Tradisi tanpa ilmu hanyalah warisan, tetapi dengan ilmu tradisi menjelma menjadi peradaban. Hadirnya Islam ditengah derasnya arus globalisasi terhadap tradisi menjadikan syariat bukanlah tirani yang menghapus identitas dan akar budaya manusia, melainkan rahmat yang mengayomi dan mengharmonisasikan keduanya. Salah satu kaidah fiqh mengatakan bahwa "Perbuatan mayoritas orang menjadi hujah wajib diikuti". Dengan bersandar pada maqhasid syar'i, umat muslim harus mampu menilai dan memfilter setiap tradisi, sebagaimana firman Allah dalam:Â
Artinya: "Jadilah pemaaf, perintahlah (orang-orang) pada yang makruf, dan berpalinglah dari orang-orang bodoh." (QS. Al-A'raf [7]:199)
Rasulullah SAW juga bersabda:
Artinya: "Apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin adalah baik di sisi Allah, dan apa yang dipandang buruk oleh mereka adalah buruk di sisi Allah." (HR. Ahmad)
Dalil-dalil tersebut menjelaskan bahwa Islam tidak menolak keberadaan tradisi yang ma'ruf melainkan memberi ruang bagi tradisi untuk diakomodasi sebagai hukum sekunder yang sejalan dengan kaidah Ushul Fiqh "Adat kebiasaan dapat dijadikan hukum". Â Akan tetapi tradisi tidak cukup diterima saja melainkan harus dianalisis apakah peruntukannya mendukung pada tujuan utama maqashid syariah, yaitu pemeliharaan agama ( ), jiwa ( ), akal ( ), keturunan ( ), dan harta ( ) tanpa menimbulkan mafsadah. Artinya kerangka Ushul Fiqh tidak boleh dipandang sebagai alat untuk relativisme syariat yang melepaskan diri dari nilai-nilai fundamental agama.Â
Sejarah penyebaran Islam oleh Walisongo menjadi bukti relevansi Ushul Fiqh dalam menyikapi tradisi. Melalui pendekatan kultural, para wali tidak serta-merta menghapus tradisi pra-Islam di Nusantara melainkan melakukan proses tanzq al-'urf atau purifikasi adat yang memungkinkan masyarakat tetap mempertahankan identitas budaya mereka namun dalam bingkai tauhid dan akhlak Islami. Sebagaimana Rasulullah tidak menolak seluruh tradisi Arab pra-Islam. Sebagian tradisi yang mengandung nilai moral dan sosial yang baik dipertahankan, seperti haji yang sudah ada sebelumnya tetap dipertahankan namun dimurnikan dari unsur syirik. Sebaliknya, tradisi yang bertentangan dengan syariat seperti penyembahan berhala, riba, dan penguburan bayi perempuan hidup-hidup dihapuskan secara tegas. Hal ini menunjukkan adanya mekanisme seleksi budaya berbasis prinsip syariat.
Sebagai contoh Sunan Kalijaga tidak menghapus tradisi pra-Islam secara total karena berpotensi menimbulkan resistensi sosial dan kehilangan identitas kultural yang berpotensi menghambat penerimaan Islam. Strategi yang digunakan yaitu dengan menggunakan pertunjukan wayang sebagai media dakwah dimana menyisipkan kisah-kisah para nabi dan pesan moral sehingga nilai-nilai islam masuk melalui tradisi masyarakat. Pendekatan ini mencerminkan kaidah "mencegah kerusakan lebih diutamakan daripada menarik kemaslahatan" sekaligus prinsip "fatwa dapat berubah sesuai zaman dan tempat".
Pada era modern, relevansi Ushul Fiqh terhadap tradisi terlihat pada perayaan hari jadi daerah yang sering memuat prosesi budaya lokal seperti arak-arakan dan pertunjukan seni. Namun, sebagian masih mengandung unsur pra-Islam, seperti sesajen atau simbol sinkretis. Kaidah al-'dah muhakkamah mengakui tradisi selama tidak bertentangan dengan akidah dan syariat, sehingga unsur positif seperti silaturahmi dan pelestarian seni dapat dikategorikan sebagai 'urf shahih, sedangkan unsur yang menyalahi tauhid perlu melalui tanzq al-'urf, misalnya mengganti sesajen dengan doa bersama kepada Allah. Rasulullah SAW bersabda "Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka ia termasuk golongan mereka" (HR. Abu Dawud) menjadi panduan batasan, sementara dalil aqli mendukung pelestarian tradisi positif demi identitas daerah, persaudaraan, dan pariwisata halal.
Imam Asy-Syathibi dalam Al-Muwafaqat menjelaskan bahwa maqashid syariah ditetapkan untuk menjaga kemaslahatan hamba di dunia dan akhirat sehingga adat yang selaras dengannya dapat diterima sedangkan yang bertentangan harus dihapus atau diperbaiki. Yusuf al-Qaradawi juga menegaskan prinsip (al-ashlu fil 'adat al-ibahah, asal hukum adat adalah boleh) kecuali jika ada dalil yang mengharamkannya, serta menganjurkan pembenahan dan penyucian adat dari unsur yang bertentangan dengan ruh Islam. Kedua pandangan ini menunjukkan bahwa Islam tidak serta-merta menolak tradisi pra-Islam, melainkan melakukan proses (tanzq al-'urf, purifikasi adat) dengan menghilangkan unsur syirik dan mengisinya dengan nilai-nilai tauhid dan akhlak Islami, sehingga tradisi dapat tetap menjadi identitas budaya yang selaras dengan syariat.
Dalam kehidupan bermasyarakat, tradisi menjadi warisan yang mengikat dan memberi warna pada kehidupan sedangkan ushul fiqh merupakan panduan yang  memastikan warna itu tidak keluar dari koridor syariat. Seorang muslim yang bijak akan memandang adat bukan sekadar kebiasaan turun-temurun melainkan amanah yang harus disaring dengan kaidah hukum Islam. Oleh karena itu, menjaga tradisi yang selaras dengan syariat merupakan bentuk ketaatan dan mengubah atau meninggalkan tradisi yang bertentangan merupakan  bentuk kesetiaan kepada Allah dan Rasul-Nya. Dengan ushul fiqh, agama dan budaya tidak harus berlawanan, justru dapat berpadu untuk melahirkan .Â
Referensi:Â