sedangkan gue, gue bisa makan apa aja yang gue mau tanpa mikirin orang tua di rumah udah makan atau belom. Kataku dalam hati.

“Oh mau dibungkus? Yaudah kamu makan 2 suap lagi deh abis itu nanti Kakak panggil pelayannya untuk bungkusin nasi kamu.”

Wulan melanjutkan makannya.

Biasanya aku paling lahap jika makan di warung makan itu tetapi kali ini sepertinya nafsu makanku berkurang. Aku memaksa untuk menelan makanan dihadapanku.

Selesai makan, kami balik lagi ke kampus. Aku membayar jasa ojek payung Wulan. Dia berterima kasih dan meninggalkan aku dengan berlari kecil. Aku pun ikut tersenyum melihat wajah berserinya.

Pertemuan yang singkat dengan Wulan membuatku sadar dan berpikir. Bocah kecil seperti Wulan saja rela berjuang demi sesuap nasi. Sedangkan selama ini uang jajan aku belanjakan untuk barang-barang yang tidak bermanfaat dan nongkrong sana-sini bareng teman. Aku tidak pernah berpikir bagaimana susahnya orang tua mencari nafkah untuk keluarga. Walaupun aku dari keluarga mampu, tetap saja uang itu akan habis jika tidak dipergunakan dengan baik. Aku juga tidak pernah membayangkan harus hidup seperti Wulan atau aku yang berganti posisi menjadi Wulan.

Pertemuan singkat namun penuh makna. Makna hidup yang secara tidak langsung Wulan ajarkan kepada diriku. Makna hidup yang tidak pernah diajarkan dibangku sekolah. Makna hidup juga tidak melulu diajarkan dari orang dewasa yang sudah makan asam garamnya hidup tetapi anak kecilpun bisa mengajarkan makna hidup itu.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun