Kemajuan suatu bangsa tidak bisa dipungkiri amat bergantung pada kemajuan dunia pendidikannya. Hampir enam puluh enam tahun kemerdekaan Indonesia, rasanya-rasanya perkembangan dunia pendidikan berjalan sangat lambat, terutama bila dibandingkan dengan negara-negara tetangga. Pemerintah nampaknya sudah semakin tidak sabar mengejar ketertinggalannya dengan negara-negara tetangga. Hal ini terlihat dari anggaran pendidikan yang mendapat porsi besar dalam belanja negara, serta bongkar pasang kurikulum pendidikan yang nampaknya menjadi agenda tetap setiap kali ada pergantian kabinet pemerintahan. Seiring dengan makin tingginya tuntutan pemerintah akan kemajuan dunia pendidikan Indonesia, maka tentu semakin tinggi pula beban anak didik sekarang ini. Bukan saja tuntutan akan semakin tingginya nilai rata-rata kelulusan, tetapi juga semakin banyaknya jenis pelajaran yang dijejali ke dalam otak anak. Sebagai contoh, sekarang ini sudah sejak kelas satu SD anak sudah mendapat pelajaran bahasa Inggris. Padahal, kemampuan baca tulis bahasa Indonesia anak masih berjuang, meski kemampuan baca tulis bahkan sudah dimiliki sejak Taman Kanak-Kanak. Waktu bermain semakin terenggut untuk belajar. Belum lagi para orang tua yang terkena sindrom kekalangkabutan pemerintah, akan semakin gencar mencari les-les tambahan di luar jam sekolah buat anak-anaknya. Di kota-kota besar, trend home schooling semakin merasuki keluarga-keluarga berada demi mendapat pendidikan yang lebih bermutu bagi anak-anaknya.
Pertanyaannya apakah model pendidikan yang menjejali anak dengan berbagai pengetahuan itu efektif? Efektivitas atau keberhasilan pendidikan tidak bisa diukur dengan melihat kemampuan anak didik menghafal pelbagai informasi yang didapat dari guru, tetapi lebih pada pemahaman akan informasi-informasi tersebut. Anak yang menghafal mengetahui banyak informasi, namun tidak ada jaminan bahwa ia memahami kaitan informasi-informasi tersebut. Sementara model pendidikan yang menjejali anak dengan begitu banyak pelajaran yang harus dikuasai dalam waktu sesingkat-singkatnya memberinya ruang sempit untuk mendalami dan memahami informasi yang ada. Tidak heran bila belajar jarang menjadi aktivitas yang menyenangkan, apalagi menjadi sebuah hobi. Tahap-tahap pendidikan menurut Jean Jacques Rousseau (1712-1778)yang hendak ditampilkan berikut kiranya memberikan sedikit pemikiran alternatif tentang model pendidikan di tengah hingar bingar kurikulum modern saat ini.
Pandangan Rosseau tentang pendidikan diuraikan dalam bukunya yang terbit pada tahun 1762 berjudul Emile ou de l’Education (Emile, atau tentang pendidikan). Dalam karyanya ini, nampak ide revolusiner filsuf Prancis tersebutmengenai pendidikan yang berbeda dengan semangat jamannya saat itu (dan saat ini). Anjurannya yang terkenal kepada para pendidik: “Berbuatlah sebaliknya dari yang menjadi kebiasaan sekarang ini dan hampir selalu anda akan bertindak dengan tepat”.
Pandangan revolusioner Rosseau tentang pendidikan didasarkan atas pandangannya akan kebaikan alam kodrat yang asali. Menurutnya dalam “keadaan primitif” (etat naturel) manusia adalah otonom dan bahagia. Dalam keadaan primitif undang-undang tidak dibutuhkan sebab di dalam hatimanusia sama sekali tidak ada ketidakberesan. Namun oleh kehidupan bersama dalam masyarakat, dan kebudayaan keadaan asali yang sempurna itu tidak ada lagi. Sebagai akibatnya muncullah berbagai kesengsaraan, korupsi, inotentisitas, dan berbagai kelicikan. Manusia lalu menjadi iri hati, egois, dan mulai berperang dengan sesamanya.Untuk keluar dari keadaan liar (etat sauvage) dan masuk pada suatu “jaman baru”,makaorang perlu mengganti metode pendidikan sekarang ini dengan metode pendidikan baru yang dapat mengembalikan beberapahak dalam keadaan primitif dalam keadaan sosial (etat social).
Metode pendidikan bagi anak-anak yangdianjurkan Rousseau adalah metode pendidikan negatif, di mana untuk menjadi manusia berbahagia, anak harus dijauhkan dari kebudayaan. Alam di dalam anak sendiri harus diberi kebebasan untuk berkembang secara bebas. Rousseau mau menekankan suatu bentuk pendidikan yang berkelanjutan, yang melalui tahap-tahapnya secara alamiah, di mana setiap proses dalam tahapan pendidikan perlu disesuaikan secara hati-hati dengan kebutuhan perkembangan setiap individu. Bentuk pendidikan yang bertahap ini, menurut Rousseau, sesuai dengan “kemajuan alamiah hati manusia”. Pendidikan awal pada masa kanak-kanak, menurut Rousseau, cukuplah dibatasi pada pengetahuan sensitif, yang bertujuan untuk mendidik anak-anak agar dapat menggunakan indra-indranya dengan baik. Anak hendaknya dibiarkan untuk belajar sendiri melalui pengalamannya, yaitu melalui tindakan-tindakan mencoba dan kesalahan-kesalahan yang dibuatnya sendiri. Opini umum dipandang Rousseau sebagai tirani yang menghambat seorang anak untuk dapat mengidentifikasikan dirinya. Dengan demikian, anak terisi untuk menjadi dirinya sendiri dan sungguh-sungguh teresap dalam adanya yang aktual. Bakat dalam diri setiap anak pada dasarnya adalah baik dan cukup, karena itu seorang pendidik tidak perlu berbuat banyak tetapi cukuplah ia menjaga si anak dari berbagai pengaruh buruk yang datang dari luar. Seorang pendidik hanya perlu memberi koreksi seperlunya pada tindakan si anak.
Kata-kata yang berhubungan dengan otoritas, ketaatan, memerintah, dan sebagainya harus dihindari, sebab anak memiliki kebutuhannya yang tertentu dan haknya sendiri sebagai suatu ada yang eksis. Bila anak pada tahap awal ini telah dijejali dengan pelbagai perintah dan larangan, maka yang terjadi justru anak akan bertindak sebaliknya. Anak harus diperlakukan sebagai seorang anak, tidak boleh diperlakukan sebagai orang dewasa sebab “alam menghendaki anak untuk menjadi anak sebelum ia menjadi orang dewasa”. Dengan membiarkan anak berkembang secara alamiah maka hasil optimal dapat terjamin. Itu tidak berarti bahwa pendidik atau orangtua harus selalu menyerah pada kemauan si anak. Sebagaimana pendapat umum, Rousseau juga berpendirian bahwa ada batas untuk kekejaman dan ada pula batas untuk permisivitas. Bahkan, menurutnya, hal yang paling pasti membuat seorang anak tidak berbahagia adalah “membiarkan dia untuk menghendaki segala-galanya sebagai miliknya”.
Setelah melewati pendidikan sensitif yang diperoleh melalui indra-indra, barulah pada usia lima belas tahun anak diberikan pendidikan akal budi. Pendidikan akal budi ini lebih bersifat merangsang kemampuan/energi potensial yang sebenarnya sudah ada dalam diri anak namun belum dibangkitkannya. Tugas seorang pendidik pada fase ini adalah menyadarkan anak akan potensi-potensi tersebut sehingga dapat dimanfaatkan secara efektif. Pendidik hendaknya merangsang anak agar bersemangat mengadakan penelitian mandiri, serta menemukan dan memecahkan persoalan dengan kemampuan budinya. Pengetahuan yang bersifat verbalistik dan otoritatif sebaiknya dihindari sebab hal itu akan membuat anak tidak mampu bernalar lagi dan hanya akan dapat “bermain”dengan pendapat-pendapat orang lain.
Dengan dimulainya pendidikan akal budi, timbul pula kesadaran moral dalam diri si anak. Dunia perasaan-perasaan dan dunia human mulai masuk dalam cakrawala pemahaman anak. Anak mulai terlepas dari isolasi individu serta bersatu dalam ikatan moral dengan lingkungan sosialnya. Kesadaran akan keutamaan moral ini akan mendorong anak untuk selalu mencintai dan berpihak pada nilai-nilai kemanusiaan.
Pada tahap selanjutnya, yaitu ketika anak kira-kira berusia delapan belas tahun, kesadaran akan nilai-nilai manusiawi dengan sendirinya akan melahirkan kesadaran akan Allah. Atas keyakinan ini Rousseau berpendapat agar pendidikan agama pun tidak diberikan pada usia dini. Sebelum berusia delapan belas tahun, anak harus dibiarkan untuk menemukan sendiri bakat religius yang ada di dalam dirinya. Rousseau khawatir, dalam pendidikan agama usia dini,yang dirasakan anak hanyalah kata-kata hampa dan kebiasaan-kebiasaan dungu. Rousseau juga mencela metode mengajar agama yang dogmatis karena anak hanya diwajibkan untuk menghafal sekumpulan pernyataan iman namun mereka sendiri tidak mengerti apa yang mereka hafalkan itu. Demikian pula dengan cara mengajar agama yang cenderung membesar-besarkan suatu hal dan tidak sesuai kenyataan, seperti gambaran tentang Tuhan. Rousseau meyakini bila para pendidik menggoreskan gambaran-gambaran yang salah tentang Tuhan dalam pikiran anak-anak maka hal itu akan terus melekat sampai akhir hidup mereka.
Tahapan-tahapan pendidikan Rousseau ini mungkin terlihat ekstrim dan menuai kontroversi. Saya sendiri belum mengetahui kalau ada institusi pendidikan yang menerapkan gaya pendidikan Rousseau di atas dan bagaimana tingkat keberhasilannya. Namun, apa yang ditekankan Rousseau bahwa hendaknya setiap kemampuan dikembangkan secara bertahap rasanya penting menjadi bahan pemikiran bersama dalam mengembangkan pendidikan yang konstruktif. Tidak perlu ada kecemasan apalagi ketakutan bahwa seorang anak tidak akan menjadi “manusia” kalau sejak dini ia tidak menghafal informasi sebanyak-banyaknya. Hal kedua, yaitu bahwa sekolah pertama-tama mesti menjadi tempat yang merangsang anak untuk berani berpikir mandiri dan kritis. Kreativitas dan kebaruan (novelty) hanya ada ketika seseorang berpikir lain dari pemikiran yang sudah ada. Sekolah yang baik adalah sekolah yang senantiasa mengkondisikan dirinya demi lahirnya generasi-generasi yang mampu memahami dan berpikir sendiri.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI